"Kenapa Hen? Lagi sakit ya?" Desi, sepupu Heni langsung melihat cemas demi menatap wajah Heni yang terlihat pucat.
"Iya Mbak, wasirku kambuh!" Ada sakit yang sedikit menyengat di bagian bawah tubuh Heni. Belum lagi rasa panas dingin tubuhnya yang tak jelas sejak kemarin malam.
"Kamu kurang minum ya kalau pas buka puasa?" Desi kembali mencecar.
Heni menggeleng. "Cuma kecapekan saja kok Mbak. Kemarin habis keliling minta dana ke orang-orang?"
"Dana? Dana apaan?" Desi terkejut sekaligus kebingungan.
"Ya dana bantuan buat TK tempatku ngajar."
Desi mengernyitkan keningnya, tanda ia masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh sepupunya.
**
"Bu Heni, kita keliling besok, lho! Tadi aku barusan di-sms sama Bu Titik," ujar Bu Sofi sambil menyebutkan nama ketua yayasan dari TK tempat mereka mengajar.
Heni langsung mengangguk beberapa kali sebagai tanda jika ia pun telah menerima pesan yang sama.
"Bu, besok kl bisa sdh dimulai lho ya cari dananya." Itu pesan lewat WhatsApp yang sudah terbaca oleh Heni beberapa menit yang lalu.
"Jadi, ke mana saja Bu, tempat yang besok akan kita datangi?"
"Besok, tempat yang kita datangi ada sembilan puluh tempat. Banyak tho?" Bu Sofi terkekeh senang.
Heni terkejut dan geleng-geleng kepala. Dari mana saja Bu Sofi bisa mendapatkan nama orang-orang yang akan mereka datangi untuk dimintai dana? Untuk urusan pencarian sasaran calon dermawan, Heni memang memasrahkan semua hal itu kepada Bu Sofi.
"Walah, kok bisa banyak gitu, Bu? Apa nanti bisa semuanya kita datangi? Cuma tiga hari saja lho Bu, waktu kita," benak Heni langsung khawatir demi membayangkan dengan singkat apa yang harus ia lakukan tiga hari ke depan. Menaiki motor, mengunjungi banyak orang untuk dimintai dana, dan belum lagi menghadapi teriknya matahari sekaligus kondisi tubuh yang sedang berpuasa ramadan.
"Insya Allah bisa! Ya kita coba dulu, Bu. Biar kita bisa dapat dana banyak. Kan kalau bisa dapat banyak, kita juga bisa dapat lumayan tho, cipratannya?" ujar Bu Sofi sambil menunjukkan daftar nama calon dermawan yang akan mereka mintai sumbangan.
Heni meraih daftar yang disodorkan oleh Bu Sofi. Benar, jumlahnya memang 90 orang! Ada beberapa nama yang ia tahu telah menjadi langganan mereka karena kerap memberikan sumbangan untuk TK tempat mereka mengajar. Namun, beberapa nama terasa asing di mata Heni.
"Lho Bu, toko-toko jualan hp ini kok ya juga dimintai sumbangan, tho?" Heni terheran-heran melihat beberapa daftar nama calon dermawan yang menurutnya terasa asing jika harus juga mereka mintai sumbangan.
"Nggak apa-apa. Ya itu tadi, kita coba dulu saya deh."
**
"Kok bisa gitu? Kamu itu kan ngelamar di sana jadi guru. Kenapa harus minta-minta sumbangan juga? Wah... nggak benar itu! Nanti lah aku coba ngobrol sama suamiku. Kok ada guru TK tapi kerjanya bisa seperti itu!" Desi memprotes setelah sekilas mendengar cerita dari sepupunya. Ia pun berniat mengadukan masalah sepupunya itu kepada suaminya yang bekerja di unit pelayanan terpadu di dinas pendidikan.
"Ya habisnya mau bagaimana lagi, Mbak? Orang-orang dinas itu kalau ngasih dana, nggak cukup untuk pembangunan sarana di TK. Belum lagi ada potongan dana nggak jelas. Kalau nggak dibantu sambil dengan cara cari dana seperti itu, TK tempatku ngajar nggak bisa maju, Mbak!"
"Ah, ya enggak ah kalau itu gara-gara dinas pendidikan!" Desi merasa tidak terima nama tempat kerja suaminya ikut disebut-sebut sebagai penyebab.
"Yah, Mbak nggak percaya? Coba tanya deh TK lain. Mereka juga sering kok berpapasan dengan aku pas sama-sama minta sumbangan!" Heni membela diri.
Desi seperti tercenung mendengar cerita sepupunya. "Memangnya setiap kali minta, kamu dikasih berapa sih sama orang-orang itu?"
**
"Ada apa, Mbak?" wanita yang sepertinya menjadi pelayan di butik tempat Heni dan Bu Sofi datang kali itu memandang dengan penuh selidik. Dipandanginya sosok Heni dan Bu Sofi dari atas hingga bawah. Lalu, pandangan itu terhenti di sebuah map biru yang dipegang oleh Heni.
Tapi Heni juga tak ingin kalah menyelidik. Ditatapnya balik sosok pramuniaga yang sepertinya berusia tak jauh beda darinya. Ia berdandan cantik, dan berpakaian modis. Jika Heni tak ingat pada cita-citanya yang ingin menjadi pengajar bagi anak-anak kecil, rasanya mungkin ia akan iri demi melihat penampilan wanita itu. Bekerja dalam ruangan ber-AC, berikut dandanan dan baju yang cantik.
"Permisi Mbak," Bu Sofi menengahi perang tatapan mata antara aku dan pramuniaga itu. "Kami mau minta sumbangan untuk TK kami," suara Bu Sofi tertata seramah mungkin.
Alis pramuniaga itu bertaut. Tatapannya langsung menunjukkan rasa tak suka. "Tunggu atasan saya saja ya!"
Wajah pramuniaga sekilas menunjukkan kekecewaan. "Ada dua orang yang datang tapi untuk membeli pakaian dari butik ini," batin Heni, mungkin itu yang ada dalam pikiran pramuniaga demi melihat sosoknya yang datang bersama Bu Sofi.
Gadis pramuniaga langsung berbalik di balik meja kasir. Tangannya yang bercat kuku warna biru laut menekuri hp yang juga berwarna warni pernak pernik warna senada yang mengkilat.
Awalnya Heni dan Bu Sofi bersedia menunggu. Apalagi baju-baju di butik itu membuat Bu Sofi cukup betah untuk berlama-lama melihat-lihat koleksi yang ada. Hanya melihat. Karena jika untuk membeli, rasanya bandrol harga di baju-baju itu bukan untuk ukuran gaji mereka. Dan Heni jadi merasa gelisah karena seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti di tempat yang meski sejuk ber-AC.
"Permisi Mbak, ibu yang punya butik masih lama ya?" Heni memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya nggak tahu, ya! Kalau mau ya tunggu saja!" ketus jawaban pramuniaga.
Bu Sofi mencolek tangan Heni, seakan memberi isyarat ke Heni untuk bersabar. Tapi Heni merasa gerah di ruangan sejuk bernuansa ungu itu. Bagaimana tidak, sudah lebih dari setengah jam ia berdiri tak jelas di butik itu. Jangankan dengan harapan menunggu adanya uang yang mereka dapatkan untuk TK mereka. Si pemilik butiknya ada atau tidak saja sudah tidak jelas pastinya.
Seorang wanita masuk ke dalam butik, membawa aroma bunga segar dari wangi parfumnya. Heni merasa mengenal wanita itu. Kalau tidak salah, wanita itu adalah teman sekolah dari Mbak Desi. Si pramuniaga pun langsung memberi tahu kepada wanita itu tentang kehadiran Heni dan Bu Sofi yang sedang mencoba meminta sumbangan untuk TK ke butik yang ternyata milik wanita itu.
Sesudah mendengar ujaran dari pramuniaganya, wanita yang berdandan lebih modis dan wah dari pramuniaganya itu langsung menatap Heni dan Bu Sofi dengan satu alis kiri yang terangkat.
"Oalah Mbak, ayu-ayu kok minta sumbangan! Apa nggak malu?"
Heni otomatis sudah tidak bisa lagi tersenyum. Rasanya ingin sekali ia keluar dari butik itu. Wajahnya sudah cukup memanas akibat terlalu lama menunggu dan malah berujung pada sebuah kata-kata tidak enak yang harus ia terima.
Lagi-lagi, Bu Sofi mencoba menengahi. "Kami bukan asal minta sumbangan kok Bu. Kami dari TK Melati yang ada di daerah Sawahan. Kalau Ibu tidak percaya, silahkan dilihat data kami ini," ujar Bu Sofi halus dan lalu menyodorkan map berwarna biru berisi data kondisi TK tempat mereka mengajar. Data-data itu memang telah mereka siapkan dan menjadi bekal dari pihak sekolah untuk mereka mencari dana.
Wanita pemilik butik yang masih memasang wajah tak ramah kemudian berkenan membuka dan membaca isi map. Hanya beberapa detik, ia lalu menutup map dan mengembalikannya lagi ke Bu Sofi.
"Tin, ambilin uang sepuluh ribu. Kasih ke mereka!" ujar pemilik butik yang lalu bergegas masuk begitu saja ke dalam sebuah ruangan lain di butik itu tanpa sedikit pun menatap dan berkata apa-apa ke arah Heni dan Bu Sofi.
Pramuniaga menurut. Diambilnya uang sepuluh ribu yang agak berpenampilan kusut untuk diberikan kepada Bu Sofi.
"Mohon maaf, bisa tanda tangan di sini?" Bu Sofi menunjukkan sebuah kolom pada selembar kertas yang berada di dalam map.
"Buat apa?" cetus ketus si pramuniaga.
"Maaf Mbak, tapi kami diminta seperti itu dari pihak yayasan sebagai bukti," jelas Bu Sofi yang masih tidak menggeser intonasi ramahnya.
"Udah ah, nggak usah aja ya," pramuniaga itu lalu kembali asyik menekuri hp-nya seperti tidak ingin melihat Heni dan Bu Sofi. Maksud lainnya adalah, silahkan pergi dari sini!
**
"Ha, jadi si Dina temenku itu sampai seperti itu tingkahnya? Dasar, dari dulu zaman SD kelakuannya kok tetap saja pelit!" Desi marah-marah mendengar cerita adik sepupunya.
"Ya untungnya habis itu pas ke toko bangunan Lancar, kami dikasih uang 250 ribu, Mbak. Toko itu memang sudah langganan sering ngasih ke kami dalam jumlah yang besar. Heah, rasanya habis keluar dari butik itu terus dapat yang gede di toko Lancar, rasanya lega."
Heni lalu bercerita jika apa yang dilakukan oleh pemilik butik itu sebetulnya belumlah seberapa. "Soalnya ada juga Mbak, yang mirip seperti itu. Sudah diomelin, disuruh nunggu lama, ya nggak dikasih uang lagi!"
"Sebentar, memangnya kalau orang-orang itu kamu mintai dana, rata-rata ngasih berapa tho?"
"Yah... paling kebanyakan ngasih lima puluh ribu, Mbak."
"Terus," Desi masih penasaran dengan cerita adik sepupunya. "Dari orang segitu banyak kemarin itu, kamu dapat berapa?"
Heni tersenyum simpul. "Lumayan Mbak. Aku sama Bu Sofi bisa dapat 5 jutaan! Kan kita bisa dapat sekitar sepuluh persennya."
Desi menggeleng-gelengkan kepala. "Oalah Hen... Kalau aku jadi kamu, jujur, aku nggak bisa dan nggak terima. Wong ibaratnya ngelamar jadi guru, kok malah disuruh minta-minta sumbangan!" Desi bersungut-sungut.
Pernyataan Desi cuma disambut dengan senyum santai oleh Heni. Kegiatan yang sudah dilakukannya beberapa kali itu telah melunturkan keterkejutannya pada saat penugasan pertama ketika ia diminta untuk keliling mencari dana oleh pimpinan yayasannya.
**
Heni ingat bagaimana awal ia tahu tentang kegiatan mencari dana di TK-nya.
"Bu Heni, sebentar lagi kan waktunya liburan, Bu Heni ikutan turun juga ya. Cari dana," ujar Bu Titik.
"Cari dana? Dana apa tho, Bu Sofi?" karena tak berani bertanya langsung dengan Bu Titik yang terkenal kerap tegas dan cenderung ketus bila sedang bicara, Kiki pun akhirnya bertanya tentang apa yang dimaksud oleh Bu Titik itu kepada Bu Sofi.
"Oh, itu... Ya kalau pas liburan sekolah anak-anak, kita memang dapat tugas Bu buat minta dana ke beberapa orang. Soalnya kalau nggak gitu, sekolah TK tempat kita ini nggak bisa maju. Dana dari dinas soalnya nggak cukup," jelas Bu Sofi.
"Lho, kenapa itu jadi tugasnya kita? Kok nggak pengurus saja yang minta dana? Lagi pula, kita kan guru. Tugas kita kan ya ngajar anak-anak," ada nada sengit di suara Heni saat berkomentar.
Bu Sofi tersenyum tipis. "Hehehe... yang penting sekarang itu, kita bisa kerja halal, dan dapat uang. Kalau saya sih, ya begitu saja Bu, prinsipnya. Lha wong saya cuma lulusan SMA. Tapi, saya kerja kayak begini ini sudah syukur alhamdulillah. Lumayan, buat nambah bantu-bantu suami. Apalagi saya punya anak tiga."
Heni agak sedikit terkejut mendengar kata-kata yang bernada maksud halus tersebut. Sepertinya Bu Sofi agak mengerti arah pikiran dari Heni.
"Bu Heni sih enak, masih lajang, belum berkeluarga. Tapi, Bu Heni juga sedang kuliah juga, tho? Rasanya, kerjaan yang ini dipertahankan saja dulu. Itu kalau saran saya sih. Soalnya kan bisa jadi pengalaman kerja. Sekaligus, Bu Heni juga jadi dapat tambahan uang. Ya nanti, coba deh sambil ngasih les ke anak-anak juga. Anak-anak TK itu sekarang lagi banyak yang butuh les baca tulis dan hitung lho, Bu. Soalnya kalau nggak gitu, mereka susah buat ngadepin tes masuk ke SD," panjang lebar Bu Sofi berujar. Tak hanya sekedar menepis apa yang sedang dirisaukan oleh Heni. Heni pun merasa, Bu Sofi sepertinya bisa mengerti bagaimana mengatasi kegalauan di hati Heni terhadap situasinya sekarang dan nanti.
"Waduh Bu, saya salut sama Ibu. Ya, mungkin karena saya masih baru lulus SMA barangkali ya. Jadinya pikiran-pikiran seperti itu, saya masih belum terpikir sampai ke situ."
Menanggapi ucapan Heni, Bu Sofi cuma tersenyum. "Ya nanti kalau Bu Heni sudah punya tanggungan keluarga seperti saya, pasti mikirnya juga begitu, Bu. Sekarang begini saja lho, kita cuma lulusan SMA. Lalu bisa kerja. Itu alhamdulillah lho, Bu. Coba deh Bu Heni lihat di sekitar. Banyak lho Bu orang yang kepengen kerja. Jadi guru TK dibayar seratus ribu juga mau!"
**
Musik Hadad Alwi menggema dari telepon genggam milik Heni. Ada pesan masuk. Heni langsung meraih benda mungil itu dan membuka pesan yang terbaca olehnya siapa pengirimnya. Pesan dari Bu Sofi.
"Bu, kita dpt 500 rb lho satu orangnya. Soalnya hsl dana yg kita dpt kemarin banyak. Bu Heni saya tunggu ntar sore ya di rmh utk ambil bagiannya. Lumayan Bu, buat lebaran!"
Entah apakah harus tersenyum ataukah tidak. Tapi Heni berniat untuk tetap mengambil uang itu. Bukan untuk membeli sesuatu yang baru di hari lebaran. Tabungan miliknya sudah siap menunggu karena ada biaya kuliah di bulan depan yang menanti untuk diisi.
**
Usai pulang dari rumah Heni, Desi seperti tidak bisa menunggu lama saat ia akhirnya bisa bertemu dengan suaminya.
"Mas, aku mau cerita nih tentang masalahnya Heni."
Tapi begitu melihat suaminya seperti sedang merasa kebingungan, Desi jadi menunda niatnya. "Ada apa tho? Kok kayak orang bingung begitu?"
"Ealah, ini lho Dek, aku baru dapat uang dari atasanku. Katanya buat tambahan lebaran ntar."
"Lho, dapat uang kok bingung? Yo alhamdulillah..."
Suami Desi malah menghela nafas berat. "Mau tahu ini uang apa? Ini uang hasil setoran beberapa TK dan PAUD karena mereka habis dapat dana bantuan dari pusat!"
"Sebentar, kok aku jadi yang bingung tho, Mas?"
"Jadi, TK dan PAUD itu kalau dapat dana dari pusat, uangnya dipotong terus diminta setor ke dinas. Mereka disuruh setor gitu saja tapi nggak dapat bukti apa-apa. Masuknya ya bisa ke kantong atasanku. Sama atasanku, dibagi-bagi lagi ke bawahannya. Termasuk, ya ke aku ini. Mau nggak mau, aku harus terima!"
Desi langsung tercenung. Rencananya untuk mengadukan masalah sepupunya lalu menguap bercampur dengan cerita yang baru saja ia dengar dari suaminya.
Â
(*Jika ada kemiripan di dunia nyata, anggap saja ini hanya fiksi. Mohon diambil saja nilai moralnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H