Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Lockdown "Nyepi" Bali di Tahun Baru Saka dan Sebuah Kisah Sebelumnya

24 Maret 2020   11:46 Diperbarui: 13 Maret 2021   08:12 1952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perayaan ibadah Nyepi di Bali | Foto: KOMPAS.com/Gary Lotulung

Nyepi, hening tanpa aktifitas merupakan hal yang biasa dilakoni orang Bali (umat Hindu umumnya). Mengingat dalam teologi Hindu dikenal Catur Asrama, empat tahapan kehidupan untuk mencapai kehidupan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, Moksartham Jagadhita Ya Caiti Dharma.

Keempat tahapan itu yakni:

1) Brahmacari adalah masa mencari pengetahuan untuk bekal kehidupan. Dalam fase ini pengetahuan dapat diperoleh hingga lintas batas negara, lintas batas pergaulan.

Jika pada fase ini tidak dibentengi kecerdasan (waskita), kebijaksanaan (wiweka) maka tak ayal dapat terjerumus pada hal-hal yang negatif, membahayakan diri sendiri dan merugikan orang lain.

Lalu tahapan berikutnya ketika telah cukup ilmu, pengetahuan dan kematangan mental spiritual memasuki masa

2) Grahasta. Tentu ketika memasuki tahapan Grahasta, masa berumah tangga akan dituntut tanggungjawab yang lebih besar untuk membangun keluarga, menghidupi keluarga, melindungi keluarga dan tanggungjawab sosial yang lebih luas dalam kehidupan beragama dan kehidupan sosial lainnya.

Pada masa ini pun banyak ujian yang akan dilalui. Perselisihan pendapat, sikap yang egois, kehilangan komitmen dan kemungkinan problem ekonomi.

Jika mampu melaluinya dengan baik maka selanjutnya menuju tahapan kehidupan yang disebut 3) Wanaprasta.

Layaknya kehidupan di hutan yang jauh dari gegap gempita, hingar bingar, pada fase ini manusia dituntut mampu melepas ketergantungannya dengan materi, tidak lagi ambisius apalagi mencari sensasi, mampu bertahan dalam situasi terburuk sekalipun dengan tetap tenang, tidak panik namun pikiran tetap bekerja untuk mengatasi keadaan.

Jika melewati tahapan Wanaprasta, selanjutnya manusia akan memasuki masa 4) Sanyasin/Bhiksuka. Hidup adalah pelayanan. Manava seva, madhava seva yakni melayani manusia sama dengan melayani Tuhan. Pada fase ini manusia telah mampu memutus keterikatannya dengan duniawi, berkomtemplasi mencari hakikat kebenaran, hakikat kehidupan dalam alam semesta agar menjadi manusia yang tercerahkan.

Dalam praktik melatih kontemplasi pencarian hakikat kebenaran, hakikat kehidupan dalam alam semesta agar menjadi manusia yang tercerahkan maka dalam Hindu mengenal ajaran Yoga dan Meditasi yang diperkenalkan seorang filsuf India Kuno, Maharsi Patanjali.

Yoga dan Meditasi sangat dekat dengan kondisi sunyi, sepi, hening. Karena dengan hening memudahkan pemusatan pikiran kesatu titik. Kini Yoga dan Meditasi telah banyak dipraktekkan di dunia oleh banyak orang diluar Hindu.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pencarian hakikat kebenaran, hakikat kehidupan dalam alam semesta tidak harus menunggu masa Wanaprasta atau Bhiksuka. Esensi beragama untuk mempraktekkan nilai-nilainya yang universal dalam kehidupan tidak mesti menunggu usia tua.

Tradisi orang Hindu di Bali dalam mempraktekkan pencarian hakikat kebenaran, hakikat kehidupan dengan cara kontemplasi secara massal dan berkala dilakukan saat momentum perayaan Hari Raya Nyepi/Pergantian Tahun Baru Saka dengan 4 larangan yang dikenal dengan Catur Brata Penyepian yakni Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Geni (tidak menyalakan api/listrik), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang), dan Amati Karya (tidak bekerja/ beraktifitas) berdasarkan Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta).

Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi/Imlek/Hijriyah, pergantian Tahun Baru Saka ditandai dengan "Lockdown Bali". Sehari penuh pulau Bali diisolasi tanpa penerbangan, penutupan pelabuhan, tanpa kendaraan, kantor, tempat kegiatan ekonomi dan hiburan tutup, tanpa listrik kecuali rumah sakit. Dengan hening sehari penuh 24 jam memberikan kesempatan alam semesta bekerja tanpa polusi aktifitas manusia.

Hari Raya Nyepi baru diakui dan ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah pusat berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.

Puluhan tahun lalu ditengah isu perubahan iklim global (Climate Change) sejumlah orang pernah memperkenalkan Hari Raya Nyepi tersebut untuk diadopsi kepada dunia dengan kampanye World Silent Day. Bukan untuk memperkenalkan "Hindu"nya sebagai agama tapi lebih kepada esensi pelaksanaannya untuk menghormati bumi dan semesta.

Maka muncullah istilah kekinian disebut Car Free Day yang hanya mempraktekkan tidak berkendaraan di jalan raya dan Earth Hour, sebuah gerakan yang dicetuskan WWF dan Leo Burnett dengan mematikan lampu 1 jam saja yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 2007.

Orang mungkin mentertawakan kearifan lokal Bali tersebut sebagai tindakan konservatif bahkan kuno di era modern.

Namun hari ini datang virus Corona yang memaksa orang-orang modern untuk lebih menjaga dirinya dan orang-orang disekitarnya dari penyebaran virus Covid-19 melalui kebijakan Work From Home, Social Distancing, Physical Distancing bahkan sejumlah provinsi/negara bagian/negara di dunia melokalisir total wilayahnya dengan kebijakan "Lockdown".

Dengan Lockdown, kota menjadi sepi, tanpa kendaraan, kantor-kantor dan sekolah libur serta warga kota dilarang keluar rumah.

Lalu muncul pertanyaan apakah Hari Raya Nyepi diawali karena merespons adanya wabah penyakit saat itu? Apakah perayaan Nyepi bisa diadopsi oleh dunia sebagai rasa terimakasih 7 milyar penghuni planet bumi ini kepada alam semesta?

Astronomi Hindu (Jyothisa) bagian dari Vedangga yang disusun ribuan tahun Sebelum Masehi (SM) telah berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur. Memuat lima kitab ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta.

Surya Siddhanta menjelaskan aturan untuk menghitung pergerakan berbagai planet dan bulan relatif dengan sejumlah rasi bintang, diameter berbagai planet, serta menghitung orbit berbagai benda astronomi.

Dalam naskah kuno ini menyatakan bahwa bumi berbentuk bola, ukuran diameter bumi, bulan dan jarak antara bulan dan bumi.

Naskah ini juga mengenal pecahan enampuluhan (seksagesimal) dan fungsi trigonometri paling awal yang diketahui dan mempengaruhi perhitungan kalender Suryacandra Hindu.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani Kuno tentang astronomi di abad pertama Sebelum Masehi. Maka selanjutnya lahirlah pemikir dan filsuf barat seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dll.

Socrates (469 - 399 SM) adalah filsuf dari Yunani Kuno yang merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates adalah guru Plato.

Plato (427 - 347 SM) seorang filsuf dan matematikawan Yunani Kuno. Plato adalah gurunya Aristoteles.

Aristoteles (384 SM -- 322 SM) seorang filsuf Yunani Kuno, guru dari Alexander Agung, Raja Makedonia (Yunani Kuno) 356 SM-323 SM.

Ia menulis tentang berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi.

Aristoteles, Plato, dan Socrates dianggap tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat.

Ketika penghitungan hari berdasarkan kalender Masehi/Matahari ditetapkan dan mulai diberlakukan oleh Julius Caesar Raja Romawi pada tahun 47 M, sementara di Asia Barat dan Selatan, kalender Suryacandra/Lunisolar dimodifikasi menjadi Kalender Saka sebagai penanda diakhirinya permusuhan antar suku-suku bangsa Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka.

Tersebutlah Kerajaan/Kekaisaran Kushan (30-375 M) awalnya terbentuk di Bactria, terletak di antara pegunungan Hindu Kush dan sungai Amu Darya.

Kekaisaran ini membentang dari Afganistan ke Pakistan (saai ini) hingga lembah sungai Gangga di India Utara. Kekaisaran ini didirikan Kujula Kadphises menyatukan suku-suku Yuezhi menjadi konfederasi.

Pada tahun 78 Masehi, Raja Kaniska I (mungkin nama lain dari Kujula Kadphises) dinasti Kushan/Kushana mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan untuk menghormati suku Saka. Kerajaan ini memiliki hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Romawi, Persia dan Cina.

Kerajaan India-Skithia/Kerajaan Saka adalah kerajaan di India utara dan Asia Tengah dari dari sekitar 200 SM sampai 400 M. Kerajaan ini berdiri seiring migrasi bangsa Skithia/bangsa Saka ke Bactria, Sogdiana, Arakhosia, Gandhara, Kashmir, Punjab, Gujarat, Maharashtra dan Rajasthan. Selanjutnya kalender Saka berkembang seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara.

Karena letak geografis mengakibatkan perbedaan garis lintang dan bujur dengan India maka di Jawa dan Bali kalender Saka ditambahi dengan cara penanggalan lokal.

Jika merujuk pada kerajaan Hindu awal di nusantara (Salakanegara 130 M, Kutai Martadipura 350-1605 M, Tarumanegara 358--669 M) lalu timbul pertanyaan sejak kapankah perayaan Hari Raya Nyepi di Bali diawali?

Berdasarkan prasasti Telahap, karena berhasil meredam perang saudara, Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu diangkat menjadi raja Kerajaan Medang/Mataram Kuno yang memerintah sekitar tahun 899--913 M. Sementara jabatan Rakryan Mahapatih/putra mahkota dipegang Mpu Daksa. Dan berdasarkan Prasasti Kubu-Kubu 905 M, Dyah Balitung menguasai Bali.

Menurut prasasti Belanjong, Sanur berangka tahun 836 Saka (914 M) menyebutkan, Sri Kesari Warmadewa adalah seorang Jawa dari Dinasti Syailendra (Mataram Kuno) yang memimpin ekspedisi militer untuk mendirikan pemerintahan Buddha Mahayana di Bali.

Namun demikian, saat itu agama Hindu telah dipraktikkan di Bali selama periode ini yang dibuktikan dengan kombinasi ikonografi Buddha dan Hindu Siwa di kompleks Goa Gajah, Gianyar di mana bagian utara adanya Trilingga dan patung Ganesha dan komplek sebelah selatan berupa reruntuhan stupa Buddha berbentuk payung bersusun 13 dan stupa bercabang 3 yang dipahat di batu besar.

Berdasarkan Purana Balidwipa, Sri Kesari Warmadewa bertahta pada tahun 804 Saka (882 M). Pada hari Budha (Rabu), Kliwon, Dungulan, tanggal 15 tahun 804 Saka untuk pertama kalinya dilangsungkan Hari Raya Galungan yang disimbolisasi sebagai hari kemenangan Dharma melawan kezaliman penguasa Bali sebelumnya Mayadenawa. Sejak saat ini praktek persembahan Yadnya menurut Hindu dipulihkan di Bali.

Penelitian ahli purbakala, Dr. R. Goris, yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa Raja Dharma Udayana (989-1011 M) terdapat sembilan sekte agama dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya.

Kesembilan sekte itu kemudian disatukan oleh Senapati Mpu Rajakerta/Mpu Kuturan, dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman/Desa Adat di Bali hingga kini. Penyatuan sekte-sekte itu dipercaya terjadi di Pura Samuan Tiga, Pejeng.

Udayana menikahi putri Mpu Sendok, Raja Mataram (Hindu) yakni Mahendradatta dan memiliki putra Airlangga sebagai pendiri Kerajaan Kahuripan tahun 1009 M. Kemudian adik Airlangga, Anak Wungsu (1049-1077 M) mewarisi kerajaan Bali dengan membangun Pura Gunung Kawi, Tampaksiring. 

Pasca Anak Wungsu dilanjutkan:
ri Maharaja Walaprabhu (1079--1088 M)
ri Maharaja Sakalendukirana Laksmidhara Wijayottunggadewi (1088-1101 M)
ri Maharaja Sri Suradhipa (1115-1119 M)
ri Jayaakti (1133-1150 M)

Pada kurun waktu tahun 1103-1126 M, raja-raja Bali tidak memberi perhatian pada agama dan upacaranya. Tidak ada sumber sastra yang menyebutkan alasan tidak dilaksanakannya upacara-upacara agama Hindu tersebut. Kemudian terjadi fenomena tanam-tanaman mati, wabah penyakit menular, banyak korban jiwa, miskin dan melarat seluruh Pulau Bali (perlu rujukan lontar Usada terkait wabah).

Menurut Babad Usana Bali, Sri Jaya Kasunu menggantikan raja Sri Jayasakti. Beliau beryoga samadi di Parhyangan Batari Hyang Durga di Pura Dalem Kadewatan.

Batari Durga lalu memberi petunjuk bahwa kenapa raja-raja Bali tidak berumur panjang adalah karena setiap wuku Dungulan tidak membuat upacara byakala, menyimpang dari tata terdahulu. Bila Sri Jaya Kasunu ingin menjadi raja maka ia wajib memelihara seluruh peraturan (sasana), wajib memelihara kahyangan dan kabuyutan serta tempat-tempat pemujaan.

Dengan demikian pelaksanaan Hari Raya Galungan kembali dirayakan.

Sri Jaya Kasunu digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Jaya Pangus (1178-1181 M). Pada masa pemerintahan Sri Jaya Pangus dilaksanakan upacara Tawur Eka Dasa Rudra (upacara penyucian alam semesta untuk 100 tahun sekali) di Pura Besakih.

Dengaan takluknya Bali pada Majapahit maka Gajah Mada menunjuk ksatria Majaphit, Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai raja yang memerintah Pulau Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit tahun 1265 Saka (1243 M). Dengan demikian mengakhiri kekuasaan raja Bali, Asta Asura Ratna Bumi Banten. Selanjutnya Bali dibawah pengaruh Majapahit.

Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng, Gianyar mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M.

Berdasarkan Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul, awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur dikaitkan dengan tibanya Bhatara Tiga tiba di Bali dari Gunung Semeru (Jawa Timur) atas perintah Bhatara Pasupati. Disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di Bali pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih (bulan) Kalima pada tahun 113 Saka (sekitar November 191 M).

Hyang Putra Jaya membangun Pura Besakih di Tohlangkir (Gunung) Agung, Dewi Danuh membangun Pura Ulun Danu, Gunung Batur dan Hyang Gni Jaya membangun Pura Lempuyang.

Peninggalan Kerajaan Kutai Martadipura yang beridentitas Hindu antara lain berupa Yupa, tugu batu bertuliskan bahasa Sanskerta yang menyebutkan Mulawarman sebagai raja ketiga Kutai dicatat karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang beridentitas Hindu antara lain Prasasti Ciaruteun/Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta, terdapat cap telapak kaki Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

Prasasti Tugu, Cilincing, Jakarta Utara menyebutkan penanggalan Tahun Saka walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan Phalguna dan Caitra. Prasasti Tugu juga menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.

