Salah satu aspek dari asas-asas umum tersebut adalah berkaitan dengan rukun dan syarat akad sebagai unsur pembentuk akad dalam suatu hukum perikatan IIslam Rukun dan syarat sebagai unsur pembentuk akad merupakan hal yang harus dipenuhi dan sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu perikatan. Di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur  fuqaha, rukun akad terdiri atas:
- Al-'Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
- Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
- Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting dalam suatu perjanjian. Namun, ada unsur-unsur lain yang juga penting dan termasuk dalam rukun akad. Dari unsur-unsur yang akan disebutkan Wahbah ini, ada yang berpendapat hanya 1 (satu) yang dapat diklasifikasikan sebagai rukun, sedangkan lainnya syarat. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa kesemuanya dapat diklasifikasikan sebagai rukun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
- Shighat al-agad (pernyataan untuk mengikatkan diri); b. Al-Muta'aqidain/Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad);
- Al-Ma'qud alaih/mahal al-'aqd (obyek akad)
- Maudhu'al-agd (tujuan akad)
Empat unsur tersebut di atas dapat dikatakan sama dengan syarat- syarat perjanjian sebagaimana di atur dalam pasal 1320 W. Pasal 1320 BW menyatakan bahwa 'untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.'
Secara garis besar syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 BW mempunyai kesamaan dengan ke-empat unsur tersebut diatas yaitu Shighat al-agad (pernyataan untuk mengikatkan diri); Al-Muta'aqidain/Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad); Al-Ma'qud alaihl mahal al-'aqd (obyek akad); dan Maudhu'al-'aqd (tujuan akad).Â
Bahwa kata sepakat sama dengan Shighat al-aqad (pernyataan untuk mengikatkan diri) yang terimplementasi dalam ijab dan kabul. Syarat kecakapan sama dengan Al-Muta'aqidain/Al-'Aqidain (pihak-pihak yang berakad), yang dalam hal ini berkaitan dengan kedewasaan atau tamyiz para pihak. Syarat suatu hal tertentu sama dengan obyek akad dan syarat adanya kausa yang halal sama dengan tujuan pokok akad dalam ukum islam dengan ketentuan tidak bertentang dengan syara'.
Keberadaan syariah dalam sistem Hukum Indonesia
Setelah berlakunya UUD 1945, Syariah berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri, bukan karena telah diterima oleh hukum adat. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan:
- Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sampai dengan diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kedudukan Syariah merupakan sumber persuasive, baru setelah ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden, Syariah menjadi sumber otoritatif. Dengan demikian, sejak 5 Juli 1959 eksistensi atau keberadaan Syariah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum nasional dan menjadi otoritatif bagi penduduk yang beragama Islam.
karakteristik hukum jaminan syariah
Jaminan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-rahn. Al-rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu, yang didasari dari bahasa Arab (rahinulma'u) yang artinya apabila tidak mengalir dan kata (rahinatul nimah) yang bermakna nikmat yang tidak putus. Al-rahn juga dapat bermakna tertahan, yang didasari dengan firman Allah QS. Al-Muddassir ayat 38 yaitu: (kullu nafsim bima kasabat rahinah)", yang artinya "tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya". Kata rahinah yang tersebut dalam ayat di atas bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya."
Menurut Sayyid As-Sabiq, al-rahn menurut syara' memiliki arti menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara' sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh/sebagian hutang dari barang tersebut. Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur al-rahn adalah:
- adanya barang atau benda yang mempunyai nilai ekonomis
- adanya perbuatan menahan barang atau benda yang menjadi jaminan
- memberi manfaat
- adanya perjanjian hutang piutang
Jaminan dalam hukum Islam adalah apa yang disebut dengan istilah al- rahn. Al-rahn tidak lepas kaitannya dengan adanya hutang piutang yang mengakibatkan timbulnya al-rahn sebagai jaminan yang menjamin pelunasan hutang piutang yang terjadi. Al-rahn disini tidak bersifat mutlak harus ada, tetapi lebih mengarah kepada hal yang bersifat tolong menolong. Tolong menolong inilah yang merupakan ciri khas dari konsep al-rahn atau jaminan syariah. Jaminan syariah dalam prakteknya terbagi dalam 2 (dua) bentuk, pertama adalah al-rahn (sebagai suatu lembaga) yang merupakan jaminan kebendaan dan al-kafalah yang merupakan jaminan perorangan.
Rukun dari Al-rahn adalah sebagai berikut:
- Sighot (Ijab Qabul): dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja di dalamnya terkandung maksud diadakannya perjanjian jaminan
- Aqid (Orang yang bertransaksi), sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal dan atas keinginan sendiri
- Marhun (Barang yang dijaminkan): syarat barang yang akan dijadikan sebagai jaminan adalah bahwa barang itu dapat diserahterimakan, memiliki nilai manfaat dan kegunaan, barang tersebut milik si berutang (rahin) dan dikuasai oleh rahin, jelas, tidak bersatu dengan harta lainnya dan barang jaminan tersebut merupakan harta yang bersifat tetap dan dapat dipindahkan,
- Marhun Bih (Utang): syarat utang yang dapat dijadikan alas al-rahn adalah berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan, utang yang lazim pada waktu akad dan harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.