"Ya habisnya mau bagaimana lagi, Mbak? Orang-orang dinas itu kalau ngasih dana, nggak cukup untuk pembangunan sarana di TK. Belum lagi ada potongan dana nggak jelas. Kalau nggak dibantu sambil dengan cara cari dana seperti itu, TK tempatku ngajar nggak bisa maju, Mbak!"
"Ah, ya enggak ah kalau itu gara-gara dinas pendidikan!" Desi merasa tidak terima nama tempat kerja suaminya ikut disebut-sebut sebagai penyebab.
"Yah, Mbak nggak percaya? Coba tanya deh TK lain. Mereka juga sering kok berpapasan dengan aku pas sama-sama minta sumbangan!" Heni membela diri.
Desi seperti tercenung mendengar cerita sepupunya. "Memangnya setiap kali minta, kamu dikasih berapa sih sama orang-orang itu?"
**
"Ada apa, Mbak?" wanita yang sepertinya menjadi pelayan di butik tempat Heni dan Bu Sofi datang kali itu memandang dengan penuh selidik. Dipandanginya sosok Heni dan Bu Sofi dari atas hingga bawah. Lalu, pandangan itu terhenti di sebuah map biru yang dipegang oleh Heni.
Tapi Heni juga tak ingin kalah menyelidik. Ditatapnya balik sosok pramuniaga yang sepertinya berusia tak jauh beda darinya. Ia berdandan cantik, dan berpakaian modis. Jika Heni tak ingat pada cita-citanya yang ingin menjadi pengajar bagi anak-anak kecil, rasanya mungkin ia akan iri demi melihat penampilan wanita itu. Bekerja dalam ruangan ber-AC, berikut dandanan dan baju yang cantik.
"Permisi Mbak," Bu Sofi menengahi perang tatapan mata antara aku dan pramuniaga itu. "Kami mau minta sumbangan untuk TK kami," suara Bu Sofi tertata seramah mungkin.
Alis pramuniaga itu bertaut. Tatapannya langsung menunjukkan rasa tak suka. "Tunggu atasan saya saja ya!"
Wajah pramuniaga sekilas menunjukkan kekecewaan. "Ada dua orang yang datang tapi untuk membeli pakaian dari butik ini," batin Heni, mungkin itu yang ada dalam pikiran pramuniaga demi melihat sosoknya yang datang bersama Bu Sofi.
Gadis pramuniaga langsung berbalik di balik meja kasir. Tangannya yang bercat kuku warna biru laut menekuri hp yang juga berwarna warni pernak pernik warna senada yang mengkilat.