What -- Konsep Arete dalam Filsafat Plato
Plato adalah salah satu filsuf Yunani kuno yang paling berpengaruh, Dia lahir di Athena sekitar tahun 427 SM. Sebagai murid dari Socrates dan guru dari Aristoteles, pemikiran Plato banyak berfokus pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keadilan, kebenaran, kebajikan, dan tujuan hidup manusia. Salah satu kontribusi filosofisnya yang paling signifikan adalah konsep Arete, sebuah istilah Yunani yang berarti keunggulan atau keutamaan.
Dalam pemikiran Plato, Arete tidak sekadar merujuk pada kemampuan teknis atau pencapaian pribadi, melainkan keterpaduan nilai-nilai moral dan intelektual yang mendorong seseorang untuk hidup sesuai dengan tujuan tertingginya.
Konsep Arete muncul dalam berbagai dialog Plato, termasuk Republic dan Meno. Dalam Republic, Plato membahas bagaimana individu dan negara dapat mencapai keharmonisan melalui pemenuhan Arete dari setiap elemen jiwa manusia dan lapisan masyarakat.
Jiwa manusia, menurut Plato, terdiri dari tiga bagian: rasionalitas, keberanian (spirit), dan hasrat. Arete tercapai ketika ketiga elemen ini berfungsi dalam keseimbangan yang harmonis di bawah kendali rasionalitas. Dengan demikian, kebijaksanaan memandu pikiran, keberanian menjaga semangat moral, dan pengendalian diri mengatur keinginan-keinginan rendah.
Konsep ini selaras dengan empat kebajikan utama dalam filsafat Plato: kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan. Kebijaksanaan melambangkan kemampuan untuk menggunakan akal dalam mencapai pemahaman yang benar, keberanian merepresentasikan keteguhan dalam menghadapi tantangan, pengendalian diri adalah kemampuan untuk mengendalikan dorongan-dorongan nafsu, dan keadilan merupakan harmoni dari ketiga kebajikan tersebut.
Dalam dialog Meno, Plato juga mengeksplorasi Arete dengan mempertanyakan apakah kebajikan dapat diajarkan atau merupakan sesuatu yang muncul secara alami. Plato menyimpulkan bahwa Arete adalah manifestasi dari kebijaksanaan dan pemahaman tentang kebaikan tertinggi, yang berasal dari pengetahuan sejati.
Keunggulan moral seseorang tidak hanya diukur dari tindakannya, tetapi juga dari kesadarannya tentang tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu Eudaimonia atau kebahagiaan yang bermakna. Dalam konteks ini, Arete bukan sekadar pencapaian individual, melainkan cara seseorang hidup sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk rasional dan berbudaya.
Empat elemen utama dari Arete adalah:
- Sophia (Kebijaksanaan): Kemampuan untuk memahami dan menerapkan pengetahuan secara tepat. Dalam konteks audit pajak, kebijaksanaan berarti kemampuan auditor untuk memahami data keuangan secara mendalam dan menerapkannya dalam pemeriksaan pajak.
- Contoh: Seorang auditor yang mengetahui tentang seluk beluk proses pertambangan, dapat melakukan analisa penjualan dengan menggunakan pendekatan produktivitas dan efisiensi proses produksi.
- Andrea (Keberanian): Sikap berani dalam menghadapi tantangan dan ketidakpastian untuk mencapai tujuan yang benar. Keberanian diperlukan oleh auditor untuk mengungkap kebenaran meskipun ada tekanan eksternal atau potensi konflik dengan perusahaan yang diaudit.
- Contoh: Seorang pemeriksa pajak tetap berani mengungkap ketidakpatuhan dari Wajib Pajak, walaupun terdapat tekanan internal dan eksternal untuk tidak mengungkap hal tersebut.
- Sophrosyne (Disiplin): Pengendalian diri untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antara kepentingan berbagai pihak. Auditor yang disiplin mampu menjaga objektivitas, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, dan bekerja sesuai standar profesionalisme.
- Contoh: Auditor tetap berpegang pada prinsip independensi ketika mengevaluasi laporan pajak perusahaan tambang yang sebelumnya telah memberikan keuntungan atau insentif pribadi.
- Dikaiosyne (Keadilan): Prinsip keadilan dalam bertindak dan membuat keputusan. Keadilan mencakup penilaian yang tidak memihak serta memastikan bahwa kewajiban pajak dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Contoh: Auditor menemukan bahwa perusahaan tambang gagal melaporkan penjualan limbah tambang sebagai pendapatan. Dengan mempertimbangkan keadilan, auditor mengoreksi laporan pajak dan memastikan negara menerima penerimaan yang semestinya.
Dalam kerangka Arete, muncul perdebatan tentang sintesis a posteriori yang terkait dengan pengalaman dalam memahami keutamaan. Meskipun Plato cenderung mengaitkan keutamaan dengan ide-ide yang abadi dan universal (sebagai bentuk a priori), pengalaman empiris tetap berperan dalam mengembangkan pemahaman praktis tentang Arete.
Melalui a posteriori, individu memperoleh pemahaman tentang keutamaan melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti bahwa Arete tidak hanya sekadar refleksi dari ide-ide murni yang berada di dunia Form (alam ide), tetapi juga dapat diwujudkan dalam pengalaman konkret melalui kebiasaan, pengujian, dan perbaikan berkelanjutan.
Dalam kehidupan praktis, individu mengalami tantangan yang mengharuskan penerapan kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan. Misalnya, seseorang dapat mempelajari keberanian hanya setelah menghadapi situasi yang menuntut keberanian dalam kehidupan nyata.
Sintesis a posteriori memungkinkan Arete menjadi lebih dinamis dan relevan dengan realitas kehidupan manusia, di mana keunggulan moral bukan hanya sebuah konsep abstrak, tetapi sesuatu yang diuji melalui interaksi sosial, pengalaman, dan refleksi kritis.
Dalam pengertian ini, Arete bukan sesuatu yang statis, melainkan proses yang terus berkembang seiring dengan perjalanan hidup manusia. Pengalaman empiris memberikan peluang bagi individu untuk memahami keterbatasannya, belajar dari kegagalan, dan membentuk karakter yang lebih baik melalui proses pengulangan dan introspeksi.
Why -- Hubungan Filsafat Arete dengan Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan di Indonesia memiliki peran strategis sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Pertumbuhan sektor ini didukung oleh kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari batubara, nikel, hingga emas, yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Namun, perkembangan ini juga diiringi dengan sejumlah tantangan, seperti praktik penghindaran pajak, kerusakan lingkungan, serta konflik sosial di sekitar wilayah tambang. Regulasi terkait pengelolaan tambang batu bara terdapat dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Regulasi ini Mengatur tata kelola industri pertambangan, mulai dari perizinan, pengelolaan produksi, hingga kewajiban pajak dan royalti.
Meskipun regulasi telah disusun dengan baik, praktik penghindaran pajak di sektor pertambangan masih sering terjadi, merugikan pendapatan negara secara signifikan. Oleh karena itu, pendekatan filosofis seperti Arete dari Plato sangat relevan untuk memperbaiki tata kelola pajak dan audit di sektor ini.
Beberapa kasus terkait sektor pertambangan yang pernah terjadi di Indonesia adalah:
Kasus Adaro Energy: Pada tahun 2019, Adaro Energy dikritik karena dugaan transfer pricing dengan afiliasi di Singapura. Laporan Greenpeace mengungkap bahwa Adaro menjual batubara ke anak perusahaannya di Singapura dengan harga lebih rendah, sehingga pendapatan di Indonesia berkurang dan kewajiban pajak menjadi lebih kecil.
Ada juga Kasus Freeport Indonesia yang disorot terkait dugaan laporan produksi yang tidak sesuai dengan hasil tambang yang sebenarnya. Hal ini berpotensi menyebabkan kerugian pada pendapatan negara melalui pajak dan royalti.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa penghindaran pajak di sektor tambang dapat merugikan pendapatan negara dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, penerapan pendekatan Arete sangat relevan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan keadilan dalam audit pajak bisnis pertambangan.
How -- Menerapkan Arete dalam Audit Pajak
Untuk menerapkan empat pilar Arete (kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan) dan konsep a posteriori dalam konteks pemeriksaan pajak, kita perlu melihat bagaimana nilai-nilai filosofis tersebut dapat diintegrasikan dalam praktik profesional yang melibatkan penilaian dan keputusan yang berdampak pada individu maupun masyarakat secara luas.
Pemeriksaan pajak, yang melibatkan verifikasi dan penilaian kewajiban perpajakan, membutuhkan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan ketelitian teknis, tetapi juga dimensi etis dan moral dalam mengambil keputusan. Berikut adalah cara menerapkan kedua konsep ini dalam pemeriksaan pajak:
1. Kebijaksanaan (Wisdom) dalam Pemeriksaan Pajak
Kebijaksanaan dalam konteks pemeriksaan pajak berkaitan dengan kemampuan untuk mengevaluasi situasi secara menyeluruh, memahami peraturan perpajakan dengan tepat, dan mempertimbangkan implikasi keputusan terhadap berbagai pihak.
2. Keberanian (Courage) dalam Pemeriksaan Pajak
Keberanian di sini mengacu pada kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat meskipun menghadapi tantangan atau tekanan eksternal. Dalam konteks pemeriksaan pajak, keberanian adalah kualitas penting yang diperlukan untuk mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak populer atau dapat menghadirkan konflik, terutama ketika menemukan adanya penghindaran pajak atau pelanggaran yang jelas.
3. Pengendalian Diri (Self-control) dalam Pemeriksaan Pajak
Pengendalian diri sangat penting dalam memastikan bahwa pemeriksa pajak tidak dipengaruhi oleh emosi, bias pribadi, atau tekanan eksternal dalam menjalankan tugasnya. Pengendalian diri dalam pemeriksaan pajak memastikan bahwa proses pemeriksaan tetap objektif, profesional, dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
4. Keadilan (Justice) dalam Pemeriksaan Pajak
Keadilan adalah inti dari seluruh proses pemeriksaan pajak. Pemeriksa pajak yang adil akan memastikan bahwa kewajiban pajak dikenakan secara merata dan proporsional, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa diskriminasi atau bias. Keadilan juga berarti bahwa setiap wajib pajak mendapatkan perlakuan yang setara, dan bahwa tidak ada pihak yang lebih diuntungkan atau dirugikan secara tidak adil dalam proses pemeriksaan.
Contoh Kasus: Pemeriksaan Pajak pada Perusahaan Tambang Galian B
PT. X adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam sektor pertambangan, khususnya tambang galian B (batu split dan pasir). Perusahaan ini beroperasi di wilayah yang memiliki banyak sumber daya alam yang melimpah.
Namun setelah beberapa tahun beroperasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencurigai adanya ketidakcocokan antara laporan keuangan yang diajukan oleh PT. X dengan transaksi yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Beberapa transaksi yang tidak tercatat dengan jelas dan adanya indikasi bahwa perusahaan ini tidak sepenuhnya melaporkan pendapatan dan pengeluaran yang sebenarnya menimbulkan kecurigaan bahwa PT. X mungkin terlibat dalam penghindaran pajak.
Berdasarkan hal ini, DJP memutuskan untuk melakukan pemeriksaan pajak pada PT. X untuk memastikan apakah perusahaan ini telah memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan benar, khususnya terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Proses Pemeriksaan Pajak
Dalam rangkaian pemeriksaan pajak yang dilakukan, pemeriksa pajak menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan penerapan prinsip-prinsip Arete dan pengalaman a posteriori.
1. Kebijaksanaan (Wisdom): Menilai Kesesuaian Transaksi dan Laporan Keuangan
Pemeriksa pajak harus menggunakan kebijaksanaan dalam menilai apakah laporan keuangan PT. X mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dalam hal ini, kebijaksanaan akan membantu pemeriksa untuk memutuskan apakah ada kesalahan administratif, misalnya kesalahan pencatatan atau pelaporan yang tidak disengaja, atau apakah ada indikasi penyembunyian pendapatan dan penghindaran pajak yang disengaja.
Pemeriksa akan memeriksa dokumen dan transaksi yang tidak tercatat, seperti pembayaran kepada kontraktor atau pemasok yang dilakukan secara tunai atau melalui sistem yang tidak terdeteksi dalam laporan keuangan resmi.
2. Keberanian (Courage): Menghadapi Potensi Penyalahgunaan
Dalam proses pemeriksaan ini, pemeriksa pajak dihadapkan pada situasi yang memerlukan keberanian. Sebagai contoh, jika dalam pemeriksaan ditemukan adanya bukti bahwa PT. X menyembunyikan pendapatan atau menggunakan praktik-praktik untuk menghindari kewajiban perpajakannya, pemeriksa pajak harus berani menghadapinya meskipun mungkin akan menghadapi tekanan dari perusahaan atau pihak lain yang berkepentingan. Keberanian ini mencakup kemampuan untuk mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, seperti melakukan pemeriksaan yang lebih mendalam atau melaporkan temuan yang berpotensi merugikan perusahaan.
Dalam pengalaman sebelumnya (a posteriori), pemeriksa pajak yang berani tahu bahwa meskipun ada risiko menghadapi tantangan hukum atau sosial, tindakan yang tepat untuk menegakkan keadilan dalam sistem perpajakan adalah langkah yang harus diambil.
3. Pengendalian Diri (Self-control): Menghindari Bias dan Emosi
Pemeriksa pajak juga perlu mengembangkan pengendalian diri untuk menjaga objektivitas dalam proses pemeriksaan. Dalam kasus PT. X, misalnya, terdapat kemungkinan bahwa pemeriksa dapat merasa terpengaruh oleh tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam hasil pemeriksaan. Pengendalian diri diperlukan agar pemeriksa tetap fokus pada fakta dan bukti yang ada, serta tidak terpengaruh oleh spekulasi atau opini pribadi yang bisa merusak integritas proses pemeriksaan.
Dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya (a posteriori), pemeriksa pajak tahu pentingnya menjaga profesionalisme dan tidak terburu-buru mengambil keputusan yang didasarkan pada asumsi, tetapi berdasarkan bukti yang valid.
4. Keadilan (Justice): Menjamin Perlakuan yang Adil bagi Semua Pihak
Penerapan prinsip keadilan dalam pemeriksaan pajak ini berarti bahwa PT. X harus diperlakukan secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemeriksa pajak harus memastikan bahwa setiap langkah dalam pemeriksaan dilakukan dengan cara yang tidak diskriminatif, memastikan bahwa hak-hak perusahaan dihormati, sementara juga memastikan bahwa kewajiban perpajakan mereka dipenuhi dengan benar. Jika ditemukan kesalahan atau penyalahgunaan pajak, pemeriksa harus membuat rekomendasi yang proporsional dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Penerapan prinsip keadilan dalam pemeriksaan ini juga berarti bahwa jika ditemukan kesalahan administratif yang tidak disengaja, maka langkah yang diambil oleh DJP dapat mencakup klarifikasi dan pembetulan laporan tanpa langsung menjatuhkan sanksi yang berat. Sebaliknya, jika ditemukan penghindaran pajak yang disengaja, maka sanksi yang sesuai harus diberlakukan untuk menegakkan keadilan dalam sistem perpajakan.
Referensi:
- Modul 14 Mata Kuliah Pemeriksaan Pajak Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
- Kasus Adaro: https://www.globalwitness.org/en/press-releases/adaro-terindikasi-pindahkan-ratusan-juta-dolar-ke-jaringan-perusahaan-luar-negeri-untuk-menekan-pajak/
- Kasus Freeport: https://www.tempo.co/ekonomi/freeport-dari-kasus-papa-minta-saham-sampai-pujian-bahlil-pada-jokowi-62576
- Vlastos, G. (2002). Plato's Ethics: An Overview. In The Cambridge Companion to Plato (R. Kraut, Ed.). Cambridge University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H