Sebenarnya, dilain kesempatan pertanyaan itu juga seringkali dilayangkan oleh beliau kepada saya (pada kami, Mahasantrinya) ketika beliau sedang mengabsen ataupun ketika kami mendapat giliran untuk membaca beberapa Hadis saat halaqah. Pertanyaan yang terulang-ulang. Meskipun demikian, namun saya merasa senang tiap kali beliau menanyakan asal tempat tinggal. Ada kesan tersendiri saat mengatakan “Anaa min Kalimantan”. Entah apa karena hanya saya satu-satunya yang tersisa disini. Yang jelas, saya merasa senang.
Di kesempatan berbeda, yang masih lekat dalam ingatan adalah ketika waktu itu saya ingin menuju ke Perpustakaan Utama UIN untuk suatu keperluan, hari itu kebetulan saya bersama seorang senior semester akhir. Karena hanya berjalan kaki, kami memutuskan untuk berangkat bersama. Akantetapi, tanpa kami ketahui sebelumnya, ternyata di depan ada Pak Kyai sedang mengontrol keadaan Ma’had bersama seorang Musyrif yang mendampinginya.
Karena sudah terlanjur berpapasan, sebagai bentuk ta’zim spontan kami pun langsung saja menyalami beliau, dan seperti biasa, beliau terlebih dulu menanyakan nama. Kemudian setelah itu, beliau melihat sesuatu yang tidak biasa, karena hari itu libur, saya memang sengaja mengenakan busana santai dengan setelan kaos hitam betuliskan Malioboro yang dulunya saya beli ketika berlibur ke Jogja dengan bawahan celana levis panjang. Melihat hal yang demikian beliau berkomentar:
“Ismuka Imam? Walakin limadza libasuka kadzalik? Anta maa tasta’mil bi libaasil Imaam. Amma tsiyaabal Imaam kamitsli hadzaa.”
(Namamu Imam? Tapi kok pakaianmu begitu? Kamu nggak mengenakan seperti pakaian Imam. Kalau pakaian seorang Imam itu ya seperti ini.)
Beliau menunjuk baju koko putih yang sedang beliau kenakan. Kendati demikian, setelah itu, tanpa menyuruh untuk mengganti, beliau mempersilahkan kami untuk pergi.
Aduh, malu sekali rasanya dengan beliau. Sebegitu perhatian dengan anak didiknya, hingga urusan yang paling sepele sekalipun. Beliau semacam ingin men-singkronkan nama dan pakaian saya. Ada rasa bersalah dalam hati. Namun, perlu saya pertegas jika bukan berarti pakaian yang kami kenakan tidak sopan, kami tahu bahwa beliau tidak sedang marah, hanya saja beliau menasehati, karena beliau lebih suka jikalau melihat kami mengenakan pakaian semi koko kemanapun kami pergi. Namun beliau juga “men-Taqrir” tidak melarang kami mengenakan kaos.
Karena bagaimanapun juga, sebenarnya “berkaos” ini memang lumrah dikenakan oleh kebanyakan mahasiswa diluar jam kuliah. Termasuk kami yang kebetulan ingin ke Perpustakaan Utama UIN. Suatu yang memang sangat biasa ditemukan. Sebab, ketika jam kuliah sendiri, peraturan Fakultas mengharuskan para mahasiswa untuk memakai kemeja batik ataupun kaos berkerah. Tidak boleh berkaos biasa. Maka dari itu, setelan kaos baru kami kenakan saat-saat libur seperti ini.
Itu dulu, kita bercerita lagi di lain kesempatan. Semoga bermanfa’at.
Pak Kyai, Masa Kecil, dan Jamuan Petai
(Darus-Sunnah, 01:12 Wib – 03:24 Wib, Dinihari 6 Oct 2014)