SUARA HATI SUAMI BAG. 2 “KANG IKIN DAPAT KIRIMAN SURAT CINTA”
“Diantara sepinya hati aku selalu merindukan cinta; Di sela-sela puing-puing derita aku ingin hidup bahagia; di dalam renungan malam kucoba menuliskan kata; namun tiada kalimat yang sempurna yang dapat tuk mengungkapkan rasa.”
Sayup-sayup terdengar alunan musik dari radio yang ada di samping tempat tidur kang Ikin yang sedang membuka-buka kembali buku catatan hariannya ketika masih muda. Malam pun semakin larut, namun langit sepertinya masih bersedih, air matanya tumpah membasahi bumi membuat suasana semakin dingin. Kang Ikin beranjak dari tempat tidur hendak menyimpan kembali bukunya ke lemari bagian atas. Tanpa sengaja tangannya menyenggol tumpukan kaset pita yang penuh debu, karena belasan tahun tak pernah lagi diputar. Ia tersenyum sendiri, pikirannya kembali menerawang mengingat-ingat orang yang memberikan kaset itu 22 tahun silam saat dirinya masih duduk dibangku SMA.
***
Matahari sudah mulai naik, sinarnya masuk ke dalam kelas lewat jendela yang tirainya dibiarkan terbuka. Hangatnya menerpa wajah siswa-siswi yang sedang merapihkan buku pelajaran. Jam di atas papan tulis menunjukan angka sepuluh lewat lima menit, saatnya istirahat.
Sebelum meninggalkan kelas, Pak Tatang yang baru saja mengajar Fisika berpesan supaya anak-anak melengkapi catatan untuk bahan ulangan minggu depan. "Anak-anak pertemuan hari ini dicukupkan, silahkan lengkapi catatan, minggu depan kita ulangan, sekarang boleh istirahat."
Suasana kelas yang tadinya hening berubah ramai bagai di pasar. Sebagian anak laki-laki ada yang langsung ke sumur di belakang sekolah sekedar untuk membasahi rambut, karena kepalanya terasa panas setelah dua jam lebih belajar Fisika. Sebagian ada yang ke kantin dan ada juga yang turun ke lapangan. Anak-anak perempuan masih sibuk bergosip ria dengan teman sebangkunya. Nita, Dedeh, dan Ella membicarakan serunya cerita bersambung di majalah 'Aneka Yes' dan majalah 'Gadis' kesukaannya. Sementara Nungki, Ririn, Tia, dan Alifa tidak kalah berisik, mereka menceritakan serunya menonton Film India terbaru dari VCD yang disewanya.
"Hei, mau kemana?"
Aku yang sedang berjalan menuju perpustakaan menghentikan langkah, karena terdengar ada yang menyapaku dari belakang, terlihat Melya berjalan kearahku.
"Ke perpus, cari tambahan materi Fisika."
"Aku ikut boleh?"
"Boleh, asal jangan minta di gendong."
Melya hanya tersenyum. Dan kami pun kemudian berjalan berdampingan.
"Eh nanti kamu pulang sama siapa?"
"Pulang sendiri, kalau mau bareng boleh, tapi jalan kaki."
"Gak bareng Hesty lagi?"
"Kok kamu tanya seperti itu Mel, emang tahu aku pulang sama dia?"
"Teman-teman yang cerita tadi pagi."
"Truss."
"Ya cerita katanya dia pulang bareng sama kamu jalan kaki, trus kata teman-teman sepertinya Hesty juga suka sama kamu."
"Ah masa sih Mel, aku jadi geer nih, kalau aku jalan sama Hesty kamu gak cemburu kan?" Mendengar ucapanku Melya memalingkan muka, kulihat pipinya merona merah.
"Tapi gak apa-apa cemburu juga, itu tandanyaaaa.” Aku berjalan cepat meninggalkannya dan berhenti di depan pintu perpustakaan.
"Tandanya apa, tanda apa?" Melya mengejar dan mencubit tanganku beberapa kali.
"Aduh sakit, aduh sakit, sudah ah malu, itu diketawain mang Ewo."
Melya melepaskan cubitannya sambil melirik ke arah mang Ewo yang sedang memangkas pohon Mangga, ia hanya tersenyum melihat kelakuan kami berdua, mungkin dia juga mengalaminya ketika sekolah. Suasana perpustakaan sedang sepi, hanya ada dua orang anak kelas l yang sedang mencari buku.
"Siang Bu, biasa mau pinjam buku." Kami mengangguk hormat ke arah Ibu Esih penjaga perpustakaan yang sedang menyusun berkas-berkas di mejanya.
"Boleh, tapi kalau sudah rapihkan lagi ya."
"Baik Bu."
Melya lebih dulu menuju rak buku dibagian dalam, kemudian memilih buku yang kami cari, dan aku mengikutinya dari belakang.
"Melll."
"Hemhh." Melya hanya berguman, tangannya sibuk mengambil beberapa buku dari rak bagian atas.
"Aku mau berbicara sedikit boleh?"
"Banyak juga boleh."
"Tapi kamu gak marah kan Mel?"
"Bicara juga belum kok marah, mau bicara apa?"
"Melll, sebenarnya...sebenarnya..., aku tuhhhh...." Ucapanku terhenti, tiba-tiba di luar terdengar ribut-ribut.
"Pak POS datang, pak POS datang, ada surat."
Dari jendela terlihat anak-anak perempuan berkerumun di depan perpustakaan, sebagian berhamburan menuju gerbang sekolah, mereka yang gemar berkirim surat dengan sahabat pena atau artis favoritnya selalu menunggu kehadiran pak POS. Tentunya mereka sangat senang jika suratnya mendapat balasan.
"Hei, Ikin galing mana, Ikin galing."
Pak Herman guru BP/BK berjalan di depan perpustakaan, sambil memanggil-manggil namaku. Ia terkenal dekat dengan anak didiknya, dan terbiasa memamanggilku galing, karena rambutku ikal keriting.
"Ada di perpus Paaak." Tiara, Ririn, dan Alifa, yang baru kembali dari gerbang sekolah kompak menjawab.
"Maaf, ada apa ya Pak?" Aku berjalan ke luar perpustakaan kemudian menghampiri pak Herman dan mengangguk hormat, hatiku sedikit cemas karena merasa tidak melakukan kesalahan.
"Ini ada titipan surat dari tukang POS, kayaknya dari pacar kamu."
"Ah bapak bisa saja, saya gak punya pacar Pak."
Pak Herman menyodorkan sebuah amplop warna coklat yang masih tertutup dengan cap prangko kilat menempel dibagian depan. "Ini mau diterima tidak, kalau tidak saya bawa lagi ke kantor."
"I..i..iya Pak mau." Aku mengulurkan tangan untuk menerima amplop tersebut.
Tapi pak Herman menarik tangannya sambil tersenyum. "Eit tunggu dulu, bayar uang antar, lima ribu."
Akhirnya amplop coklat itu aku terima, tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Pak Herman sambil mencium tangannya. Dengan rasa penasaran ku lihat bagian belakang amplop, tidak ada nama pengirimnya cuma tertera alamatnya saja, ‘Jln. Dipatiukur No. 125, Bandung-Jawa Barat’.
Teman-temanku yang sedari tadi berkerumun di depan perpustakaan langsung pada bersorak dan berteriak. "Buka...Buka...Buka."
"Buka suratnya sekarang juga."
***
Hujan tidak berhenti sepanjang perjalanan pulang sekolah. Jarak rumahku yang lumayan cukup jauh harus ditempuh dengan jalan kaki, karena kalau siang hari sudah tidak ada lagi angkutan yang beroperasi. Meskipun harus basah kuyup, aku dan teman-teman yang lain sudah terbiasa menempuh jarak 6 kilometer untuk sampai ke rumah.
"Tok...tok...tok." Terdengar Ibu mengetuk pintu kamar sambil memanggilku.
"Masuk Bu, gak dikunci."
Ibu masuk kamarku dan menyodorkan sebuah bungkusan kecil. "Tadi ada mang Anton nanyain kamu dan titip ini, katanya dari keponakannya yang tinggal di Bandung."
"Oh, iya Bu terimakasih."
