Kulihat ibu masuk ke dapur. Kesedihan tampak jelas di wajahnya. Aku bingung ada apa dengan ibu? Tak pernah kulihat ibu bersedih. Jangan-jangan ibu sakit, pikirku. Tapi ku tepiskan pikiran itu. Satu hal yang aku takutkan adalah melihat ibu sakit. Aku takut kalau ibu sakit parah dan akhirnya akan meninggalkan aku. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin ibu selalu sehat. Karena aku tak ingin kehilangan ibu.
"Ibu kenapa?" tanyaku lembut penuh rasa penasaran. Ibu tidak menjawab pertanyaanku hanya tersenyum, tapi senyum yang dipaksakan.
Aku semakin penasaran, ada apa dengan ibu? Aku yakin pasti ada sesuatu di antara ibu dan tamu tadi. Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan dariku.
"Ibu sakit?" ku ulang pertanyaanku yang belum terjawab, berharap akan mendapat penjelasan.
"Tidak. Ibu tidak apa-apa," jawab ibu singkat.
Kulihat kebohongan terpancar dari sorot mata ibu. Aku tahu ibu bohong. Karena ibu bukanlah orang yang suka berbohong dan menutupi rahasia, apalagi terhadapku. Selama ini ibu juga mengajariku dan adikku tentang kejujuran.
"Ibu pasti bohong. Sebenarnya ada apa sih bu?" aku masih belum menyerah sebelum aku temukan jawabannya.
Kulihat dua titik air mata menetes di pipi ibu. Ya, ibu menangis. Seakan ada berjuta beban yang dipikulnya dan tak ada seorang pun yang bisa membantunya.
"Bu, kenapa ibu menangis?" aku semakin bingung, ada apa sebenarnya. Kini berjuta pertanyaan telah berjajar di otakku menanti sebuah jawaban. Perlahan tanganku mengusap pipi yang mulai keriput itu. Dan secara tiba-tiba ibu memelukku erat. Membuatku hampir tak bisa bernafas.
"Rena, . . . . ibu ingin bicara," ucapnya singkat sambil melepas pelukannya.
Ibu berjalan menuju ruang tamu. Aku mengikutinya dari belakang. Ibu memulai ceritanya, aku mendengarkan dengan serius. Aku terharu dengan cerita ibu. Deg, kalimat terakhir ibu membuat aku tersentak. Tiba-tiba hatiku terasa perih bagai diiris pisau. Rasanya berjuta-juta duri tajam meng- hujaniku