Foto: Gubug | Koleksi Pribadi
Jam 23.00. Marmo dan Lasmi duduk berhadapan di meja berukuran dua kali satu meter. Meja yang sesungguhnya sudah usang; disana sini ada lubang bekas dimakan rayap, salah satu kakinya pun sudah diganjal batu bata. Namun, Lasmi membungkusnya dengan alas dari kain bekas sepanduk warna putih. Lebih rapi dari pada dibiarkan telanjang. Lampu 5 watt menggantung tepat di atasnya menyinari dengan redup isi ruang tengah ini. Di atas meja ada dua gelas minuman beracun.
Sebelumnya, Lasmi sempatkan menengok anaknya yang telah tidur di kamar berukuran dua kali tiga meter. Hanya ada anaknya yang kecil tidur di atas dipanyang hanya cukup untuknya, tidak berselimut, berkaos robek di ketiaknya dan bercelana pendek yang robek pula di pangkal pahanya. Jadi, maaf, si kecil tidur terlentang dengan “burungnya” melongok keluar lewat robekan celannya.
Beberapa saat ruangan ini lengang. Mereka duduk seperti patung. Pikirannya kelam. Satu dengan lainnya tidak berani saling berpandangan. Mereka berdua telah sepakat mati bersama ketika peronda memukul tiang listrik dua belas kali di tengah malam.
***
Marmo malu kepada Lasmi. Ia istri yang baik. Ketika Marmo dulu meminangnya, ia berjanji untuk bisa hidup tenteram. Lasmi nekad menerima pinangannya, sementara ibu Lasmi menolaknya. Bapaknya Lasmi mengusirnya ketika Marmo datang lagi untuk meyakinkan tentang pinangannya itu.
Marmo hampir saja mencebur ke sungai yang deras, seandainya Lasmi tidak mencegahnya. Maka, mereka kawin dengan wali hakim.
Tidak menunggu berganti hari, mereka merantau ke kota. Mereka kontrak kamar yang tak ada dapurnya, ruang tidur dan ruang tamu bergabung menjadi satu. Marmo bekerja serabutan. Ia gauli Lasmi di rumah sepetak itu. Lasmi hamil dan melahirkan di ruangan sepetak itu pula. Demikian bertahun-tahun, berulang-ulang.
Kata orang hidup berputar seperti roda. Suatu saat hidup mereka mulai tenang. Marmo diterima menjadi tukang cat. Lumayan. Hasilnya bisa untuk membayar uang kontrakan rumah yang besarnya tidak lagi sepetak. Tetapi rupanya roda berputar terlalu cepat, Marmo jatuh ketika mengecat di ketinggian. Peristiwa ini menyebabkan ia lumpuh total!
Hidup keluarga ini tinggal di tangan Lasmi. Marmo tidak tahu bagaimana istrinya bekerja dan menghidupi keluarganya. Rupanya dia juga terjebak rentenir.
Malam hari setelah rentenir itu datang menagih, mereka duduk membisu. Marmo pandangi wajah istrinya yang masih cantik, meski badannya agak kurus. Ketika hampir tengah malam, Lasmi membuka mulut.