Mohon tunggu...
Ika Sunarmi
Ika Sunarmi Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi. (Helvy Tiana Rosa)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis di Sudut Senja

17 November 2020   13:17 Diperbarui: 17 November 2020   13:19 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu adalah seorang yang sangat istimewa dalam hidupku. Beliau adalah sosok wanita yang sederhana. Perawakannya sedikit gemuk. Sedangkan usianya sekarang sekitar 46 tahun.

Ibu suka memakai celana panjang, entah bepergian atau di rumah saja. Satu hal yang jarang dilakukannya adalah berdandan. Beliau lebih sering tampil sederhana. Jadi ibuku cantik alami. Beliau juga jarang memanjangkan rambutnya sampai sepinggang. Paling sampai sebahu sudah dipotong lagi.

Ibuku adalah seorang yang bijaksana, tak pernah memaksa kehendak kepada aku dan adikku. Beliau juga ibu yang disiplin, kalau saat jam belajar, ibu tak pernah memberi aku izin untuk main.

Ibuku selalu mengajarkan tata krama kepada aku dan adikku. Beliau selalu menjunjung tinggi sopan santun. Misalkan saja ada tamu entah sengaja atau tidak, aku atau mungkin adikku berlaku tidak sopan sedikit saja, jangan harap ibu tidak marah. Ibu nggak mau melihat anaknya berlaku tidak sopan. Ibu juga tidak suka melihat barang- barang yang berantakan. Beliau selalu menjaga kebersihan, kalau pagi aku nggak bersih-bersih ibu marah. Pernah suatu hari aku nggak menyapu dan ternyata ada tamu. Setelah tamu itu pergi ibu marah padaku, aku takut kalau ibu marah. Meski nggak pakai kekerasan. Ibu selalu ngomong "apa kamu nggak malu, kalau dikatakan orang, eh......itu lho anaknya si A orangnya pemalas," kata-kata ibu itu selalu aku ingat.

Aku sangat bangga kepada ibu. Beliau membuatku kagum. Ibu selalu aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan. Ibu benar-benar membuat aku kagum dan bangga. Jujur saja aku pun ingin seperti ibu. Menjadi wanita yang aktif.

Tetapi ada satu hal yang membuat aku bingung, sikap ibu yang akhir-akhir ini berubah, ibu lebih pendiam, tetapi beliau mencurahkan perhatiannya kepadaku. Seolah-olah beliau takut akan kehilanganku. Aku nggak tahu kenapa ibu jadi begitu. Lagian toh aku juga nggak pergi kemana-mana.

Suatu sore ketika aku dan ibu sedang bersantai di rumah. Ada seorang tamu yang tidak diundang datang ke rumah. Seorang ibu setengah baya dengan penampilan yang elegan tersenyum ramah. Aku bingung siapa sih orang itu? Selama ini kami jarang kedatangan tamu asing yang tidak kukenal sama sekali.

Ibu mempersilahkan tamu itu duduk dan segera menyuruhku untuk membuat minuman. Aku menuruti perintah ibu.

Ibu tengah asik ngobrol dengan tamu itu. Seolah-olah mereka sudah lama saling kenal. Sejenak mereka berhenti bercakap-cakap ketika aku keluar membawakan minuman. Mereka mengalihkan perhatian ke arahku. Aku merasa kikuk.

"Silahkan diminum," selaku memecahkan keheningan. Tamu itu hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum ramah. Ibu hanya menatapku sekilas tanpa berniat memperkenalkanku pada tamu itu.

Aku kembali ke dapur. Kubiarkan ibu dan tamu itu melanjutkan obrolannya yang sempat tertunda karena kehadiranku. Aku menyibukkan diri di dapur tapi pikiranku sedikit terusik. Aku sangat penasaran, kok ibu ngobrolnya serius banget. Tapi segera kutepiskan pikiran itu.

Kulihat ibu masuk ke dapur. Kesedihan tampak jelas di wajahnya. Aku bingung ada apa dengan ibu? Tak pernah kulihat ibu bersedih. Jangan-jangan ibu sakit, pikirku. Tapi ku tepiskan pikiran itu. Satu hal yang aku takutkan adalah melihat ibu sakit. Aku takut kalau ibu sakit parah dan akhirnya akan meninggalkan aku. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin ibu selalu sehat. Karena aku tak ingin kehilangan ibu.

"Ibu kenapa?" tanyaku lembut penuh rasa penasaran. Ibu tidak menjawab pertanyaanku hanya tersenyum, tapi senyum yang dipaksakan.

Aku semakin penasaran, ada apa dengan ibu? Aku yakin pasti ada sesuatu di antara ibu dan tamu tadi. Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan dariku.

"Ibu sakit?" ku ulang pertanyaanku yang belum terjawab, berharap akan mendapat penjelasan.

"Tidak. Ibu tidak apa-apa," jawab ibu singkat.

Kulihat kebohongan terpancar dari sorot mata ibu. Aku tahu ibu bohong. Karena ibu bukanlah orang yang suka berbohong dan menutupi rahasia, apalagi terhadapku. Selama ini ibu juga mengajariku dan adikku tentang kejujuran.

"Ibu pasti bohong. Sebenarnya ada apa sih bu?" aku masih belum menyerah sebelum aku temukan jawabannya.

Kulihat dua titik air mata menetes di pipi ibu. Ya, ibu menangis. Seakan ada berjuta beban yang dipikulnya dan tak ada seorang pun yang bisa membantunya.

"Bu, kenapa ibu menangis?" aku semakin bingung, ada apa sebenarnya. Kini berjuta pertanyaan telah berjajar di otakku menanti sebuah jawaban. Perlahan tanganku mengusap pipi yang mulai keriput itu. Dan secara tiba-tiba ibu memelukku erat. Membuatku hampir tak bisa bernafas.

"Rena, . . . . ibu ingin bicara," ucapnya singkat sambil melepas pelukannya.

Ibu berjalan menuju ruang tamu. Aku mengikutinya dari belakang. Ibu memulai ceritanya, aku mendengarkan dengan serius. Aku terharu dengan cerita ibu. Deg, kalimat terakhir ibu membuat aku tersentak. Tiba-tiba hatiku terasa perih bagai diiris pisau. Rasanya berjuta-juta duri tajam meng- hujaniku

Tujuh belas tahun lalu ibu adalah seorang pembantu rumah tangga. Anak dari juragan tempat ibu bekerja hamil di luar nikah. Waktu itu dia masih sekolah. Sebenarnya, kekasihnya mau bertanggung jawab. Tapi orang tua si gadis tidak menyetujui hubungan mereka. Setelah bayi si gadis lahir, lalu diserahkan kepada pembantunya. Karena orang tua si gadis tidak ingin merawatnya.

Satu hal yang sulit aku terima adalah ternyata gadis yang dimaksud ibu adalah wanita yang tadi kemari. Dan yang lebih menyakitkan bayi itu adalah aku.

"Rena, maafkan ibu."

"Tidak . . . ibu pasti bohong," teriakku sambil menangis.

Aku tidak percaya, ternyata orang yang selama ini menjadi dewi bagiku bukanlah ibu kandungku. Bukanlah orang yang telah melahirkan aku. Betapa sakitnya hatiku menerima kenyataan ini.

"Ren, ibu tidak pernah berbohong. Walau bagaimana pun juga kamu tetap anak ibu. Ibu menyayangimu seperti ibu menyayangi adikmu."

Tetapi sulit bagiku untuk menerima kenyataan ini. Berjuta-juta duri menghujaniku, mencabik-cabik hatiku. Kurasakan seolah-olah dinding di sekelilingku tertawa mengejek, melihatku. Kurasakan bumi tempatku berpijak tak lagi berputar, dan rasanya kakiku tak lagi menginjak di tanah.

"Tidak, aku tidak percaya, ibu pasti bohong," teriakku lagi.

