“Sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
Suaranya yang pelan itu seperti ledakan di tengah kesunyian. Marmo menjatuhkan kepalanya. Ia sangat malu, sangat marah pada dirinya sendiri.
“Tinggal satu yang mungkin. Aku akan menjual milik kita satu-satunya. Aku akan bekerja di alun-alun.”
Hanya gelap saja yang ada di depan Marmo.
***
Tidak ada jam menempel di dinding. Marmo menghela nafas, kemudian mengangkat kepalanya pelan-pelan menatap Lasmi.
“Las.” katanya memecah kesunyia.
Lasmi menghela nafas, kemudian mengangkat kepalanya pelan-pelan menatap suaminya. Ia amat terharu melihat kekalahan yang membayang di wajah suaminya.
“Kang.” balasnya.
“Apakah kamu ragu?”
Lasmi gugup. Pandangannya mencuri-curi pada dua gelas yang masih tertutup di tengah meja.