Bukankah Allah menurunkan keberkahan untuk setiap kebaikan yang dilakukan bersama-sama (jama’ah)? Semoga Allah memanjangkan umur guru-guru kita agar kita dapat ber-istifadah dengan ilmu-ilmunya dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang shaleh/ah. Amin yaa rabbal alaamiin.
--Segelas kopi pertama hari jum’at, Darus-Sunnah
Pak Kyai, Shahih Bukhori, dan Bahasa Inggris
(Darus-Sunnah, Senin, 8 September 2014.)
Tidak ada yang berbeda di pagi yang temaram ini. Lampu-lampu taman yang senantiasa menghantarkan cahaya sepanjang malam, juga pohon kamboja sekedirian dua orang dewasa yang menjatuhkan bunga-bunganya satu persatu. Keindahan suasana ini selalu berulang setiap pagi.
Semua berjalan sebagaimana biasanya. Sebelum semburat Matahari mengintip di sebelah ufuk timur, para mahasantri telah duduk sejajar dengan setelan koko dan peci putih. Dan masih seperti biasa, pembacaan Nazham Bayquniah sebagai pengantar setiap kali memulai halaqah kembali disenandungkan. Ada yang bersemangat dengan intonasi tinggi, adapula yang setengah bersuara karena rasa kantuk yang masih mendera. Yang jelas, di waktu yang sepagi itu, tinggi rendah suara mahasantri menyeruak ke celah-celah kosong, ke setiap pendengaran.
Bait-bait nazham itu juga menggenapi rasa ta’zhim kepada seorang guru sekaligus ayah yang tengah berada di hadapan kami. Sesekali ia menahan batuk, lalu ia meminum air hangat di hadapannya beberapa tegukan. Kemudian ia menghirup napas. Dalam. Tak dapat dipungkiri bahwa kini faktor usia telah melahap sebagian tenaga dan kerapkali mengganggu kesehatannya. Kami hanya berdoa, bahwa Allah senantiasa memberikan kesehatan dan panjang umur untuknya.
Ini sudah memasuki liqa’ keempat dari jumlah kesuluruhan 12 liqa’ yang telah menjadi suatu keharusan untuk diikuti. Kebetulan, halaqoh kali ini saya duduk di barisan kedua dari depan. Minggu ini juga masuk pada “English Week” di mana Pak Kyai akan menerangkan serta menjelaskan hadits per-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun, di samping itu beliau juga masih menyertakan penjelasan dengan menggunakan bahasa arab agar memudahkan
Mungkin anda akan bertanya, “Gimana toh. Mempelajari Hadis kok pake bahasa inggris? Bukannya itu Bid’ah ya? Apalagi yang dipelajarin sekaliber Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menjadi rujukan sumber hukum. Apa nggak takut salah pemahaman?”
Baik, saya memahami itu. Terlebih jika anda berasal dari kalangan pesantren salafiyah atau tradisionalis. Sebab, saya akui bahwa saya termasuk salah seorang yang kurang menggemari bahasa Inggris. Dibandingkan teman-teman, tentulah kapasitas “berbahasa” yang saya miliki masih sangat jauh. Tak jarang selepas halaqoh saya kembali bertanya kepada teman yang lebih paham. Karena ada beberapa vocab yang belum saya ketahui.