Ibu mencoba untuk menenangkan aku. Tapi aku tak peduli, aku berlari ke kamarku sambil membanting pintu. Pikiranku begitu kacau, aku benci ibu. Ternyata ibu adalah seorang pembohong.

Aku bingung dengan apa yang akan aku lakukan. Kuhapus air mataku. Ada kekuatan yang menarik kakiku untuk melangkah meninggalkan kamar. Dengan langkah mantap aku keluar dari kamar.

"Rena, . . . kamu mau kemana?"

Aku terus berjalan tanpa memperdulikan ibu yang sedang menangis. Tak aku hiraukan sapaan ibu. Kubiarkan ibu terus menangis dengan pikirannya sendiri. Aku hanya ingin pergi. Pergi jauh entah kemana, yang jelas aku ingin menenangkan pikiranku.

Berhari-hari aku meninggalkan rumah dan hidup di jalanan. Aku menjadi gelandangan. Aku hidup dengan bebas tanpa ada beban. Tapi entah kenapa, setiap saat sosok ibu selalu melintas di benakku. Aku merasa kesepian. Ada kerinduan yang mendalam yang kurasakan. Walau bagaimanapun ibu sangatlah berjasa dalam hidupku. Tanpa didikannya, aku takkan menjadi seperti sekarang.

Entah bisikan dari mana. Tiba-tiba aku ingin kembali pulang dan meminta maaf pada ibu. Aku telah menyakiti hati ibu. Walaupun beliau bukan ibu kandungku tapi beliau lah ibuku. Beliau yang merawatku, beliau yang mendidikku dan membuatku bangga.

Sesampainya di rumah aku tertegun. Rumahku kosong. Ibu tidak ada di rumah. Aku cari dimana-mana tapi tetap tidak ada. Adikku pun tidak ada.

" Rena ".

Kudengar seseorang memanggilku dari luar. Mungkin itu ibu, pikirku. Aku berlari riang menuju halaman.

Ternyata dugaanku salah. Yang aku temukan bukanlah ibu, tapi ibu Heni tetangga sebelah.

"Ren, ibumu . . . ?" Bu Heni tak meneruskan kalimatnya seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal.

"Ibuku kenapa, bu?"  aku bertanya dengan penuh rasa khawatir

"Semenjak kau pergi ibumu sakit-sakitan. Ibumu sangat menderita. Sebelum pergi ibumu sempat menitipkan ini," ucap Bu Heni sambil menyerahkan amplop putih bersih kepadaku. "Adikmu sekarang di rumah nenekmu."

Rasanya aku bagai tersambar petir di siang bolong, tak ada awan, tak ada gerimis. Aku gemetar menerima amplop itu.

Kubaca tulisan ibu. Tulisan yang singkat dan rapi, tapi sangatlah menyentuh.

Rena, maafkan ibu selama ini telah berbohong kepadamu. Bukan niat ibu membohongimu. Hidup penuh cubaan, sayang. Semua yang terjadi bukanlah ingin kita. Dan ibu rela kau membenci ibu yang telah menyimpan kebohongan ini hingga sekian lama. Tapi janganlah kau membenci ibu kandungmu. Sebenarnya dia sangat menyayangimu. Tapi semua terserah kamu. Setelah ibu tiada apakah kamu akan kembali pada ibu kandungmu atau tidak, ibu tidak memaksamu. Rena mungkin sekarang saatnya ibu pergi, jaga dirimu baik baik

Ibu maafkan aku. Aku telah mengecewakan ibu. Aku menyesal bu. Bisikku dalam hati, ketika aku berkunjung ke pusara ibu. Hujan gerimis mengguyur pemakaman senja itu. Ketika aku meninggalkan tempat pemakaman itu.

Aku berjanji dalam hati. Aku akan terus rajin belajar agar bisa menjadi seperti ibu. Menjadi wanita yang aktif. Ibu terima kasih, aku sayang ibu.

Wonogiri, 25 Juni 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun