21 Agustus 1990
Aku Bukan siapa-siapa untuk mengajakmu menyongsong cahaya. Tapi Tuhan Maha pemurah, cahaya kasihnya menjangkau luas walau manusia berada di jurang nista paling kelam.
Lembar berikutnya
25 Oktober 1990
Benar katamu aku hanya seorang pelacur yang sekujur tubuhnya adalah nista, semesta pikirannya hanyalah mesum.
Jika engkau mengukur gunung maka tingginya tak seberapa di banding dosaku. Bila kamu mampu menghitung pasir di pantai, jumlahnya tak sebanding dengan maksiatku saban hari.
Rio merasakan matanya memanas. Ia mengingat ucapannya pada Lastri setiap Ia marah. Mencacinya sebagai pelacur. "Ah aku menyia-nyiakan orang yang mencintaiku sepenuh hati." Gumamnya pelan.
Perlahan Ia membuka lembar selanjutnya:
10 Desember 1990
Berjalan menuju cahaya kadang penuh onak dan duri. Jalan rumpil dan mendaki. Bukan perkara mudah, apalagi golongan manusia sebangsa engkau dan aku.
Aku hanya berharap, kini atau kelak di suatu masa. Jika cahaya menghampirimu rangkullah sepenuh jiwamu. Jadilah hamba, sejatinya hamba. Abdullah begitu kata orang pintar.