Setelah ibu keluar aku menutup pintu kembali dan membuka bungkusan itu, ternyata isinya sebuh kaset lagu-lagu Pop Malaysia. Di bagian sampulnya ada tulisan 'Semoga kakak suka', 'Salam dari Allena Oktaviani'. Melihat nama yang ditulis pada sampul kaset, aku baru ingat. Seminggu yang lalu ia cerita kalau mau pergi ke Bandung. Allena adalah teman yang kenal setahun yang lalu, waktu itu masih SMP kelas tiga. Usaha keluarganya di luar kota sedang sepi, kemudian ia bersama orangtuanya pindah ke kampung dan tinggal di rumah kakeknya. Namanya anak baru pindahan belum banyak yang kenal. Kebetulan rumahku tidak terlalu jauh dari rumah kakeknya, kami pun sering bertemu dan akhirnya jadi berteman. Ia sering minta dibantu untuk mengerjakan tugas dari sekolahnya. Setelah lulus SMP, Allena tidak melanjutkan ke SMA, ia lebih memilih ikut berjualan di warung nasi bersama pamannya. Pikiranku menebak-nebak, amplop coklat yang tadi kuterima di sekolah sepertinya surat dari Allena, karena pada alamatnya ada tulisan Bandung-Jawa Barat. Dengan rasa penasaran, aku mengeluarkan isi tas yang tadi kehujanan. Amplop coklat yang diselipkan dilembaran buku tampak basah dibagian pinggirnya. Perasaanku sedikit deg-degan ketika membuka amplop itu, karena ini pertama kalinya mendapatkan surat. Aku mengeluarkan kertas warna biru langit yang tercium sangat harum dan masih terlipat rapi. Dengan perlahan aku membacanya kata demi kata.
Teruntuk: Kakak Seorang
Di Villa Kesunyian
Salam Kangen
Assalamualaikum wr. wb.
Bandung dulu baru Jakarta, Senyum dulu baru dibaca.
Kak...mohon maaf sebelumnya jika kehadiran tulisan yang tak berguna ini menggaggu aktivitas kakak. O..iya lupa apa kabar kak, semoga kakak baik-baik saja. Aku juga disini tak kurang suatu apapun. Kak aku titip kaset sama mang Anton, jangan dibuang ya buat kenang-kenangan, dan semoga kakak suka.
Kak...waktu aku menulis surat ini, disini hujan gerimis. Entah mengapa aku tiba-tiba ingat sama kakak, dan aku beranikan diri untuk menulis surat ini. Kak...selama ini kita sudah berteman cukup lama, kakak selalu perhatian sama aku. Kalau boleh jujur aku suka sama kakak lebih dari seorang teman, menurutku kakak baik sekali dan selalu menyempatkan waktu buatku. Kakak selalu membantuku ketika ada tugas sekolah, dan cuma kakak yang mau berbagi cerita denganku. Terimakasih ya kak sudah mengisi hari-hariku dengan senyum keceriaan.
Kak...sudah malam, udah dulu ya, besok aku harus bangun pagi-pagi membantu paman jualan. Mohon maaf sekali lagi bila ucapanku tidak berkenan di hati kakak, terimakasih sudah mau membaca tulisanku ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
NB: Empat kali empat sama dengan enam belas, Sempat gak sempat harap dibalas. Burung irian burung cendrawasih, cukup sekian dan terimakasih.
Bandung, 25 Januari 2001, Salam Kangen (Allena Oktaviani).
Kuakhiri membaca tulisan itu, dan dugaanku benar surat dari Allena. Tidak kusangka, ternyata pertemanan yang singkat telah membuatnya berkesan. Padahal selama ini tidak ada yang spesial, kami hanya berteman biasa. Setelah melipat surat itu, aku menyalakan tape recorder di pinggir tempat tidur, dan kumasukan kaset pemberian Allena. Terdengar alunan lagu Malaysia yang selama ini hanya aku dengar dari radio.
"Ada satu nama suatu masa dulu, pernah bawa dan beri bahagia. Hingga saat ini, masih kuabadikan dalam hatiku. Dengan satu rasa dalam satu cinta, sewaktu kita bersama dulu. Hanya kita yang tahu, dalam mana telah cinta kita memutik. Walau akhir ini seakan terpisah, oleh masa dan suasana tak dipinta. Namun percayalah tidak sedikit pun, kasihku kepadamu surut dan berubah.”
Lirik lagu itu mengingatkan pada sosok tinggi dengan rambut terurai. Hari-harinya selalu ceria dan sedikit manja ketika aku menemaninya mengerjakan tugas sekolah.
***
Kang Ikin melirik jam dinding di atas tempat tidur, jam menunjukan pukul 00.59. Ia mengusap mata dan menyimpan kembali kaset pita yang tadi dipegangnya ke bagian atas lemari buku. Tidak terasa sudah tiga jam lebih kang Ikin bernostalgia mengingat masa mudanya. Kejadian-kejadian semasa SMA tergambar jelas dalam pikirannya, ia teringat kembali orang-orang yang pernah dekat dengannya 22 tahun yang lalu.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H