Tanzhif Jama’i dalam terjemah bebas bahasa Indonesia kurang lebih memiliki arti: Bersih-bersih bersama. Istilah ini digunakan untuk kegiatan rutin membersihkan lingkungan sekitar ma’had bersama seluruh penghuni setiap kamar (dalam bermasyarakat, pekerjaan ini biasa disebut gotong royong). Sebelumnya, Tanzhif Jama’i dilakukan rutin seminggu sekali pada hari Sabtu. Yaitu selepas Halaqah Fajriyah yang baru selesai pada jam 07:30 WIB.
Soal kebersihan, Pak Kyai memang sangat loyal. Amarah beliau terpancing jika melihat ada satu bagian saja dari area ma’had yang tidak rapi (apalagi kotor).
Pernah pada suatu pagi beliau mengontrol Ma’had secara mendadak. Tidak ada seorang pun dari kami yang mengetahui. Kebetulan pada waktu itu sedang tahap perpindahan kamar, sehingga sulit dihindarkan jika bagian lantai paling dasar penuh dengan sampah dan lemari-lemari kitab yang berantakan. Walhasil, beliau marah sekali. Beliau memerintahkan untuk membakar semua lemari-lemari kitab tadi. Bahkan, saat saya ikut membakar di antara beberapa orang yang lainnya, saya melihat ada beberapa mahasantri dan musyrif dimarahi oleh beliau. Memang, beliau selalu menginginkan lingkungan yang nyaman dan kondusif untuk anak asuhnya.
Dan hampir di setiap halaqah maupun saat menyampaikan wejangan-wejangan kala bertamu ke rumah, beliau selalu menghimbau untuk senantiasa menjaga kebersihan.[caption caption="amy"][/caption]
“Istaqim fie ad-Dirasah wa binnizham wa nazhaafah. Likulli thaalib al-Hadits laa budda binnazhaafah!” Begitu kurang lebih beliau berpesan.
Lain di ma’had lain hal pula di rumah. Di rumah tentu tak ada istilah tanzhif jama’i. Sebab, untuk kebersihan tentu tidak perlu rasanya jika harus terjadwal dan ditentukan. Ketika melihat seisi rumah yang agak berantakan, debu di kaca buffet, pot ataupun lemari. Begitu juga dengan halaman rumah yang mulai kotor entah karena becek ataupun daun-daun yang berjatuhan, tanpa perintah siapapun kita akan bergerak untuk membersihkannya. Karena di samping rasa ketidaknyamanan itu kita juga paham betul bahwa kotor bukan menunjukan ciri seorang muslim yang baik.
Lalu apa dampak positive yang dihasilkan dari segi sosial bagi setiap Mahasantri? Sangat jelas, dengan tanzhif jama’i solidaritas dan suasana keakraban dengan sendirinya terbentuk. Rasa kekeluargaan dan keharmonisan hubungan pertemanan semakin erat. Hal ini jelas terlihat dari sikap saling tolong-menolong satu sama lain yang diselingi candaan-candaan khas ala santri.
Diantara mereka ada yang mendapat bagian membersihkan kamar mandi, jemuran, taman, mesjid,halaman, ruang-ruang kelas dan lainnya. Tidak merasa terpaksa, kecuali rasa kantuk yang terkadang hinggap membuat rasa agak malas untuk bergerak. Tidak dapat dipungkiri, ini manusiawi.
Teringat dengan sebuah aforisma pesantren yang cukup familiar:
“Susah senang ditanggung bersama.”
Tak heran jika pesantren memiliki tradisi cukup unik yang jarang sekali ditemui orang-orang pada umumnya. Mulai dari makan di satu wadah berupa nampan besar bersama-sama hingga melaksanakan tugas bersama-sama. Semua dilakukan bersama-sama.