Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Cinta Mengubah Pikiran Kelam

29 April 2016   23:41 Diperbarui: 30 April 2016   22:15 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: Gubug | Koleksi Pribadi

Jam 23.00. Marmo dan Lasmi duduk berhadapan di meja berukuran dua kali satu meter. Meja yang sesungguhnya sudah usang; disana sini ada lubang bekas dimakan rayap, salah satu kakinya pun sudah diganjal batu bata. Namun, Lasmi membungkusnya dengan alas dari kain bekas sepanduk warna putih. Lebih rapi dari pada dibiarkan telanjang. Lampu 5 watt menggantung tepat di atasnya menyinari dengan redup isi ruang tengah ini. Di atas meja ada dua gelas minuman beracun.

Sebelumnya, Lasmi sempatkan menengok anaknya yang telah tidur di kamar berukuran dua kali tiga meter. Hanya ada anaknya yang kecil tidur di atas dipanyang hanya cukup untuknya, tidak berselimut, berkaos robek di ketiaknya dan bercelana pendek yang robek pula di pangkal pahanya. Jadi, maaf, si kecil tidur terlentang dengan “burungnya” melongok keluar lewat robekan celannya.

Beberapa saat ruangan ini lengang. Mereka duduk seperti patung. Pikirannya kelam. Satu dengan lainnya tidak berani saling berpandangan. Mereka berdua telah sepakat mati bersama ketika peronda memukul tiang listrik dua belas kali di tengah malam.

***

Marmo malu kepada Lasmi. Ia istri yang baik. Ketika Marmo dulu meminangnya, ia berjanji untuk bisa hidup tenteram. Lasmi nekad menerima pinangannya, sementara ibu Lasmi menolaknya. Bapaknya Lasmi mengusirnya ketika Marmo datang lagi untuk meyakinkan tentang pinangannya itu.

Marmo hampir saja mencebur ke sungai yang deras, seandainya Lasmi tidak mencegahnya. Maka, mereka kawin dengan wali hakim.

Tidak menunggu berganti hari, mereka merantau ke kota. Mereka kontrak kamar yang tak ada dapurnya, ruang tidur dan ruang tamu bergabung menjadi satu. Marmo bekerja serabutan. Ia gauli Lasmi di rumah sepetak itu. Lasmi hamil dan melahirkan di ruangan sepetak itu pula. Demikian bertahun-tahun, berulang-ulang.

Kata orang hidup berputar seperti roda. Suatu saat hidup mereka mulai tenang. Marmo diterima menjadi tukang cat. Lumayan. Hasilnya bisa untuk membayar uang kontrakan rumah yang besarnya tidak lagi sepetak. Tetapi rupanya roda berputar terlalu cepat, Marmo jatuh ketika mengecat di ketinggian. Peristiwa ini menyebabkan ia lumpuh total!

Hidup keluarga ini tinggal di tangan Lasmi. Marmo tidak tahu bagaimana istrinya bekerja dan menghidupi keluarganya. Rupanya dia juga terjebak rentenir.

Malam hari setelah rentenir itu datang menagih, mereka duduk membisu. Marmo pandangi wajah istrinya yang masih cantik, meski badannya agak kurus. Ketika hampir tengah malam, Lasmi membuka mulut.

“Sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Tidak ada yang bisa kita lakukan.”

Suaranya yang pelan itu seperti ledakan di tengah kesunyian. Marmo menjatuhkan kepalanya. Ia sangat malu, sangat marah pada dirinya sendiri.

“Tinggal satu yang mungkin. Aku akan menjual milik kita satu-satunya. Aku akan bekerja di alun-alun.”

Hanya gelap saja yang ada di depan Marmo.

***

Tidak ada jam menempel di dinding. Marmo menghela nafas, kemudian mengangkat kepalanya pelan-pelan menatap Lasmi.

“Las.” katanya memecah kesunyia.

Lasmi menghela nafas, kemudian mengangkat kepalanya pelan-pelan menatap suaminya. Ia amat terharu melihat kekalahan yang membayang di wajah suaminya.

“Kang.” balasnya.

“Apakah kamu ragu?”

Lasmi gugup. Pandangannya mencuri-curi pada dua gelas yang masih tertutup di tengah meja.

“Kalau begitu, kamu kembali ke kamar.”

“Kang.”

Pandangan mata mereka saling berbenturan.

“Aku akan tetap di sini sampai jam dua belas nanti.”

Sunyi lagi. Marmo menarik nafas kuat-kuat.

“Kalau begitu marilah kita tidak terlalu bersedih. Kita sambut jam dua belas dengan kegembiraan. Aku ingin mengajakmu mengenang masa hidup kita yang senang-senang, yang indah-indah.”

Lasmi diam saja. Tetapi Marmo terus saja bicara. Dia mulai membuka cerita demi cerita yang pernah mereka alami berdua, yang lucu-lucu, yang menyenangkan. Tetapi tidak bisa membuka mulut Lasmi agar bisa tersenyum. Ya. Ya, Marmo harus menghiburnya agar detik-detik ini terlewatkan tidak dalam kesunyian. Ia ingin mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dengan lelucon.

“Kamu ingat Markaban?” katanya. Tidak disangka, nama Markaban bagi Lasmi ternyata lebih lucu dari Srimulat. Lebih menggelikan dari pada nama Kartolo, Baseman atau Sapari. Lasmi tiba-tiba tertawa cekikikan. Marmo merasa telah menemukan jalan untuk meninggalkan kemuraman sejenak.

“Kamu, masih ingat kan? Ketika sore hari gubuk kita sudah dikepung petugas ketertiban kota. Kita disuruh keluar karena gubuk kita akan dibongkar paksa. Ketika kita sudah keluar ternyata yang kita hadapi para petugas yang berpenampilan layaknya tentara mau perang. Mukanya dilepoti jelaga. Seorang petugas yang berada di depan kita juga sulit kita kenali. Tetapi kita tiba-tiba ingat karena tai lalat di bawah bibirnya dan nama yang menempel di atas saku bajunya: MARKABAN.”

“Hik.Hik.Hik.”

“Apa Las?”

“Dia telah menyamar tetapi lupa menutup namanya dan tai lalatnya. Yak, kemudian, mungkin karena dia tahu kita sudah mengenalinya, keringatnya bercucuran. Dan jelaga di wajahnya luntur, menetes bercampur keringatnya di ujung dagu. Kita diam saja dan Markaban langsung balik kanan meninggalkan teman-temannya yang merasa heran.”

“Ya. Ya. Meskipun kita tetap diusir....”

Tetapi cerita yang menggelitik Lasmi itu tidak diteruskan. Di kejauhan penjaga malam telah memukul tiang listrik dua belas kali. Marmo seketika memejamkan mata, sedangkan Lasmi berubah menjadi gelisah.

“Sekarang Las?”

Lasmi mengambil satu gelas. Diikuti Marmo.

Marmo mengangkat gelasnya diikuti Lasmi.

Lasmi meminumnya sedikit-sedikit, tetapi Marmo menenggaknya sekali habis. Glegg! Mata Marmo kemudian membelalak. “Ini racun apa Las, kok rasa jeruk?” katanya sambil menghentakkan gelasnya di atas meja.

“Aku telah menggantinya, Kang. Pikiranku berubah seterah menengok anakmu sedang tidur di kamar. Kepolosan wajah mereka memancarkan energi cinta.”

Marmo menunduk bisu. Diam. Sunyi. Hingga tetesan air dari sudut matanya nyaring membentur muka meja. ***

Djoglo Pandanlandung Malang,
 2004/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun