Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap peraturan perundang-undang tentang pegadaian, dapat penulis sampaikan bahwa belum ada peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang- Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP), yang khusus mengatur tentang pegadaian syariah. Pegadaian syariah dapat dikatakan sebagai anak perusahaan dari Lembaga Pegadaian'.
2. Implementasi Pada Tataran Praktik
Oleh karena belum ada dasar hukum untuk melakukan pegadaian syariah, maka Perum Pegadaian menggunakan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonsia (DSN-MUI), yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, tanggal 26 Juni 2002 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, tanggal 28 Maret 2002.
Gadai Syariah dilakukan dengan cara memberian pinjaman/pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah. Pemberian marhun bih (pinjaman uang) oleh Perum Pegadaian selaku murtahin (pemegang gadai) mensyaratkan adanya penyerahan marhun (barang jaminan) oleh rahin (peminjam uang).
Untuk menutup biaya operasional yang telah dikeluarkan, Perum Pegadaian membuat usaha akad Ijarah (penitipan barang). Ijarah merupakan merupakan konsekuensi logis dari gadai syariah, dimana Perum Pegadaian sebagai murtahin (pemegang gadai) yang menahan marhun (barang jaminan) akan mengeluarkan biaya untuk merawat marhun. Ijarah merupakan akad yang mengikuti akad gadai syariah, dengan kontruksi yuridis, bahwa sirahin sepakat untuk menitipkan marhun (barang jaminan) kepada Perum Pegadaian selaku murtahin, dan untuk itu rahin harus membayar biaya penitipan.
Konstruksi yuridis biaya penitipan ini sesuai dengan konsep Jaminan Syariah (al-rahn). Sebagaimana diketahui, dalam konsep Jaminan Syariah, walaupun marhun (barang jaminan) berada dalam kekuasaan murtahin (yang meminjamkan uang), namun biaya perawatan marhun menjadi tanggung jawab rahin (peminjam). Biaya perawatan yang harus dibayarkan oleh rahin inilah yang dikonversi menjadi 'biaya penitipan' dalam akad ijarah.
Keberadaan akad ijarah seakan-akan bertentangan dengan konsep al-rahn, padahal sebenarnya tidak, karena akad ijarah merupakan hasil kontekstualisasi konsep al-rahn sesuai dengan perkembangan jaman. Pada awalnya sangat dimaklumi jika esensi gadai adalah akad pinjam meminjam uang (marhun bib) dengan menaruh barang jaminan (marhun) yang didasarkan pada prinsip tolong menolong. Dengan kata lain, jaminan syariah (al-rahn) merupakan syariah yang berfungsi sosial, karena si peminjam (rahin) tidak diwajibkan untuk menambah biaya apapun saat melunai hutangnya. Konsep awal ini barangkali masih sesuai jika dilakukan oleh rahin dan murtahin secara perorangan.
Namun pada perkembangan saat ini, seringkali akad Jaminan Syariah (al-rahn) ini melibatkan lembaga keuangan formal, yang tentu saja lembaga keuangan tersebut membutuhkan pendapatan sebagai keuntungan. Dalam rangka syariah compliance, pendapatan yang diterima oleh lembaga keuangan hanya berupa biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk merawat marhun. Perawatan marhun inilah yang akhirnya menjadi dasar dibuatnya akad ijarah dimana lembaga keuangan dapat menarik biaya penitipan. Biaya penitipan inilah yang menjadi salah satu sumber pendapatan lembaga keuangan. Dalam praktik gadai syariah, Perum Pegadaian mewajibkan rahin membayar sejumlah uang tertentu sebagai imbalan jasa, dimana sejumlah uang tersebut digunakan untuk menutupi biaya operasional gadai.
Dalam praktiknya, Perum Pegadaian membuat 5 (lima) skema gadai syariah yaitu:
- Akad qardhul hasan
- Akad ijarah
- Akad rahn
- Akad mudharabah
- Akad ba'i muqayyadah
Buku ini mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam dan kritis mengenai prinsip-prinsip syari'ah yang digunakan dalam lembaga keuangan syari'ah yang saat ini sedang berkembang pesat Indonesia. Penulis buku ini juga mengungkapkan sebuah kritik terhadap aturan-aturan tentang jaminan syariah dan lembaganya agar bisa melaksanakan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip jaminan syari'ah secara kaffah.
Nama: Imam Prasetya