Aku tak mengerti mengapa dia mengetahui itu semua. Â Jangan-jangan dia tahu kalau selama ini aku memata-matainya.
"Tapi ini sebuah kebetulan yang menyenangkan karena aku tidak perlu memaksa kamu untuk datang kemari."
Glek.
"Yuk." Ken meraih pergelangan tanganku lalu memaksaku berjalan. Â Aku berusaha melepaskan diri namun genggaman tangannya tak dapat dilawan.
Perutku mendadak mual, aku ingin berteriak namun mulutku seakan terkunci rapat.
Ya Tuhan, apakah aku akan menjadi korban berikutnya?
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, rasa takutku telah memburamkan akal sehatku. Â Kini aku ada dalam ambang kepasrahan. Â Aku hanya bisa berdoa bahwa hari ini bukanlah hari terakhirku berada di dunia. Bukankah keajaiban itu selalu ada?
Aku melirik ke arah meja yang dipenuhi oleh berbagai macam pisau dan Ken mengambil salah satunya. Â Ia tersenyum kecil, meraih sebuah kacamata bergaya militer yang tergeletak di sofa. Â
Ken kembali membawaku, melewati ruang keluarga, lorong lalu dapur, tempat di mana aku dulu sering membantu Oma Irene untuk membuat Ontbijtkoek, kue kegemaran putra sulungnya.
"Kamu mau bawa aku kemana?" Aku memberanikan diri untuk bertanya dalam selubung ketakutan yang meraja.
"Bukan kejutan kalau kamu tahu lebih dulu, ya kan?" Ken membuka pintu menuju ruang bawah tanah, ruang yang dulu digunakan oleh Opa Jan sebagai tempat penyimpanan botol-botol anggurnya yang bersejarah.
"Aku tidak mau kesana! Dengar ya Tuan Hamada, aku akan berteriak sekeras-kerasnya."