"Dengar ya, Rhi, aku bukan cahaya atau apalah itu. Aku juga bukan boneka yang bisa kamu permainkan sesuka hatimu. Aku bersimpati kepada Ren, tapi aku merasa ini semua tidak benar." Lira merasa dadanya sesak. Â Sementara Rhi bergeming.
"Lusa kak Ren akan menjalani operasi. Aku tidak akan meminta apa-apa lagi dari kamu, Ra, karena aku tidak pantas untuk itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kakak membutuhkanmu untuk ada di sisinya saat ia berjuang demi kehidupan yang dulu ingin ia tinggalkan. Aku menyayangi kamu, Ra tapi aku juga menyayangi kak Ren. Seperti kamu, dia selalu ada untukku."
***
Malam itu, air mata Lira menerjang bagaikan air bah yang tak sanggup untuk dikendalikan.
"Ini tidak adil." Lira bergumam diantara isak tangisnya. Tempat tidurnya berubah menjadi kolam air mata.
***
Ruangan itu dipenuhi dengan nuansa hitam, orang-orang berbisik-bisik pelan dengan wajah muram. Lira terlihat kebingungan. Ia berlari menghampiri sosok yang terbujur kaku diantara wangi bunga melati yang menusuk hidung tak relanya.Â
Ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu seakan ingin membangunkannya, namun sosok itu bergeming. Semua ini nyata, tak akan ada lagi dia yang selalu melindunginya, mendengarkan curhatnya, mengantarkan kemana pun pergi, dan memberi limpahan kasih sayang yang tulus.Â
Lira menjerit, meraung, dan menangis sejadi-jadinya. Nafasnya terengah ketika ia membuka matanya. Â Mimpi itu bagaikan nyata. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar, dan akhirnya menemukan yang ia cari.
Lira memeluk erat sosok yang terlihat terkejut itu seakan tak ingin melepaskannya.
"Kak Kei, jangan pernah pergi meninggalkan ku ya."