Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Terakhir (Bagian 8)

28 Februari 2018   16:58 Diperbarui: 28 Februari 2018   17:07 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : sarahstraub.blogspot.co.id

Rein dan Nara berjalan berdampingan mendaki tangga semen yang kasar, keluar dari areal kosan Redi dan mulai celingukan kiri kanan untuk menyebrangi jalan yang tak ramai.

"Kalian aneh." ujar Nara.

"Kenapa?" tanya Rein sambil sibuk menyibakkan rambutnya yang telah memanjang.

"Main bulutangkis kok di kamar."

"Redi yang ngajak, dia kan memang rada-rada aneh."

"Ah sama aja kayak kamu." sahut Nara sambil tersenyum dan melirik Rein yang tengah memandangi kaset pinjamannya.

"Lha, kenapa kakak mau nemenin orang aneh kayak aku, nanti jadi ketularan loh, aneh kan virus."

Nara tertawa lalu mengalihkan pembicaraan. "Kaset apa?"  

Rein menyerahkan kaset milik Redi. Nara membaca covernya lalu membaliknya dan melihat track list yang berada di bagian belakang cover kaset itu.

Bach, Chopin, Beethoven, Mozart, Tchaikovsky, sampai David Clyderman.  Pikiran Nara langsung melayang pada semua acara pentas resital piano yang pernah ia lalui.  Beberapa komposisi di dalam kaset itu pernah ia bawakan.

"Aku paling suka Etude no 3-nya Chopin dengan Air on The G string-nya Bach. Dua komposisi itu powerful banget bahkan bisa mengobati sakit gigi ku." Rein tertawa lepas.

Nara diam ia masih ingat benar dengan Etude nomor tiga itu,  lagu yang ia bawakan di pentas resital pianonya yang berakhir dengan rasa pahit di hatinya.

"Musik klasik terutama milik Mozart dan Beethoven kabarnya bisa membuat seorang bayi yang ada dalam kandungan menjadi lebih aktif dan cerdas, makanya di luar sana sudah mulai banyak ibu hamil  memperdengarkan musik klasik ke calon bayi mereka.  Harapannya sih anaknya nanti bakal sejenius Einstein." Rein menoleh ke arah Nara yang masih memandangi cover kaset itu sementara ia telah membuka pintu kamarnya.

"Hmm gitu ya." sahut Nara sambil bersandar di dinding kamar kos Rein.

"Nih kak kamusnya."

"Sejak kapan kamu suka klasikan?" Nara menyerahkan kaset milik Redi lalu menerima kamus yang diulurkan  gadis yang berdiri canggung dihadapannya itu.

"Sejak Redi sering setel kaset-kasetnya. Redi kan penggemar segala sesuatu yang klasik."

Nara mengangguk-angguk.

"Aku sih gak bisa dengerin lagu klasik yang panjang-panjang, too heavy kak, kapasitas otak ku kecil. Ya harus yang tipe-tipe kayak gini lah, kalau yang heavy-heavy enggaklah, sama kayak heavy metal, heavy tamala." kata Rein ringan.

"Epi kali itu mah." Nara tergelak.

"Kakak sudah ketularan logat orang sini rupanya, Evi kak bukan Epi."

Nara tersenyum. "Mandi sana!" perintahnya.

"Memangnya mau kemana?" tanya Rein heran.

"Oh jadi kamu mandi kalau mau pergi aja?"

"Irit air."

"Ya sudah mandi sana, kita pergi." Nara kembali memerintah Rein.

"Kemana?" tanya Rein penasaran.

"Kemana aja deh, cepetan."

Rein pun beranjak, sambil masih terheran-heran.

"Pakai jaket."  Perintah Nara sesaat setelah melihat Rein siap.

"Ke mas Nano doang mah gak usah pakai jaket kali kak."

"Gak ke mas Nano, yuk cepetan." Nara memasukkan kaset semi klasik Redi ke saku celana jeans-nya.

"Kak jangan misteriusan gini dong, kakak kayak Alfred Hitchcock aja."

Nara tertegun sejenak, mendiang adiknya pernah mengatakan ini sebelumnya. Kembali terbayang senyum terakhir Jed yang sempat membuatnya tidak dapat memejamkan mata selama dua hari berturut turut.

Rein tergopoh-gopoh mengikuti langkah langkah lebar Nara yang berjalan mendahuluinya.

"Jadi aku musti mandi ya kalau mau masuk ke kosan kakak, sekalian aja pasang batas suci di pintunya." seru Rein nyinyir begitu ia menyadari mereka kini telah berada di depan kosan Nara yang tenang.

Tanpa mengeluarkan sepatah kalimat pun Nara langsung masuk ke dalam kamarnya.

"Ini kan motor si Indra, kemana orangnya?" Rein melongok ke dalam kamar, ia melihat Indra tengah serius bermain game di komputer milik Nara.

"Tumben di sini? Biasanya di tempat ..." Rein menggantung pertanyaannya.

"Shia?" tanya Indra, matanya masih tertuju ke gambar-gambar grafis yang bergerak cepat di hadapannya.

"Ya begitulah."

"Ogah, pacarnya sering dateng."

"Winda?"

"Bukan artis pemeran pengganti kamu itu, tapi anak baru namanya Syasya. Tiap hari ada terus sekarang, udah kayak malaikat Rokib sama Atid aja mencatat amal baik dan buruknya Shia."

Rein mencibir kepada Indra. Nara melirik Rein, meraih tangannya mengajaknya beranjak.

"Ndra pergi dulu ya." Nara berpamitan.

"Iya, bawa ketan bakar ya, hati hati jangan kayak Shia ya bikin penyok motor ku." teriak Indra serius.

"Aku kan gak sedang marah, Ndra." sahut Nara asal.

Rein mendelik ke arah Nara yang masih tersenyum simpul.

"Naik!" perintah Nara kepada Rein.

Rein ragu.

"Hayuuuk, cepetan." lanjut Nara.

"Kakak dari tadi ngomong cepetan melulu, aku tuh masih berupa Barry Allen belum jadi The Flash yang bisa cepet ngapa-ngapain, mau kemana?"

Nara menyeringai. "Dan aku bukan penumpang ojek yang terus ditanya-tanya mau kemana, naik aja, jangan berisik."

Rein mencibir. Motor Indra pun melaju dengan tenang membelah keramaian jalan membelok ke jalan utama ke arah Lembang yang terasa nyaman di sabtu sore itu.

"Kak berhenti dulu." seru Rein tiba tiba.

"Kenapa? Mau kemana?".

"Mau kesitu dulu." Rein turun dari motor dan masuk ke dalam lapak kecil yang menjual perlengkapan naik gunung.  Lapak itu berupa ruangan kecil yang terbuat dari kayu-kayu dan ditata dengan rapi.  Di dalam lapak itu, Nara melihat ada barisan dompet berbahan parasit, karabiner, gelang-gelang yang terbuat dari tali temali, bandana, pisau belati, sampai lampu minyak untuk berkemah.  Nara memandangi gelang berwarna biru yang sangat menarik matanya.  Sedangkan Rein menatap puas, dompet berwarna hijau yang kini ada dalam genggamannya.

"Beli dompet?" Nara melirik Rein yang tengah sibuk membolak-balikan dompet barunya.

"Yap, kemarin dompetku hilang."

"Kok  bisa, dicuri? Dimana?"

"Di kampus."

"Ah masa ada pencuri di kampus, di angkot kali atau di bis."

"Nah itu kak, aku juga gak nyangka. Aku kira kampus itu adalah salah satu tempat bebas pencuri tapi nyatanya enggak."

"Memangnya pasti di kampus hilangnya?"

"Yap, jadi ceritanya gini, aku kan ke toilet, saat itu sepi gak ada siapa-siapa, aku taruh tasku di luar toilet. Aku kan berprasangka baik, eh tapi nyatanya kampus sama gak amannya dengan bis kota."

"Gak ada cek, giro sama uang dollar-nya kan di dalam dompet kamu itu?" tanya Nara tersenyum. Rein merengut

"Lain kali hati-hati, terkadang apa yang kita anggap baik tidak selamanya baik begitu pula sebaliknya."

Rein melirik Nara, raut wajah pemuda itu terlihat tidak seperti biasanya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun