Mohon tunggu...
Ilham Adli
Ilham Adli Mohon Tunggu... Mahasiswa - kaum proletariat

bukan filsuf

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dari Pesantren ke Perjuangan Sosial, Santri dalam Wacana Kiri

8 November 2024   20:48 Diperbarui: 8 November 2024   22:36 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDIDIKAN KRITIS DI PESANTREN: MENUJU PEMBEBASAN MELALUI KESADARAN DAN KEMANDIRIAN BERFIKIR

Pendidikan di pesantren memiliki fungsi mendalam yang melampaui sekadar transmisi ilmu agama. Dalam pandangan filsafat pendidikan, pesantren dapat dipandang sebagai sebuah institusi yang tidak hanya menanamkan pengetahuan agama, tetapi juga merangsang kesadaran kritis, memperkuat kemandirian berpikir, dan membekali santri dengan kemampuan untuk terlibat secara aktif dan reflektif dalam kehidupan sosial. Di sini, pesantren berfungsi sebagai ruang pendidikan yang mendorong emansipasi dalam arti filsafat, membebaskan santri dari belenggu kebodohan, hegemoni pemikiran, dan ketergantungan sosial.

Perspektif Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed relevan dalam memahami pendidikan kritis di pesantren. Freire berpendapat bahwa pendidikan harus menjadi proses liberation, yang membebaskan individu dari struktur opresi (penindasan) melalui kesadaran kritis atau conscientização. Pesantren yang menekankan pemikiran kritis berupaya membekali santri bukan hanya dengan pengetahuan, tetapi dengan kesadaran untuk memahami struktur sosial, ekonomi, dan politik yang mengatur kehidupan mereka. Bagi Freire, pendidikan yang membebaskan menuntut guru atau pendidik untuk berperan bukan sebagai transmitter pengetahuan, tetapi sebagai fasilitator yang mendorong dialog dan keterlibatan kritis. Di pesantren, hubungan antara kiai dan santri menjadi ruang dialog yang memungkinkan santri untuk tidak hanya mendengarkan dan menghafal, tetapi untuk mengajukan pertanyaan dan berpikir secara mandiri mengenai realitas yang mereka hadapi.

Pendidikan di pesantren, dalam konteks ini, juga mencerminkan apa yang oleh Jürgen Habermas disebut sebagai komunikasi ideal dalam ruang publik, di mana dialog dilakukan secara rasional, terbuka, dan tanpa dominasi. Dalam pendidikan yang kritis, pesantren berfungsi sebagai ruang di mana santri tidak hanya diajarkan doktrin agama, tetapi juga diberikan kesempatan untuk mendiskusikan dan menganalisis makna dari ajaran tersebut dalam kehidupan nyata. Dengan cara ini, pesantren mendukung perkembangan reasoned autonomy, atau kemandirian berpikir yang berdasarkan pemahaman yang mendalam dan reflektif, bukan sekadar kepatuhan atau pengulangan dogma. Santri dilatih untuk menjadi rational agent yang mampu berpikir secara kritis dan bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Dari perspektif eksistensialis, pendidikan kritis di pesantren memungkinkan santri untuk menjalani authentic existence, atau eksistensi yang otentik. Menurut filsuf eksistensialis seperti Sartre dan Kierkegaard, otentisitas adalah kondisi di mana seseorang hidup sesuai dengan nilai-nilai dan pemahaman yang diinternalisasi secara sadar, bukan sekadar mengikuti arus atau norma yang ada. Dalam pendidikan kritis, pesantren mengajak santri untuk tidak hanya menerima ajaran agama secara pasif, tetapi untuk menginternalisasinya dengan refleksi dan pemahaman yang mendalam, sehingga mereka dapat menjalankan ajaran tersebut sebagai ekspresi dari komitmen yang otentik. Pendidikan kritis di pesantren, dengan demikian, mendorong santri untuk mengembangkan keberanian eksistensial, yaitu keberanian untuk mempertanyakan dan menantang status quo ketika itu bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diyakini.

Dalam pendekatan teori kritis Frankfurt School, pendidikan di pesantren dapat dilihat sebagai upaya untuk melawan hegemoni ideologi dominan yang menindas. Pendidikan kritis bertujuan membebaskan santri dari pola pikir hegemonik yang sering kali dikondisikan oleh masyarakat atau kekuasaan tertentu. Dalam konteks ini, pesantren berfungsi sebagai counter-hegemonic space yang membekali santri dengan ideological tools untuk memahami dan menghadapi berbagai bentuk dominasi, baik dalam bentuk kebijakan sosial maupun pandangan yang membatasi peran mereka sebagai agen perubahan. Menurut tokoh seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer, pendidikan kritis harus memungkinkan individu untuk self-reflect atau melakukan refleksi diri secara mendalam, sehingga mereka mampu mengenali bentuk-bentuk ketidakadilan yang sering kali tersembunyi dalam ideologi atau kebiasaan sehari-hari. Pesantren, melalui pendidikan kritis, menciptakan ruang di mana santri dapat memisahkan diri dari dogma atau pemikiran homogen yang dapat membatasi kebebasan intelektual mereka.

Dari perspektif Michel Foucault, pendidikan kritis di pesantren bisa dilihat sebagai pembentukan dispositif yang memungkinkan santri untuk melawan "rezim pengetahuan" yang dominan. Foucault menyatakan bahwa pengetahuan sering kali merupakan alat kekuasaan yang mengatur apa yang dianggap benar atau salah dalam masyarakat. Pendidikan kritis di pesantren, dalam hal ini, memberikan santri perangkat untuk menantang norma-norma pengetahuan yang mungkin mendukung ketidakadilan atau ketidakseimbangan kekuasaan. Santri diajak untuk menjadi kritis terhadap "kebenaran-kebenaran" yang dianggap mutlak dan, dengan demikian, mereka diperlengkapi untuk menjadi agen perubahan yang dapat membongkar struktur-struktur kekuasaan melalui pengetahuan yang mereka kuasai.

Selain itu, pendidikan kritis di pesantren dapat dimaknai sebagai bentuk empowerment yang mirip dengan pemikiran bell hooks. Menurut hooks, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengangkat kesadaran individu akan potensi mereka dan memperkuat keberanian untuk bertindak. Dalam konteks ini, pesantren memberikan pendidikan yang tidak hanya teoritis, tetapi juga praksis. Santri diajarkan untuk tidak hanya memahami konsep-konsep agama, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sosial yang kompleks. Pesantren menjadi ruang untuk pembentukan self-agency, di mana santri bukan sekadar penerima ilmu, tetapi peserta aktif dalam proses belajar yang memberdayakan mereka untuk mengubah diri dan masyarakat.

Akhirnya, dalam perspektif hermeneutik Gadamer, pendidikan kritis di pesantren dapat dilihat sebagai proses pemahaman yang dinamis, di mana santri diajak untuk selalu melakukan interpretasi ulang terhadap teks dan konteks. Bagi Gadamer, pemahaman tidak pernah statis; setiap generasi, dan bahkan setiap individu, harus berpartisipasi dalam dialog yang terus menerus dengan tradisi dan lingkungan mereka. Pesantren yang menerapkan pendidikan kritis tidak hanya mengajarkan teks suci sebagai sesuatu yang tertutup, tetapi mengajak santri untuk selalu mencari makna baru yang relevan dengan realitas kontemporer. Ini adalah bentuk dialog hermeneutik, di mana ajaran agama terus-menerus dipertanyakan, ditafsirkan, dan diintegrasikan ke dalam pemahaman yang kontekstual dan hidup.

Dalam kesimpulan, pendidikan kritis di pesantren berfungsi sebagai sarana emansipasi intelektual dan spiritual. Pesantren menciptakan ruang bagi santri untuk mengembangkan kesadaran kritis, kemandirian berpikir, dan keberanian untuk bertindak atas dasar nilai-nilai yang mereka yakini. Melalui pendidikan ini, santri bukan hanya menjadi penyalur ajaran agama, tetapi juga menjadi agen perubahan yang siap membentuk masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Referensi: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun