Aku terus berjalan tanpa memperdulikan ibu yang sedang menangis. Tak aku hiraukan sapaan ibu. Kubiarkan ibu terus menangis dengan pikirannya sendiri. Aku hanya ingin pergi. Pergi jauh entah kemana, yang jelas aku ingin menenangkan pikiranku.
Berhari-hari aku meninggalkan rumah dan hidup di jalanan. Aku menjadi gelandangan. Aku hidup dengan bebas tanpa ada beban. Tapi entah kenapa, setiap saat sosok ibu selalu melintas di benakku. Aku merasa kesepian. Ada kerinduan yang mendalam yang kurasakan. Walau bagaimanapun ibu sangatlah berjasa dalam hidupku. Tanpa didikannya, aku takkan menjadi seperti sekarang.
Entah bisikan dari mana. Tiba-tiba aku ingin kembali pulang dan meminta maaf pada ibu. Aku telah menyakiti hati ibu. Walaupun beliau bukan ibu kandungku tapi beliau lah ibuku. Beliau yang merawatku, beliau yang mendidikku dan membuatku bangga.
Sesampainya di rumah aku tertegun. Rumahku kosong. Ibu tidak ada di rumah. Aku cari dimana-mana tapi tetap tidak ada. Adikku pun tidak ada.
" Rena ".
Kudengar seseorang memanggilku dari luar. Mungkin itu ibu, pikirku. Aku berlari riang menuju halaman.
Ternyata dugaanku salah. Yang aku temukan bukanlah ibu, tapi ibu Heni tetangga sebelah.
"Ren, ibumu . . . ?" Bu Heni tak meneruskan kalimatnya seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal.
"Ibuku kenapa, bu?" Â aku bertanya dengan penuh rasa khawatir
"Semenjak kau pergi ibumu sakit-sakitan. Ibumu sangat menderita. Sebelum pergi ibumu sempat menitipkan ini," ucap Bu Heni sambil menyerahkan amplop putih bersih kepadaku. "Adikmu sekarang di rumah nenekmu."
Rasanya aku bagai tersambar petir di siang bolong, tak ada awan, tak ada gerimis. Aku gemetar menerima amplop itu.