Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir (Bagian 13)

1 Mei 2018   15:54 Diperbarui: 1 Mei 2018   16:00 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : whoa.in

Trotoar jalan Asia Afrika yang lapang ternyata membuat hati Jimmy terasa lapang juga. Ia berjalan zig-zag dengan gaya yang sempoyongan, merentangkan tangannya bagai layar kapal Pinisi yang tengah melaut di Samudra Hindia.  Rein mengikuti Jimmy dari belakang sementara di belakangnya ada Nara yang berjalan dengan tenang.

Rein melangkah pelan diantara hembusan angin siang menjelang sore itu, sementara Nara menatap gadis yang tengah berjalan di depannya. Nara ada di sana karena ajakan Jimmy.  Ia bertemu Jimmy di Kantin ketika istirahat tadi. Ia yang tadinya berniat akan pergi ke tempat kos Andre mendadak membatalkan acaranya karena omongan Jimmy yang menyebutkan akan pergi bersama Rein.

Nara menjajari langkah Rein dengan tiba-tiba membuat gadis itu sedikit  terkejut.

"Kamu sering ke sini?" tanya Nara.

"Dulu, kalau sekarang sekarang enggak, terakhir kesini  dengan  Yan."

Jimmy terlihat menyebrangi jalan  lalu menyebrang lagi, memutari tiang-tiang bendera di depan Gedung Merdeka.

"Nanti aku mau ke Kantor Pos, di pertigaan sana, tadi Kantor Pos kampus sudah tutup." kata Rein menunjuk ke arah sebuah gedung yang belum terlihat.

"Sekali jalan, dua tiga pulau terlewati?" tanya Nara.

"Sekali dayung, kak." protes Rein.

"Kita kan jalan kaki." Nara menjejakkan kaki kanannya yang berbalut sneakers abu abu dengan keras ke trotoar.

"Lha berarti bukan pulau juga dong, sekali jalan dua tiga tempat terlewati, nah itu yang benar."

Nara tertawa dan menganguk.Sampai di tempat tujuan, Jimmy langsung duduk bersila di depan para pedagang majalah bekas yang terletak  di samping gedung PLN itu.  Tempat itu kerap di sebut dengan bursa majalah bekas Cikapundung karena letaknya yang berdekatan dengan aliran sungai Cikapundung.   Rein dan Yan kerap berlama -lama di sana, mencari majalah-majalah musik luar negeri,  otomotif atau National Geografic.

"Tadi yang kita lewati disana itu, gedung apa? Museum ya?" tanya Nara.

"Aha, namanya Gedung Merdeka, tempat berlangsungnya konferensi Asia Afrika tahun 1955 dulu." terang Rein.

"Isinya apa?" tanya Nara penasaran.

"Banyak, ada diorama para delegasi KAA, foto-foto,  jajaran bendera sampai mesin ketik jadul, kapan-kapan kita masuk ke sana deh."

Nara mengangguk. "Kalau ini gedung apa?" tunjuk Nara ke gedung yang ada di samping mereka.

"Ini gedung PLN, bikinan Belanda, zamannya Daendels."

"Si kerja Rodi?"

"Iya."

"Oh, gedung lama ya?"

"Yap, di dalamnya ada sumur tua yang katanya berpenghuni, hiiyy." Rein menaikan bahunya sambil bergidik.

"Oh ya?"

"Iya, namanya Sumur Bandung. Sampai sekarang airnya masih jernih banget. Kabarnya mata air itu muncul akibat ketukan dari tongkatnya seorang Raden  bernama RA Wiranatakusumah II."

"Kok tahu?"

"Pasti kata si Yan." sahut Jimmy.

"Seratus buat kamu Jim." sahut Rein dengan senyum terkembang.

***

Matahari telah sedikit meredup, ketika mereka memutuskan untuk beranjak dari sana.  Setelah menyambangi kantor pos besar,  kini mereka berada di dalam kawasan Alun-Alun Bandung.  Menikmati suasana sore hari yang ramai dengan lalu lalang orang dan para pedagang asongan.

"Terakhir aku ke sini, air mancurnya masih berfungsi, gak kayak sekarang." Rein menunjuk kolam air mancur yang kini kering kerontang.

"Kapan?"

"Kayaknya pas aku umur 5 tahun-nan deh."

"Jadul banget."

"Eeh dulu, tempat ini adalah salah satu tempat rekreasi warga yang lumayan top setelah Kebun Binatang dan Taman Lalu Lintas."

"Oh gitu ya, masjid nya sudah ada?" tanya Nara lagi.

"Ya sudah lah."

"Kakak wisatawan dari mana?"  Jimmy mendorong bahu Nara sambil tertawa.

"Dari luar pulau." jawab Nara asal.

"Oh pantesan, norak banget."

Nara mendelik kepada Jimmy. "Kamu pasti sudah pernah ke sini juga kan Jim, kamu kan orang Bandung."

Jimmy menggeleng.

"Lah kamu lebih norak, orang Bandung kok gak pernah masuk sini."

"Ini sudah, sekarang."

"Iya karena diajak Rein." kata Nara sambil terbahak.

Jimmy menyeringai.

Tak terasa malam telah tiba, kini tiga serangkai itu sedang menikmati segelas susu murni mereka masing-masing di sebuah lapak penjual susu murni di sekitaran Kebun Kelapa. Rein menghirup susu berperisa coklatnya dengan penuh penghayatan. Sedangkan Nara mengamati susu murni plainnya lalu menghirupnya pelan.

"Susu ini kalau ditambah gula lalu di blender bersama beberapa potong pisang, terus hasilnya dimasukin ke gelas piala, lantas diberi topping whipped cream, kayaknya bakal cocok buat kamu Jim, banana milkshake.  Minuman buat yang sedang stress."  terang Nara sambil mengacungkan gelasnya ke depan wajah Jimmy.

Rein dan Jimmy terperanggah, mata mereka tidak berkedip memandang wajah Nara.

"Kenapa? Kalian kayak habis kesamber petir aja."

"Itu kata Yan juga?" tanya Jimmy.

"Siapa Yan?" tanya balik Nara.

"Teman si Rein, yang hari ini banyak banget di sebutin namanya."

"Gak tahu Yan yang itu, kalau Yan Asmi D'bodor aku tahu."  sahut Nara datar, di sambut tawa Rein dan Jimmy.

"Kakak kok kebayang sih bikin minuman seperti gitu, kalau aku sih boro-boro, susu coklat gini aja sudah terasa enak banget."

"Aku sedang tertarik dengan olahan minuman. Tapi kalau jus alpukat versi kamu yang di campur F*nta grape itu, rasa yang dihasilkannya pasti rasa kurang ajar ya. Jus alpukat itu enaknya di campur dengan kopi plus krim." terang Nara pasti.

"Wah, kakak belum nyobain minuman aku itu sih, kalau sudah pasti bakal muntah." Rein tertawa.

Setelah menghabiskan isi gelas mereka masing masing, kini Rein, Nara dan Jimmy berdiri mematung di depan lapak susu murni itu untuk menanti angkot yang akan di tumpangi oleh Rein.

"Hei Rein, makasih ya, kamu ngajak aku jalan-jalan, pakai kaki, capek sih, tapi rame juga ya." kata Jimmy sambil merangkul bahu Rein.

"Hem, katanya capek gak pakai mobil." goda Rein.

"Memang capek banget, kaki aku yang biasanya cuma nginjek tiga pedal di bawah, sekarang dibawa nginjek macem-macem. Tapi beneran asik banget kok, jadi kita kemana lagi besok?"

"Ke Cihapit, ajak Dandy, dia masternya daerah Cihapit."

"Ada apa di sana?" tanya Jimmy, ia terlihat sangat tertarik.

"Kaset bekas." sahut Rein.

"Kamu kok sukanya yang bekas-bekas sih, jiwa loakan." Jimmy menjitak kepala Rein.

"Benda bekas itu biasanya punya sejarahnya sendiri, asik aja disamping murah." Terang Rein santai.

"Murah, Meriah, Muntah?" tanya Nara kalem.

"Itu motto daerah kakak ya?" Rein menyeringai.

"Apaan, 3M tadi?" Nara memandangi wajah gadis yang berdiri di sampingnya.

"Iya." Rein mengangguk.

"Kenapa?" tanya Nara

"Umam punya motto yang sama, kalian kan satu kampung halaman." terang Rein.

Nara tergelak lalu berlama-lama menatap wajah gadis yang ada di sampingnya itu. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, akankah ia mempunyai keberanian untuk mengutarakan semua perasaan yang telah lama bersemayam dalam hatinya kepada gadis yang selalu membuatnya tersenyum itu?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun