ABSTRAK
Sikap spiritual dan sosial peserta didik saat ini terbukti belum sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari program penguatan pendidikan karakter. Artinya pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu dievaluasi. Tulisan ini hadir untuk menekankan kembali urgensi nilai-nilai kebudayaan sebagai dasar pendidikan karakter di sekolah serta menghadirkan gagasan implementasinya. Metode yang digunakan adalah studi pustaka, mempelajari buku referensi, jurnal serta pengalaman penulis yang dirasakan dalam aktifitasnya di sekolah. Terlihat pendidikan karakter di sekolah belum secara serius menempatkan nilainilai budaya sebagai landasannya. Penguatan landasan tersebut diikuti dengan implementasi trilogi lembaga pendidikan dapat menjadi solusi peningkatan hasil pendidikan karakter disekolah.
ABSTRACT
The current students’ spiritual and social attitudes have proven to be incompatible with the goal of character education strengthening program. It shows that character education program implementation in school needs to be evaluated. This paper aims to remind the urgency of cultural values as the basic of character education program in schools and, to bring the idea of the ideal implementation form. Library research is the method used; analyzing reference books, journals and the author’s experiences while working in schools. The result shown that character education program implementation in schools has not seriously put the cultural values as its foundation. Strengthening the cultural values as the foundation of character education program that is followed by the trilogy of educational institutions implementation could be an exit strategy to improve the character education program result in school.
PENDAHULUAN
Tobroni (2018), mengutarakan bahwa cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan perubahan sosial tidak sepenuhnya kondusif bagi tujuan pendidikan. Telah banyak perilaku menyimpang peserta didik yang diakibatkan oleh serangan gencar narkoba, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), ideologi ekstrim (radikal dan liberal).
Seperti menjadi pemandangan sehari-hari merebaknya ketidakjujuran, penurunan rasa hormat anak kepada orang tua dan guru, peningkatan tindak kekerasan dan pertengkaran dikalangan pelajar, peningkatan penyalahgunaan narkoba dan minuman keras, penurunan semangat belajar dan kedisiplinan, meningkatnya kebiasaan materialis dan hedonis pada pelajar, perluasan perilaku permisif (bebas). Beberapa kasus yang terjadi pada akhir-akhir ini di sekitar kita menunjukkan adanya krisis moral di kalangan peserta didik, antara lain; pesta miras di kalangan pelajar, tawuran antarpelajar, dan pelecehan seksual (Ghufron et al., 2017).
Kondisi tersebut diatas dapat menjadi salah satu indikator belum suksesnya program pendidikan karakter di sekolah sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakater (PPK)(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018) pada Satuan Pendidikan Formal.
Desain PPK adalah penerapan nilai-nilai Pancasila. Terutama nilainilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
Nilai-nilai Pancasila tersebut merupakan produk kebudayaankebudayaan bangsa Indonesia yang telah dikemas sedemikian rupa oleh para tokoh kemerdekaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Maka untuk keberhasilan penanaman nilai-nilai Pancasila tersebut kebudayaan perlu dijadikan salah satu landasan konsep, implementasi, dan evaluasi dari pendidikan karakter.
Kearifan budaya merupakan perekat identitas bangsa (Brata, 2016). Kebudayaan bahkan berkaitan erat dengan ketahanan suatu bangsa. Itulah diantara alasan mengapa kebudayaan perlu dijadikan sebagai salah satu landasan pendidikan karakter.
Diantara sebab belum suksesnya pendidikan karakter dewasa ini, sangat dimungkinkan karena pendidikan karakter berbasis nilai-nilai budaya di sekolah belum dilaksanakan secara serius. Tulisan ini hadir untuk menekankan urgensi nilai-nilai kebudayaan sebagai nilai-nilai utama dalam pendidi kan karakter, khususnya di sekolah, serta menghadirkan gagasan implementasinya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode library research, yaitu dengan mempelajari dan menganalisa berbagai referensi, artikel jurnal, buku dan penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan obyek penelitian, serta sumber-sumber lain yang mendukung penelitian. Selanjutnya dilengkapi dengan pengalaman penulis selama terlibat dalam pengelolaan/ pelatihan sekolah-sekolah di beberapa provinsi di Indonesia. Menurut Ansori (2019), studi pustaka berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari literatur-literatur ilmiah. Data diperoleh dari data yang relevan terhadap permasalahan yang akan diteliti dengan melakukan studi pustaka lainnya seperti buku, jurnal, artikel, peneliti terdahulu.
Pada penelitian ini peneliti melakukan beberapa tahapan dalam pengumpulan, analisis, dan penyajian data. Dimulai dengan mengumpulkan berbagai sumber, mengaktegorisasi sumber sesuai dengan struktur bahasan penelitian yang telah ditentukan, memilih informasi yang kredible, menganalisis konten dari berbagai sumber yang telah dikumpulkan, selanjutnya diperkuat dengan wawancara kepada beberapa pengelola sekolah di beberapa provinsi sebagai data pelengkap.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Budaya (Cultural Value)
Nilai adalah sesuatu konsep yang dianggap baik, penting, dan diharapkan oleh suatu anggota masyarakat tertentu yang menyepakatinya. Konsep tersebut menjadi tolok ukur benar-salah dan baik-buruknya suatu objek. Budaya menurut Budaya et al. (2013), merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat, unsur- unsur pembentukan tingkah laku didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
Nilai budaya berarti suatu konsep umum yang terorganisasi dan mempengaruhi perilaku masyarakat tertentu, yang berhubungan dengan korelasi manusia dengan lingkungan, pengetahuan, hukum, adat, serta diturunkan dari generasi ke generasi. Nilai budaya tersebut bisa diadopsi dan dimodifikasi pada komunitas tertentu untuk tujuan tertentu. Misalnya desain kebudayaan untuk komunitas terbatas di perusahaan dan sekolah, demi tujuan produktifitas dan pendidikan.
Kebudayaan yang dibentuk untuk anggota masyarakat tertentu atas dasar nilai-nilai budaya tertentu akan mempengaruhi tatanan perilaku anggotanya. Kebudayaan perusahaan akan mempengaruhi para pengelola dan pekerja didalamnya. Kebudayaan sekolah akan mempengaruhi warga sekolahnya, demikian seterusnya.
Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Budaya di Sekolah
Secara etimologi, bila ditelusuri dari asal katanya, kata karakter berasal bahasa Latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam. Secara terminologi, karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia.(Putry, 2019)
Suatu bangsa akan bisa mencapai taraf kemajuan dan tetap eksis dalam persaingan global apabila rakyatnya berkualitas Lickona (2012). Karakter merupakan puncak (kulminasi) dari sikap, perilaku, motivasi, dan skill individu (Battistich, 2008).(Taufik, 2014) Tanpa penguatan karakter, kemajuan suatu bangsa akan sulit terjadi. Karakter suatu bangsa itu sendiri merupakan turunan dari nilai-nilai kebudayaan yang dimilikinya.
Tidak mudah untuk menjaga dan melestarikan karakter budaya bangsa, hal itu disebabkan oleh terpaan budaya dari luar atau asing yang secara kasat mata mengandaikan kemewahan, dan kebebasan yang tak terkendali.(Idrus Ruslan, 2015) Karena tidak mudah, maka nilai-nilai budaya perlu ditanamkan secara serius melalui pendidikan karakter di sekolah.
Nilai-nilai budaya yang dibidik untuk ditanamkan melalui pendidikan karakter di sekolah antara lain religius, ujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakater pada Satuan Pendidikan) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).
Sebagai contoh nyata saat ini, korupsi di Indonesia tidak menurun, malah sebaliknya. Tahun 2020 Indonesia berada pada skor 37 dengan rangking 102 dari 180 negara yang dilibatkan, turun tiga poin dari tahun 2019 (Corruption Perception Index). Lima besar negara dengan IPK tertinggi antara lain Denmark dan Selandia Baru (IPK 88); Finlandia, Singapura, Swedia dan Swiderland (85); Norwegia (84); Belanda (82); Jerman dan Luxembourg (80).(CNN Indonesia, 2021) Itu dapat menjadi salah datu bukti
bahwa penanaman karakter peduli sosial dan tanggung jawab di sekolah belum berhasil. Oleh karena itu, pendidikan karakter dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi problem-problem bangsa
Indonesia (Taufik, 2014).
Penanaman nilai-nilai karakter di sekolah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 dilakukan dengan pengorganisasian budaya sekolah yang tertanam dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan standar operasional prosedur (SOP) kegiatannya. Dalam KTSP dan SOP tersusun fondasi nilai-nilai karakter berbasis budaya yang akan didorong oleh semua perangkat sekolah yang dimiliki. Guru menerjemahkannya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Peserta didik memahami dan mengikuti program kegiatan yang dibuat secara aktif. Kepala sekolah dan tenaga kependidikan mendorong kelancaran operasional dan keberhasilan program. Model pendidikan karakter yang baik, meletakkan landasan nilai dalam visi satuan pendidikan, kemudian nilai-nilai inti karakter yang tertuang dalam visi disosialisasikan kepada warga besar satuan pendidikan, mereka kemudian membangun komitmen bersama untuk mewujudkan visi (Akbar, Sa’dun, Samawi, Ahmad, Arafiq, Muh., Hidayah, 2014).
SOP adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi perkantoran yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat penyelenggaraan dan aktor yang berperan dalam kegiatan (Nugraha, 2018). SOP kegiatan sekolah disusun untuk menjaga stabilitas performa kerja komunitasnya. Sekolah secara terukur dapat menerjemahkan nilai-nilai budaya dalam bentuk-bentuk nyata kegiatan guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan yang diselenggarakannya.
Jika ketaatan beragama, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, dan nilai budaya lainnya belum menjadi bagian dari kesadaran peserta didik. Artinya pendidikan karakter berbasis nilai budaya di sekolah belum berhasil. Karena jika penanaman nilai budaya telah berhasil, maka nilai tersebut akan menjadi bagian dari karakter peserta didik. Dimana perilaku sesuai nilai budaya yang diharapkan akan muncul atas dasar kesadaran, bukan keterpaksaan karena aturan, atau ketertarikan atas penghargaan tertentu.
Lawrence Kohlberg (Nurhayati, 2006) membagi perkembangan karakter pada tiga tahapan; prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah. Penalaran moral dikendalikan oleh suatu penghindaran atas hukuman tertentu dari unsur eksternal. Konvensional adalah tahapan dimana seseorang melakukan sesuatu agar meraih legitimasi baik dari orang lain atau lingkungan masyarakat tertentu. Tahapan paling ideal adalah Pascakonvensional. Pada tahapan ini seseorang melakukan suatu kebaikan atas kesadaran mandiri secara internal yang terbangun dari nilai-nilai yang telah dimilikinya.
Atas dasar hal siatas, maka pembelajaran di sekolah baru dikatakan berhasil apabila mampu menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didiknya. Pembelajaran dikatakan berhasil manakala kegiatan yang berlangsung di sekolah itu mampu memfasilitasi peserta didik dalam
proses transfer of value dalam konteks pembentukan karakter bangsa (nation
character building) sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum resmi.(Ghufron et al., 2017) Fuad Hasan memandang bahwa tujuan dari pendidikan bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan normanorma social (transmission of culture values and social norm) (Putry, 2019).
Sekolah memiliki kesempatan yang besar untuk mencapai keberhasilan dalam penanaman nilai-nilai karakter. William Bener mengemukakan bahwa apa yang terekam dalam memori anak didik di sekolah, ternyata mempunyai pengaruh besar bagi kepribadian atau karakter mereka ketika dewasa kelak. Ringkasnya, sekolah merupakan salah satu wahana efektif dalam internalisasi pendidikan karakter terhadap anak didik (Zulhijrah, 2017).
Namun demikian untuk keberhasilan pendidikan karakter pada peserta didik, sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Harus bersinergi antara strategi faktor internal dan eksternal sekolah. Strategi internal sekolah
dapat dilakukan melalui empat pilar, yakni kegiatan proses belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture), kegiatan pembiasaan (habituation), kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler. Strategi eksternal dapat dilakukan melalui keluarga dan
masyarakat (Maunah, 2016). Karakter seseorang akan terbentuk bila aktivitas dilakukan berulang-ulang secara rutin hingga menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya tidak hanya menjadi suatu kebiasaan saja tetapi sudah menjadi suatu karakter (Miftah Nurul Annisa, Ade Wiliah, 2020).
KESIMPULAN
Pendidikan karakter adalah pendidikan dengan pendekaatn multy approaches.(Fajrussalam & Hasanah, 2018) Pendidikan yang tidak hanya melibatkan guru dan peserta didik. Lebih dari itu, selain pihak sekolah,
pendidikan karakter memerlukan kontribusi peran keluarga dan masyarakat. Tanpa kerjasama harmonis tripusat pendidikan tersebut, akan sulit pendidikan karakter dilaksanakan, termasuk pendidikan karakter berbasis nilai-nilai budaya di sekolah.
Sejatinya sekolah membangun hubungan harmonis dengan komite sekolah, orang tua pesrta didik, dan masyarakat sekitar dalam kerangka mewujudkan layanan pendidikan yang optimal untuk para peserta didik. Dengan demikian peluang keberhasilan pendidikan karakter berbasis nilai- nilai budaya disekolah akan lebih besar.
Pendidikan karakter disekolah menjadi tumpuan pembentukan generasi bangsa Indonesia kedepannya. Apakah mereka akan mampu eksis bahkan bersaing dalam percaturan global atau tenggelam dalam persaingan lintas negara. Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah yang berbasis nilai-nilai kebudayaan perlu terus dicermati, diperbaiki, dan dievaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Sa’dun, Samawi, Ahmad, Arafiq, Muh., Hidayah, L. (2014). Model Pendidikan Karakter yang Baik di SD (Studi Lintas Situs Best
Practices). Jurnal Sekolah Dasar, 23(2), 139–151.
Ansori, Y. Z. (2019). Jurnal cakrawala pendas. Jurnal Cakrawala Pendas, 5(2), 40–44.
Brata, I. (2016). Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti Saraswati, 5(1), 75588.
Budaya, I. N., Lingkungan, D. A. N., & Haryanto, J. T. (2013). Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, Dan Lingkungan
Pengembangan Desa Wisata Di Provinsi Yogyakarta. Jurnal Kawistara,
3(1), 1–11. https://doi.org/10.22146/kawistara.3957
CNN Indonesia. (2021). Ranking Indeks Korupsi Indonesia Merosot, Urutan 102 dari 180.
Fajrussalam, H., & Hasanah, A. (2018). Core Ethical Values of Character Education Based on Sundanese Culture Value. IJECA (International Journal of Education and Curriculum Application), 1(3), 15. https://doi.org/10.31764/ijeca.v1i3.2126
Ghufron, A., Budiningsih, A., & Hidayati. (2017). model pembelajaran yang relevan digunakan untuk penanaman nilai-nilai budaya
Yogyakarta adalah model pembelajaran non direktif versi Carl Rogers.
Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan, 2(2), 309–319.
Idrus Ruslan. (2015). Penguatan Ketahanan Budaya Dalam Menghadapi Derasnya Arus Budaya Asing. Jurnal TAPIs, 11(1).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Permendikbud RI No 20 Tahun 2018 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada satuan
Pendidikan Formal. 8–12.
Maunah, B. (2016). Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa. Jurnal Pendidikan Karakter,
1, 90–101. https://doi.org/10.21831/jpk.v0i1.8615
Miftah Nurul Annisa, Ade Wiliah, N. R. (2020). Pentingnya Pendidikan Karakter pada Anak Sekolah Dasar di Zaman Serba Digital. Jurnal Pendidikan Dan Sains, 2(1), 35–48.
Nugraha, D. (2018). Mengerti Sekolah Dengan Mudah (1st ed.). Deepublish. Nurhayati, S. R. (2006). Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral
Lawrence Kohlberg. Paradigma: Jurnal Psikologi Pendidikan Dan
Konseling, 02, 93–104.
Putry, R. (2019). Nilai Pendidikan Karakter Anak Di Sekolah Perspektif Kemendiknas. Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 4(1), 39. https://doi.org/10.22373/equality.v4i1.4480
Taufik, T. (2014). Pendidikan Karakter di Sekolah: Pemahaman, Metode Penerapan, dan Peranan Tiga Elemen. Jurnal Ilmu Pendidikan, 20(1), 59– 65.
Tobroni, dkk. (2018). Memperbincangkan Pemikiran Pendidikan Islam.
Prenadamedia Group.
Zulhijrah. (2017). Implementasi Pendidikan Karakter Di Sekolah. Tadrib: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1(1), 118–136.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H