Jamuan makan pagi dari sang ayahanda di hari raya kurban tak seperti biasanya, kali ini halaqah fajriyah memang sengaja diliburkan. Selepas shalat shubuh berjama’ah sebagian para Mahasantri bergegas menuju kamar mandi. Mengantri. Budaya mengantri memang telah menjadi identitas yang tak pernah lepas dari anak pesantren pada umumnya. Semua teratur, tidak saling mendahului.
Sebagian mereka ada pula yang langsung mempersiapkan diri karena sudah terlebih dahulu mandi sebelum shalat shubuh. Sayup-sayup dari jarak yang tak jauh dari ma’had kami, suara takbir saling bersahutan. Dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Tak berputus-putus. Seperti suara katak setibanya musim hujan tiba melawat. Dan yang tak kalah nyaring bersuara pada hari ini adalah: Suara kambing tepat di depan ma’had!
Setelah selesai membersihkan tubuh dengan “ritual” mandi, saya mengenakan baju batik sasirangan hitam yang dibeli sekitar 3 tahun yang lalu di pasar Martapura, Kal-sel. Sudah cukup usang sebenarnya. Tapi entah kenapa hingga hari ini masih saja betah memakainya. Mungkin karena kainnya yang cukup nyaman saat dikenakan dan sering saya bawa untuk mengajar Amtsilati ketika di pesantren dulu, ya itu sebagian alasan saya.
Selepas melaksanakan shalat ied bersama warga Pisangan Barat, Cireunde. Saya bersama beberapa teman pulang melalui jalan kecil yang menghubungkan antara mesjid warga dan ma’had. Sebenarnya di ma’had juga sudah lama dibangun mesjid, hanya saja mesjid ini digunakan oleh para santri saja sebatas untuk shalat berjama’ah dan melakukan kegiatan-kegiatan intern ma’had. Diantaranya halaqah fajriyah dan mudzakarah.
Namun belum sampai kamar, dari lantai dasar saya mendengar ada seseorang yang meng-komando: “Ayo, ayo semuanya langsung ke rumah pak kyai sekarang.” Bagi para mahasantri, sudah terbayang apa yang akan dilakukan di rumah pak kyai saat seperti ini, yaitu: Sarapan pagi! Karena seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap hari raya idul adha Bu Nyai (panggilan untuk isteri Pak Kyai) memanggil mahasantrinya untuk datang ke rumah, sedangkan Pak Kyai sedang tidak ada di tempat. Dan kami dapat menyaksikan beliau melalui siaran langsung dari mesjid Istiqlal di layar televisi sembari menyantap hidangan.
Hidangan itu terdiri dari ketupat yang sudah dipotong-potong, ayam yang sudah direbus sekian jam (hingga dagingnya tidak lagi rekat dengan tulang, semacam di presto), kuah opor, kerupuk udang dan terakhir potongan kentang yang diiris kecil-kecil dengan campuran cabai merah.
***
Baik, di atas tadi merupakan pengantar cerita hari raya idul adha kami di sini. Sederhana, tidak ada yang istimewa, selain mendapat jamuan special di rumah Pak Kyai.
Semua menikmati suapan demi suapan. Suara piring dan sendok yang seolah nampak beradu. Guyonan-guyonan kecil pun acapkali tercipta. Tawa satu sama lain yang saling bersambut seisi ruangan ini.
Di tengah-tengah makan, saya baru menyadari bahwa ada beberapa potongan petai di piring. Tak tahu darimana asalnya, ternyata setelah saya tanyakan dengan Jazmi, teman duduk di sebelah, petai itu tadinya bercampur dengan kentang yang kami ambil di awal tadi. Tidak kentara memang kelihatannya, nampak jumlahnya memang tak begitu banyak, namun aromanya cukup menusuk hidung.