Peninggalan Kerajaan Kalingga (594-782 M) yang beridentitas Hindu diantaranya Prasasti Tuk Mas /Prasasti Dakawu, adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu alam besar yang berdiri di dekat mata air lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang. Prasasti Tuk Mas dipahat dengan aksara Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta.

Pada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat, seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung. 

Ada pula Situs Puncak Sanga Likur, Gunung Muria. Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu.

Berdasarkan Prasasti Canggal tahun 654 Saka (732 M), Raja Sanjaya yang beragama Hindu Siwa telah mendirikan 'Lingga' di atas bukit Candi Gunung Wukir.

Komplek Candi Arjuna di Dieng merupakan candi pemujaan untuk Dewa Siwa yang dibangun Sanjaya raja Mataram Kuno berdasarkan Prasasti dengan aksara Jawa kuno tahun 731 Saka (809 M).

Kakawin Nagarakretagama/Kakawin Desawarnana karya Dang Acarya Nadendra/Empu Prapanca berbahasa Jawa Kuno masa keemasan Majapahit pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M).

Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September--Oktober 1365 Masehi).

Pupuh 85:

1. Tangal ni cetra teka balagana mapulu rahya (130a) hem apupul, mantri mwa tanda len / gusti sahana nuniweh wadwa haji tumut, milwa mantryakuwu mwa juru buyut athawa wwa ri parapuri, astam / sa ksatriya mwa wiku haji karuhun / sakweh dwijawara.
2. Doni hman ri tan lamlama ni sabala sa ri natha rin ulah, kapwanuttajari raja kapakapa sadanken / cetra winaca, haywanambah ri tan lakwan ika manekete wastradyarana, dewaswadinya tatan purugen ika maran / swastha pura sada.

Artinya:
1. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka, Menteri, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir, Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota, Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama.
2. Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat, Tetapi menganut ajaran Rajakapakapa, dibaca tiap Caitra, Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang, Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat.

Lontar Sang Hyang Aji Swamandala berdasarkan kalender Saka memuat Wariga/Ala ayuning dewasa/hari baik pelaksanaan upacara yadnya.
Menurut lontar Aji Swamandala bahwa, Tawur (upacara) Bhuta Yadnya atau Tawur Kesanga sebaiknya diadakan pada tilem bulan Caitra (Tilem Kesanga/bulan mati pada bulan kesembilan tahun Saka).

Ketentuan ini juga dikuatkan oleh Lontar Sundarigama, bahwa dunia ini akan buruk jika tidak dilakukan pembersihan.
Kemudian ada juga lontar Usana Bali, Sri Aji Jaya Kasunu, bahwa kalau acara yadnya tidak dilakukan maka raja di Bali akan kena tuwuh (keruntuhan).

Perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi, jatuh pada bulan Maret-April tarikh Masehi dan Sasih Kadasa (bulan kesepuluh) dalam kalender Saka Bali.

Berikut nama bulan Kalender Saka India - Saka Bali - Masehi:
1) Caitra / Kadasa (Maret-April)
2) Wesakha / Jiestha (April-Mei)
3) Jyestha / Sadha (Mei-Juni)
4) Asadha / Kaso (Juni-Juli)
5) Srawana / Karo (Juli-Agustus)
6) Bhadrawada / Katiga (Agustus-September)
7) Asuji / Kapat (September-Oktober)
8) Kartika / Kalima (Oktober-Nopember)
9) Margasira / Kanem (Nopember-Desember)
10) Posya / Kapitu (Desember-Januari)
11) Magha / Kawolu (Januari-Pebruari)
12) Phalguna / Kasanga (Pebruari-Maret)

Sistem penanggalan Kalender Saka Bali telah diadaptasi dari Kalender Saka India ditambah kalender Tika, kalender tradisional Bali yang bersifat non-astronomik, disusun berdasarkan wewaran, wuku, penanggal panglong, sasih, dan dauh.

