Mohon tunggu...
Ilham Pasawa
Ilham Pasawa Mohon Tunggu... Novelis - ~Pecandu Kopi~

Manusia yang ingin memanusiakan dan dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaktus dan Selendang Ibu

15 Maret 2021   17:48 Diperbarui: 15 Maret 2021   17:48 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serupa buaya yang menyergap bangau yang tebang tinggi di atasnya. Setelah berhasil ia kuikat, tak mau aku melepas. Ia benar-benar kujaga. Sampai akhirnya kuikat ia dengan tali suci bernama pernikahan.

Namun sial beribu sial, malam itu aku baru tau sikap aslinya. Ternyata ia bukan bangau yang indah. Ia itu gagak, ah bukan. Ada yang tau jenis burung yang bisa melambangkan kesakitan selain gagak? Pokonya ia lebih dari itu. Benar-benar lebih dari itu.

Sejak kecil aku ini anak yang berbakti dengan orangtua. Benar-benar nurut dan patuh. Tak pernah sekalipun aku berani berkata kasar, bahkan memasang wajah suram pun aku tak berani. Karena takut kualat, lagi pula itu memang suatu kewajiban bagi seorang anak bukan? Untuk bakti terhadap orangtua.

Kebaktianku pada orang tua tak luntur meski status bujangku telah lenyap, meski kini aku telah menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tangga yang tak cukup besar namun sulit dikendalikan. Benar-benar sulit, seperti membawa sebuah kapal di lautan yang penuh gelombang.

Pintu yang keropos dimakan rayap itu kubuka perlahan sekali, tenagaku sudah terkuras akibat kuli yang kujalani, menjadi buruh pabrik adalah merubah sisi kemanusiaan menjadi mesin produksi yang tak boleh sekalipun mengeluh. 

Bagaimana mau mengeluh jika ancamannya adalah PHK. Sedang aku butuh akan uang untuk memenuhi isi perut dan kebutuhan si Sumi yang makin hari makin banyak permintaan. 

Di ruang tamu itu si Sumi sedang duduk manis menyambut kepulanganku, ya harus kuakui, dia memang selalu melakukan hal itu. 

Selalu menyambut suaminya dengan ramah tamah ala ketimuran. Belum juga aku duduk, ia sudah menawariku kopi. Segera saja kuiyakan. Ia pun lekas membuatkanku secangkir kopi.

Aku yang sudah lelah, menempalkan pantatku di sofa murahan. Tak begitu empuk, asal ada saja. Tak sengaja saat itu aku melihat sebuah selendang. Selendang yang sangat kukenal. Kuambil selendang itu. 

Memperhatikannya dengan khidmat. Makin dilihat makin mantap keyakinanku. Ini memang benar miliknya. Selendang yang telah menemaniku sejak aku dalam buaian. 

Kuhirup aromanya, ya! Aroma yang sama saat aku masih balita. Selendang ini milik ibuku. Lalu kenapa selendang ini bisa sampai di sini? Apakah ibuku datang kesini? Menengok putranya yang sudah beberapa bulan terakhir ini belum sempat menjenguknya? Lalu kenapa ia tak tinggal barang semalam? Tak rindukah ibu padaku? Begitu banyak pertanyaan dalam hatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun