Kami semua tersentak mendengar ucapan doja Badollahi. Untuk sesaat kami saling berpandangan. Pak Imam melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. Pukul 19.30. Ia memberiku isyarat. Saya mengerti. Â Bergegas saya memukul beduk tanda masuknya waktu isya. Begitu selesai aku memukul beduk, beberapa orang terlihat keluar dari masjid untuk berwudu. Sementara Ustaz Abu Jaropi segera mengumandangkan azan.Â
Doja Badollahi seakan baru tersadar. Bergegas Ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan keluar untuk mengambil air wudu.
Tak berapa lama iqamat dikumandangkan oleh ustaz Abu Jaropi. Aku berada di saf depan bersama Pak Imam dan ayahku, sementara Doja Badollahi ada di saf yang kedua. Begitu iqamat berakhir, pak imam menoleh ke belakang.
"Tata...Anda sekarang yang jadi imam" Kata Pak Imam ke doja Badollahi yang tepat ada di belakangnya. Mendengar perkataan pak Imam, doja Badollahi terperengah. Ia memandang nanap ke pak imam, ke ustaz Jaropi yang juga merentangkan tangannya mempersilahkan doja Badollahi untuk jadi imam dan juga kepadaku. Â Berganti-ganti. Setelah hilang rasa kejutnya, doja Badollahi buru-buru menggelengkan kepala, sembari mundur setindak.
"Aku tak pantas." Katanya
"Kata siapa tata tak pantas, tata sangat pantas jadi imam." Kata ayahku sareh.
"Kalau tata tak mau jadi imam,  salat berjamaah  terancam tidak jadi ..., nanti apa kata dunia...." Timpalku sedikit bercanda. Namun setelahnya segera kudekati, berbisik kepadanya, "Tapi yang lebih penting lagi, kalau tata tak mau jadi imam, nanti apa kata Lastri?"
Mendengar itu mata doja Badollahi berkerjap. Selintas mata itu nampak bersinar.
"Dengan izin-Mu ya...Allah." Ucapnya. Perlahan doja Badollahi membenahi letak sarung biru tua yang lusuh itu. Melepas kopiah usangnya beberapa detik, untuk kemudian meletakkan di atas kepalanya, dengan posisi yang terbaik menurut perasaannya. Â Setelahnya doja Badollahi pun melangkah ke depan.
Maka demikianlah, salat isya kali ini, kami diimami oleh doja Badollahi. Suaranya yang parau terasa menggetarkan malam yang dingin. Saat membaca surah Al-nas pada rakaat kedua, suara doja Badollahi tidak hanya parau, tetapi juga terasa menyayat-nyayat kalbu. Ia menangis tersedu-sedu dalam salatnya. Hatiku juga terasa berdesir hebat. Entah mengapa aku juga tenggelam dalam rasa pilu. Suara doja Badollahi, bukanlah suara merdu, tapi rasanya ayat-ayat itu ia bacakan dari relung hatinya yang paling dalam.
Ketika semua telah usai memberi salam, hampir semua jamaah mengusap matanya. Mereka ikut larut dalam salat yang pilu. Saya tak berani mengatakan khusyuk, biarlah Allah yang menilainya sendiri. Tetapi yang pasti hati kami terasa basah semua.