“Dia telah menyamar tetapi lupa menutup namanya dan tai lalatnya. Yak, kemudian, mungkin karena dia tahu kita sudah mengenalinya, keringatnya bercucuran. Dan jelaga di wajahnya luntur, menetes bercampur keringatnya di ujung dagu. Kita diam saja dan Markaban langsung balik kanan meninggalkan teman-temannya yang merasa heran.”
“Ya. Ya. Meskipun kita tetap diusir....”
Tetapi cerita yang menggelitik Lasmi itu tidak diteruskan. Di kejauhan penjaga malam telah memukul tiang listrik dua belas kali. Marmo seketika memejamkan mata, sedangkan Lasmi berubah menjadi gelisah.
“Sekarang Las?”
Lasmi mengambil satu gelas. Diikuti Marmo.
Marmo mengangkat gelasnya diikuti Lasmi.
Lasmi meminumnya sedikit-sedikit, tetapi Marmo menenggaknya sekali habis. Glegg! Mata Marmo kemudian membelalak. “Ini racun apa Las, kok rasa jeruk?” katanya sambil menghentakkan gelasnya di atas meja.
“Aku telah menggantinya, Kang. Pikiranku berubah seterah menengok anakmu sedang tidur di kamar. Kepolosan wajah mereka memancarkan energi cinta.”
Marmo menunduk bisu. Diam. Sunyi. Hingga tetesan air dari sudut matanya nyaring membentur muka meja. ***
Djoglo Pandanlandung Malang,
2004/2016
iman.suwongso@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H