Pada saat yang sama, ajaran Islam yang diajarkan di pesantren, terutama yang terkait dengan fikih dan syariah, memiliki dimensi sosial yang kuat. Konsep maslahah (kepentingan umum) dalam hukum Islam memberikan landasan bagi interpretasi bahwa hukum agama harus diarahkan untuk kemaslahatan umat, termasuk dalam hal keadilan sosial dan pemerataan ekonomi. Para kiai pesantren mengajarkan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya, terutama dalam hal menegakkan keadilan sosial.
3. Pesantren dan Gerakan Anti-Feodalisme.
Selain melawan penjajahan, beberapa pesantren juga menjadi pusat perlawanan terhadap sistem feodal yang eksploitatif. Di banyak wilayah pedesaan Indonesia, sistem feodal menyebabkan ketimpangan yang sangat besar, di mana para tuan tanah menguasai sebagian besar sumber daya, sementara petani miskin hidup dalam kondisi sangat terbatas. Pesantren, yang umumnya berada di pedesaan, sangat dekat dengan komunitas-komunitas petani yang menjadi korban sistem feodal ini. Para kiai yang mengelola pesantren menyaksikan secara langsung penderitaan kaum petani dan memberikan respons terhadap kondisi tersebut melalui dakwah dan tindakan sosial.
Kyai-kyai seperti Kyai Tohir dari Pesantren Ciwaringin di Cirebon, misalnya, dikenal karena perjuangannya melawan ketidakadilan sosial dan penghisapan terhadap para petani. Mereka memberikan pendidikan dan kesadaran kepada santri dan masyarakat sekitarnya tentang pentingnya melawan ketidakadilan. Kiai juga memanfaatkan jaringan pesantren yang luas untuk membangun solidaritas antar-kelompok masyarakat dalam perjuangan melawan ketidakadilan tersebut.
4. Pengaruh Gerakan Islam Sosial.
Gerakan Islam sosial yang muncul pada abad ke-20 juga turut mempengaruhi pesantren. Munculnya organisasi seperti Sarekat Islam (SI) pada awal abad ke-20, yang memperjuangkan hak-hak buruh dan petani, serta menentang kapitalisme dan imperialisme, menjadi inspirasi bagi banyak pesantren. Para kyai dan santri yang tergabung dalam organisasi-organisasi tersebut semakin menyadari bahwa Islam dapat menjadi kekuatan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, terutama melalui pengajaran moral yang menentang penindasan dan eksploitasi.
SI, yang awalnya merupakan gerakan ekonomi untuk membantu para pedagang Muslim, kemudian berkembang menjadi gerakan politik dan sosial yang lebih luas. Banyak anggota SI yang berasal dari kalangan santri dan kiai pesantren. Gerakan ini tidak hanya berbicara tentang Islam dalam arti ritual keagamaan, tetapi juga sebagai ideologi yang mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia pada waktu itu.
5. Peran Pesantren dalam Revolusi Nasional.
Pesantren juga memainkan peran penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Banyak kiai dan santri yang terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah. Contoh paling terkenal adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama pada tahun 1945, yang menyerukan umat Islam untuk berjihad melawan kembalinya Belanda. Resolusi ini menjadi dasar moral bagi banyak santri untuk bergabung dalam perjuangan fisik merebut kemerdekaan. Para kiai dan santri di berbagai wilayah Indonesia, seperti di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, ikut terlibat dalam pertempuran melawan penjajah, baik melalui jalur diplomasi maupun perang gerilya.
Dengan akar historis yang demikian kuat dalam perlawanan terhadap ketidakadilan, baik dalam konteks kolonialisme, feodalisme, maupun perjuangan kemerdekaan, pesantren telah meletakkan dasar bagi kesadaran sosial yang menjadi ciri khasnya. Warisan ini menjadikan pesantren sebagai lembaga yang tidak hanya berfungsi dalam ranah pendidikan agama, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang kritis terhadap ketidakadilan di berbagai level.
PESANTREN SEBAGAI RUANG DIALEKTIKA SOSIAL-POLITIK
Dalam prespektif filsafat sosial, pesantren dapat dilihat sebagai licus dan praksis pendidikan yang melahirkan subjektivitas kritis, meski dalam kerangka nilai-nilai keislaman. Meski banyak orang memandang pesantren sebagai lembaga konservatif, mereka juga dapat berperan sebagai arena pembentukan kesadaran kolektif (collective consciousness) dikalangan santri kesadaran yang tidak hanya religius, tetapi juga politis dan sosial.
Secara historis, santri memiliki kaitan erat dengan perjuangan anti  kolonialisme dan upaya pembentukan identitas nasional, menunjukkan bahwa lembaga ini bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga basis resistensi kultural dan politis. Dalam istilah Antonipo Gramsci, pesantren bisa dianggap sebagai bentuk war of position, yaitu ruang perjuangan kultural yang berhadapan dengan hegemoni kolonial pada masa penjajahan. Pesantren mengukuhkan diri sebagai salah satu lembaga yang mempertahankan nilai nilai sosial, sekaligus menjadi pusat resistensi terhadap intervensi kultural yang berpotensi merusak nilai dan struktur sosial di masyarakat lokal.
Pesantren juga bisa dipahami sebagai sebuah situs hegemonik dalam pengertian bahwa ia menyediakan pandangan dunia atau weltanschauung yang berakar pada nilai-nilai Islam, tetapi juga sensitif terhadap dinamika sosial di sekitarnya. Dalam pengertian ini, pesantren menjalankan peran hegemonik dalam menyediakan pengetahuan dan norma yang melandasi pemikiran kritis di kalangan santri. Santri tidak sekadar belajar kitab klasik atau ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga dibentuk untuk memiliki kesadaran kontekstual tentang kondisi sosial-politik mereka. Dengan demikian, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pengajaran normatif, tetapi juga sebagai alat pembebasan (emansipatoris), yang menciptakan individu-individu yang mampu mempertanyakan struktur kekuasaan dan ketidakadilan yang ada.