Di sini, figur santri progresif menjadi manifestasi dari public intellectual dalam pengertian Edward Said, yaitu individu yang mengambil posisi melawa ketidakadilan tanpa prinsip etika yang mereka yakini. Mereka adalah intelektual publik yang secara sadar dan konsisten mempertanyakan struktur-struktur dominan, memperjuangkan masyaraket kecil, melawan ketidak adilan, bukan demi kepentingan pribadi tetapi untuk transformasi sosial. Dengan kata lain, aktivisme sosial santri adalah bentuk kesadara kritis yang mengakar pada islam sebagai ideologi pembebasan, dimana iman tak hanya diwujudkan dalam ibadah ritual belaka, namun juga dalam praksis perjuangan sosial yang mendukung keadilan.
Sebagai kesimpulan,figur santri dalam aktivisme sosial merupakan representasi dari persilangan antara nilai-nilai spiritual dan aksi etis yang melampaui peran tradisional agama. Mereka menunjukkan bahwa keimanan bukanlah sekedar kepatuhan terhadap dogma, melainkan juga panggilan moral untuk bertindak demi kebaikan sosial. Dengan demikian, santri progresif bukan hanya pelaksana ajaran agama, tetapi juga filsuf-tindakan (philosopher-activist) yang memperjuangkan keadilan sebagai bentuk kesalehan sosial,yang mengaktualisasikan keimanan mereka dalam keterlibatan aktif untuk memperbaiki dunia.
KEBERPIHAKAN SANTRI DALAM STRUKTUR SOSIAL: KRITIK TERHADAP KETIMPANGAN DAN PENGUATAN MASYARAKAT MARGINAL
Posisi santri dalam struktur sosial tidak hanya menunjukkan dimensi kultural atau religius, tetapi juga sebuah sikap filosofis yang mengkritik ketimpangan sosial dan mendukung kaum tertindas. Dalam filsafat sosial, posisi keberpihakan ini dapat dianalisis melalui konsep-konsep seperti keadilan distributif, teori kelas, dan pemikiran kritis mengenai kekuasaan. Santri yang berpihak pada masyarakat marginal mejalankan peran sebagai agent of justice dalam masyarakat, membawa nilai-nilai yang mereka pelajari di pesantren ke dalam realitas sosial yang penuh dengan ketidakadilan.
Secara filsafat, keberpihakan santri terhadap masyarakat marginal dapat dilihat sebagai pengejawantahan principle of justice yang di canangkan oleh John Rawls. Dalam pandangan Rawls, keadilan bukanlah hanya sebatas prinsip abstrak, tetapi tuntutan moral untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama, khususnya mereka yang paling lemah atau paling sedikit memiliki akses terhadap kekayaan dan kekuasaan. Konsep ini sering disebut sebagai difference principle, yaitu bahwa ketidaksetaraan hanya bisa dibenarkan jika itu menguntungkan mereka yang berada di posisi paling rendah dalam struktur sosial. Santri yang memilih berpihak kepada masyarakat marginal bertindak dalam kerangka difference principle ini, dengan menyadari bahwa struktur sosial yang adil adalah yang memberikan menfaat terbesar bagi mereka yang paling tertindas.
Lebih jauh lagi, keberpihakan ini juga bisa dilihat melalui konsep keadilan distributif dalam prespektif filsafat Aristoteles, Â dimana keadilan diukur bagaimana sumber daya didistribusikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi tiap individu. Bagi santri yang berjuang bersama masyarakat marginal, distribusi sumber daya bukanlah persoalan ekonomi, tetapi juga keharusan moral yang sesuai dengan etika keislaman . Dalam islam, konsep 'adl (keadilan) mengacu pada distribusi yang adil dan merata, khususnya bagi mereka yang membutuhkan. Maka santri yang mendukung masyarakat kecil bukan hanya menjalankan tugas keagamaan, tetapi juga merealisasikan konsep keadilan distributif dalam makna yang lebih filosofis.
Di sisi lain, dalam prespektif Karl Marx, keberpihakan santri pada masyarakat marginal dapat dipahami sebagai kesadaran kelas (class consciousness) yang tumbuh dari realitas ketidakadilan ekonomi dan sosial. Santri yang berpihak pada kaum miskin atau kelompok tertindas dapat danggap telah mencapai kesadaran kelas., dimana mereka tidak lagi melihat ketidakadilan sebagai permasalahan moral individu, tetapi sebagai fenomena struktural yang melibatkan hubungan kekuasaan dan eksploitasi. Dalam konteks ini, santri menjadi dari bagian kaum kelas proletar atau setidaknya sebagai simpatisan, yang menyadari  bahwa ketimpangan tidak bisa diatasi melalui pendekatan moral saja, tetapi membutuhkan perubahan struktural. Dalam prespektif ini, agama dan nilai keislaman menjadi kekuatan pendorong untuk menantang dominasi kapitalisme yang sering kali menindas kelas bawah.
Pandangan ini juga sejalan dengan teori kekuasaan Michel Foucault yang menekankan bahwa kekuasaan bukan hanya sesuatu yang dimiliki oleh suatu negara atau suatu lembaga, melainkan tersebar dalam berbagai bentuk dominasi yang membentuk hubungan sosial. Santri yang berkeberpihakan pada masyarakat kecil melihat bahwa ketidakadilan bukan hanya disebabkan oleh individu-individu tertentu yang berkuasa, namun merupakan hasil dari jaringan kekuasaan yang membentuk norma, sistem hukum, dan kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, santri dalam posisi ini menentang bentuk-bentuk kekuasaan yang tersembunyi dalam struktur sosial, seperti sigma sosial, ketidakadilan hukum, atau kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Mereka bertindak sebagai Counter-discours, yaitu perlawanan terhadap wacana dan struktur yang melanggengkan ketimpangan sosial.
Selain itu, dalam perspektif eksistensialisme, keberpihakan santri terhadap masyarakat marginal menunjukkan pilihan otentik untuk hidup dalam komitmen yang konkret terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Sartre, manusia bertanggung jawab penuh atas pilihan hidupnya, dan mereka yang memilih untuk memperjuangkan orang lain, terutama mereka yang tertindas, menegaskan keberadaannya melalui tindakan yang bermakna. Bagi santri yang berpihak pada kaum marginal, keberpihakan ini adalah bentuk authentic choice—sebuah keputusan yang berakar pada kesadaran bahwa manusia tidak bisa menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Keberpihakan ini adalah bukti dari eksistensi yang terlibat (engaged existence), di mana mereka menegaskan nilai-nilai mereka melalui tindakan nyata yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
Dalam perspektif Emile Durkheim, santri yang terlibat dalam keberpihakan sosial juga berfungsi sebagai agen solidaritas sosial. Durkheim menyatakan bahwa masyarakat yang sehat membutuhkan kohesi atau solidaritas di antara berbagai kelas sosial. Santri yang berjuang untuk masyarakat kecil berfungsi sebagai perekat antara berbagai lapisan sosial, memungkinkan masyarakat untuk melihat ketimpangan sebagai masalah kolektif yang memerlukan solusi bersama. Dalam konteks ini, santri bertindak sebagai elemen yang menjaga kesatuan masyarakat dengan cara memperjuangkan keadilan dan melawan diskriminasi. Ini adalah bentuk solidaritas organik, di mana peran santri tidak hanya untuk membela kelompok marginal, tetapi juga mengingatkan masyarakat yang lebih luas tentang pentingnya keseimbangan sosial.
Keberpihakan santri ini dapat dilihat pula melalui konsep preferential option for the poor dalam teologi pembebasan. Prinsip ini menyatakan bahwa pihak yang paling membutuhkan harus diutamakan dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan politik. Meskipun teologi pembebasan lahir dalam konteks Kristen, prinsip ini sangat relevan dengan ajaran Islam tentang amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan). Bagi santri yang berpihak pada kaum miskin, ajaran Islam tidak hanya menjadi panduan spiritual, tetapi juga menjadi dasar untuk mendukung mereka yang paling lemah dalam struktur sosial.