"Ya ampun, Vanya .. Â kamu terlalu banyak membaca novel thriller. Â Kamu kira aku akan menghabisimu karena aku tahu kalau kamu sering mematai-mataiku, begitu?"
"Sini biar aku jelaskan."
"Aku tak butuh penjelasan, aku sudah punya bukti." Mendadak keberanianku meledak-ledak.
"Hmm ternyata perkataan Papa kamu benar bila kamu itu keras kepala. Â Tapi bagaimanapun juga, aku akan menjelaskan semuanya agar tidak ada salah faham diantara kita." Â Ken tersenyum dan mempersilakan ku duduk.
"Vanya, aku adalah chef untuk restoranku sendiri. Bukankah restoran adalah salah satu bisnis yang dapat menyenangkan orang?"
"Dan seorang chef memerlukan banyak pisau untuk mengolah makanan, iya kan?"
"Gundukan tanah dekat rumpun mawar itu adalah tempat ku mengubur beberapa buah semangka hasil panen seorang teman agar tahan lama."
"Beberapa senjata di ruang tamu adalah peninggalan moyangku yang kami dapat secara turun-temurun." Ken menatapku, namun kini tidak sedingin biasanya.
"Dan tentang rumah Pak RT. Â Vanya, aku ini penduduk baru di sini, aku wajib melaporkan keberadaanku."
"Apalagi, oh ya tatto, setiap orang memiliki hak untuk menggambari tubuhnya. Ular, naga, serta burung phoenix memang identik dengan Yakuza namun tak berarti aku ini salah satu dari mereka kan? Jangan mengada-ada." Ken tersenyum simpul.
"Semua analisaku tidak mengada-ada, aku punya bukti. Bagaimana dengan cairan merah itu? Kamu tidak bisa mengelak dari bukti yang satu itu." Aku berkata galak, rasa takut ku mendadak lenyap.