Undang-Undang Perbankan Syariah, dapat dikatakan bahwa dasar pemikiran dibentuknya Undang- Undang Perbankan Syariah adalah mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah ke dalam sistem hukum nasional, khususnya perundang-undangan perbankan syariah.Â
Selain itu, pada tataran praktis, implementasi ini dilaksanakan dalam kerangka kepatuhan syariah (syariah compliance). Penentuan prinsip-prinsip syariah dalam hal ini muamalah (khususnya perikatan syariah dan jaminan syariah) merupakan kewenangan Majelis Ulama Indonsia (MUI). Implementasi penetapan prinsip-prinsip syariah pada masing-masing Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing institusi perbankan syariah. Selain itu, untuk menindaklanjuti fatwa tersebut ke dalam Peraturan Bank Indonsia dilakukan oleh Komite Perbankan Syariah yang dibentuk secara internal di Bank Indonsia.
Dari dasar pemikiran tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa seharusnya Undang-Undang Perbankan Syariah mengimplementasikan konsep Jaminan Syariah (al-rahn) dalam aturan hukumnya, bukan hanya mengatur Perikatan Syariah (Akad) terutama dalam hal pembiayaan. Dalam sistem Hukum Syariah paling tidak terdiri atas 2 (dua) unsur atau subsistem, yaitu Perikatan Syariah (Akad) dan Jaminan Syariah (Al-rahn). Antara subsistem Perikatan Syariah dengan susbsistem Jaminan Syariah mempunyai pola hubungan yang erat, karena keberadaan subsistem Jaminan Syariah merupakan bagian integral dari Perikatan Syariah.
Dalam rejim UU Perbankan Syariah telah terjadi kesenjangan konsep (conceptual gap). Kesenjangan konsep ini terjadi dalam 2 (dua) tataran, yaitu: Pertama, UU Perbankan Syariah mengatur Perikatan Syariah (Akad) secara kaffah (komprehensif), namun mengatur Jaminan Syariah secara sumir (terbatas) dan tidak mencerminkan ke'syariah'an. Kedua, Undang- Undang Perbankan Syariah selain mengatur perikatan syariah (akad) dengan esensi dan nama sesuai dengan syariah. Namun untuk jaminan, ternyata masih menggunakan istilah 'Agunan' dan secara konseptual tidak sesuai dengan syariah, padahal sudah ada istilah dan konsep jaminan syariah yaitu 'Al-rahn. Walaupun UU Perbankan Syariah tidak mengatur Jaminan Al-rahn secara kaffah, tetapi paling tidak seharusnya menggunakan istilah yang mencerminkan syariah. Dapatlah dikatakan telah terjadi kontradiksi terminologi (contradictio in terminis) pada penggunaan istilah jaminan sebagai 'agunan' yang seharusnya adalah 'al-rahn'.
Ditinjau dari perspektif kepatuhan syariah (syariah compliance) yang merupakan jiwa dan semangat UU Perbankan Syariah, seharusnya pembentuk undang-undang ini sangat memperhatikan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, tanggal 26 Juni 2002. Jika konsisten dengan konsep kepatuhan syariah, sudah seharusnya Fatwa tersebut diberlakukan sebagai rekomendasi utama (highly recommended) pada saat menyusun undang-undang tersebut.
Mengingat bahwa Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah tidak mengatur tentang keberadaan Jaminan Syariah (al-rahn), sangat diharapkan peran aktif DPS untuk memberikan nasihat, saran, serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
Tidak diaturnya Jaminan Syariah (al-rahn) dalam berbagai Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran cukup aneh mengingat semua peraturan dan surat edaran yang dianalisis secara tersurat menganut konsep syariah compliance (kepatuhan syariah). Padahal sejak tahun 2002 telah dikeluarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor: 25/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, pada tanggal 26 Juni 2002 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26/DSN-MUI/ III/2002 tentang Rahn Emas, tanggal 28 Maret 2002.
Menjadi persoalan adalah jika mengakui adanya konsep syariah compliance (kepatuhan syariah) mengapa keberadaan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia sebagaimana tersebut di atas diabaikan begitu keberadaannya. Dalam konteks syariah compliance, seharusnya Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dipatuhi (highly recommended).
Hal lain yang dapat penulis sampaikan bahwa rejim Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, seperti halnya dengan Undang-Undang Perbankan Syariah telah memisahkan konsep Jaminan Syariah (al-rahn) dari Perikatan Syariah (Akad), padahal secara syariah, Jaminan Syariah (al-rahn) merupakan bagian integral dari Perikatan Syariah (Akad) terutama yang berkaitan dengan skema hutang piutang (pembiayaan/pnyaluran dana).
Dalam hal ini telah menimbulkan adanya conceptual gap (kesenjangan konseptual), dimana konsep al-rahn yang seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan (integral) dari konsep Akad (Perikatan Syariah) terutama dalam hal pembiayaan (penyaluran dana), justeru dipisahkan dan tidak diatur.
 Implementasi Konsep Al-Rahn Pada Pegadaian Syariah
1. Implementasi Pada Tataran Aturan Hukum