Jika pengelompokan hari pada kalender internasional adalah per minggu yang berjumlah tujuh hari, yakni Senin--Minggu, maka kalender Bali memiliki sepuluh pengelompokan siklus hari per minggu.

Kalender Saka Bali juga memiliki 30 wuku. Masing-masing wuku itu berumur 7 hari. Berdasarkan perhitungan ini maka setiap hari untuk wuku yang sama akan berulang setiap 210 hari.

Penentuan padewasan melalui pananggal panglong merupakan sistem penyesuaian tibanya tilem (bulan mati) dan purnama (bulan terang) menurut perhitungan matematis dengan kenyataan posisi bulan atas matahari dan bumi.

Penanggal (tanggal) disebut pula suklapaksa yaitu perhitungan dari bulan mati sampai dengan purnama. Lama penanggal15 hari. Penanggal ke 15 disebut purnama artinya bulan sempurna nampak dari bumi. Pada momen purnama ini ialah hari ketika Sang Hyang Candra (Wulan) beryoga.

Panglong disebut pula krsnapaksa, yaitu perhitungan hari sesudah purnama yang lamanya juga 15 hari. Pangglong ke-15 disebut tilem, yang artinya bulan sama sekali tidak terlihat. Pada momentum tilem ini ialah hari ketika Sang Hyang Surya beryoga.

Penentuan padewasan melalui sasih adalah hitungan baik buruknya bulan-bulan tertentu, yang dihitung dengan berpedoman pada letak posisi matahari terhadap bumi. Apakah posisi matahari berada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan).

Penentuan padewasan menurut dauh sangat diperlukan apabila upacara-upacara yang hendak dilakukan sulit mendapatkan hari baik (hayuning dewasa). Dalam perhitungan dauh mengandung makna, bahwa dalam waktu satu hari terdapat waktu-waktu tertentu yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan upacara.

Berikut nama bulan Kalender Saka Jawa - Masehi:
1) Kadasa (Maret-April)
2) Destha (April-Mei)
3) Sadha (Mei-Juni)
4) Kaso (Juni-Agustus)
5) Karo (Agustus-Agustus)
6) Katiga (Agustus-September)
7) Kapat (September-Oktober)
8) Kalima (Oktober-Nopember)
9) Kanem (Nopember-Desember)
10) Kapitu (Desember-Pebruari)
11) Kawolu (Pebruari-Maret)
12) Kasanga (Maret-Maret)

Bulan menurut Kalender Sunda, yakni Kartika, Margasira, Posya, Maga, Paliguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji (hampir seluruhnya nama bulan Saka India).

Tahun pertama Hijriah ditetapkan ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.

Kalender Jawa mulai digunakan di Pulau Jawa sejak tahun 1625 M saat Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung. Kalender Jawa merupakan perpaduan antara Hindu, Islam dan budaya Jawa.

Pada masa Dinasti Qing, Kang Youwei (1858-1927 M), seorang reformis Ruisme mengusulkan kalender Tionghoa berdasarkan tahun kelahiran Kongzi (Kong Hu Cu). Sedangkan Liu Shipei (1884-1919 M) menolak hal itu dan mengusulkan berdasarkan tahun kelahiran Huang Di.

Liu Shipei memperkirakan tahun 2711 SM adalah tahun kelahiran Huang Di, dilain pihak Jiaoren (1882-1913 M) memperkirakan tahun 2697 SM adalah tahun kelahiran Huang Di, dan akhirnya disepakati untuk menerima tahun 2697 SM sebagai awal penanggalan Huang Di. Dari angka inilah kemudian ditambah tahun Masehi yang sedang berlangsung (2697 + Masehi) ditetapkan sebagai Tahun Imlek berlaku sejak tahun 1800an Masehi.

Dari uraian sejumlah dokumen dan fakta tersebut dapat dirangkum bahwa:

1) Jika merujuk pada Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul, menyebutkan bahwa pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, bulan Kalima tahun 113 Saka (191 M) datang ke Bali dari Gunung Semeru (Jawa Timur) para pertapa Hyang Putra Jaya, Dewi Danuh dan Hyang Gni Jaya mendapat mandat untuk membangun pelinggih/pura di Besakih, Ulun Danu Batur dan Lempuyang maka penyebar Hinduisme pertama di Nusantara adalah para Brahmana. 

Karena beliau datang dari Gunung Semeru maka penyebaran Hindu di Jawa sangat mungkin sebelum tahun 191 M utamanya di gunung-gunung karena Hindu menghormati gunung/giri.

2) Prasasti Tugu peninggalan Raja Purnawarman menyebut bulan Phalguna dan Caitra serta Raja Hayam Wuruk juga melangsungkan upacara besar di bulan Caitra sebagaimana dilukiskan dalam Negara Kertagama maka kemungkinan raja-raja Hindu di Nusantara menempatkan bulan Caitra istimewa untuk melaksanakan upacara besar, upacara pembersihan, ruwat bumi, penyucian alam semesta, ini mungkin diidentikkan dengan upacara Tawur Agung menjelang pergantian Tahun Saka yang saat ini disebut Tawur Agung Kasanga.

Perayaan Tahun Baru Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca. Berdasarkan Pupuh 85 (1) Kekawin Negara Kertagama digambarkan bahwa perayaan Tahun Baru Saka (tanggal 1 bulan Caitra) di Majapahit dilaksanakan dengan meriah dihadiri pembesar kerajaan dan masyarakat, bukan dengan "menyepi". Sehingga saya menganggap Hari Raya Nyepi tidak berasal dari Jawa tapi produk local wisdom Hindu Bali (butuh rujukan lebih lanjut).

3) Jika merujuk pada penelitian Dr. Goris yang menyebutkan bahwa sebelum abad ke 8 (era Mataram Kuno) masyarakat Bali telah mempraktekkan Hindu dan diperkuat oleh Purana Balidwipa, bahwa Sri Kesari Warmadewa dari wangsa Syailendra yang diutus oleh raja Mataram Kuno bertahta pada tahun 804 Saka (882 M) untuk mengembangkan agama Buddha di Bali malah merayakan Hari Raya Galungan sebagai hari rayanya Hindu.

Ini membuktikan bahwa Hindu di Bali tidak disebarkan oleh para Ksatria dari Jawa melainkan para Brahmana sesuai poin 1. Kemungkinan para Brahmana dengan mata batinnya mampu membaca akan terjadi kemunduran Hindu kelak di Nusantara (terbukti dengan runtuhnya Majapahit dan Islamisasi Jawa) sehingga Bali dipilih sebagai pulau untuk penyelamatan ajaran Hindu. 

Oleh Mpu Kuturan era pemerintahan Dharma Udayana Warmadewa sekte-sekte Hindu di Bali disatukan dengan konsep Trimurti. Hubungan Jawa-Bali selanjutnya berlangsung dari era Mataram Kuno, Kediri, Singosari hingga Majapahit.

4) Berdasarkan lontar Aji Swamandala bahwa, Tawur (upacara) Bhuta Yadnya atau Tawur Kesanga sebaiknya diadakan pada Tilem bulan Caitra (Tilem Kesanga/bulan mati pada bulan kesembilan tahun Saka).
Dengan lontar ini menguatkan kembali keistimewaan bulan Caitra untuk melaksanakan Tawur Agung.

Semoga bermanfaat. Akhir kata saya mengucapkan:

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942 (25 Maret 2020).
Semoga umat manusia senantiasa menjaga keharmonisan antar mahluk dan alam semesta.
Semoga Tawur Agung Kasanga dan "Lockdown" Nyepi Bali mampu mengembalikan keseimbangan Buana Alit dan Buana Agung.
Semoga bangsa Indonesia segera dapat mengatasi meluasnya penyebaran Virus Covid-19 (Corona).

Dirangkum dari berbagai sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun