Tidak mudah untuk menjaga dan melestarikan karakter budaya bangsa, hal itu disebabkan oleh terpaan budaya dari luar atau asing yang secara kasat mata mengandaikan kemewahan, dan kebebasan yang tak terkendali.(Idrus Ruslan, 2015) Karena tidak mudah, maka nilai-nilai budaya perlu ditanamkan secara serius melalui pendidikan karakter di sekolah.
Nilai-nilai budaya yang dibidik untuk ditanamkan melalui pendidikan karakter di sekolah antara lain religius, ujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakater pada Satuan Pendidikan) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).
Sebagai contoh nyata saat ini, korupsi di Indonesia tidak menurun, malah sebaliknya. Tahun 2020 Indonesia berada pada skor 37 dengan rangking 102 dari 180 negara yang dilibatkan, turun tiga poin dari tahun 2019 (Corruption Perception Index). Lima besar negara dengan IPK tertinggi antara lain Denmark dan Selandia Baru (IPK 88); Finlandia, Singapura, Swedia dan Swiderland (85); Norwegia (84); Belanda (82); Jerman dan Luxembourg (80).(CNN Indonesia, 2021) Itu dapat menjadi salah datu bukti
bahwa penanaman karakter peduli sosial dan tanggung jawab di sekolah belum berhasil. Oleh karena itu, pendidikan karakter dipandang sebagai solusi terbaik untuk mengatasi problem-problem bangsa
Indonesia (Taufik, 2014).
Penanaman nilai-nilai karakter di sekolah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 dilakukan dengan pengorganisasian budaya sekolah yang tertanam dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan standar operasional prosedur (SOP) kegiatannya. Dalam KTSP dan SOP tersusun fondasi nilai-nilai karakter berbasis budaya yang akan didorong oleh semua perangkat sekolah yang dimiliki. Guru menerjemahkannya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Peserta didik memahami dan mengikuti program kegiatan yang dibuat secara aktif. Kepala sekolah dan tenaga kependidikan mendorong kelancaran operasional dan keberhasilan program. Model pendidikan karakter yang baik, meletakkan landasan nilai dalam visi satuan pendidikan, kemudian nilai-nilai inti karakter yang tertuang dalam visi disosialisasikan kepada warga besar satuan pendidikan, mereka kemudian membangun komitmen bersama untuk mewujudkan visi (Akbar, Sa’dun, Samawi, Ahmad, Arafiq, Muh., Hidayah, 2014).
SOP adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi perkantoran yang berisi cara melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat penyelenggaraan dan aktor yang berperan dalam kegiatan (Nugraha, 2018). SOP kegiatan sekolah disusun untuk menjaga stabilitas performa kerja komunitasnya. Sekolah secara terukur dapat menerjemahkan nilai-nilai budaya dalam bentuk-bentuk nyata kegiatan guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan yang diselenggarakannya.
Jika ketaatan beragama, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, dan nilai budaya lainnya belum menjadi bagian dari kesadaran peserta didik. Artinya pendidikan karakter berbasis nilai budaya di sekolah belum berhasil. Karena jika penanaman nilai budaya telah berhasil, maka nilai tersebut akan menjadi bagian dari karakter peserta didik. Dimana perilaku sesuai nilai budaya yang diharapkan akan muncul atas dasar kesadaran, bukan keterpaksaan karena aturan, atau ketertarikan atas penghargaan tertentu.
Lawrence Kohlberg (Nurhayati, 2006) membagi perkembangan karakter pada tiga tahapan; prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah. Penalaran moral dikendalikan oleh suatu penghindaran atas hukuman tertentu dari unsur eksternal. Konvensional adalah tahapan dimana seseorang melakukan sesuatu agar meraih legitimasi baik dari orang lain atau lingkungan masyarakat tertentu. Tahapan paling ideal adalah Pascakonvensional. Pada tahapan ini seseorang melakukan suatu kebaikan atas kesadaran mandiri secara internal yang terbangun dari nilai-nilai yang telah dimilikinya.
Atas dasar hal siatas, maka pembelajaran di sekolah baru dikatakan berhasil apabila mampu menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didiknya. Pembelajaran dikatakan berhasil manakala kegiatan yang berlangsung di sekolah itu mampu memfasilitasi peserta didik dalam
proses transfer of value dalam konteks pembentukan karakter bangsa (nation