Rio segera mengenali aroma kematian yang menyeruak di ruangan itu. Ia pun tahu aroma itu mengelumuni Lastri, istrinya. Ia datang terlambat. Lastri telah tiada.
Selama ini Rio kerap berjumpa dengan kematian. Temannya yang oper dosis karena obat, yang tewas karena perkelahian, yang mati karena sakit lever akibat minuman keras, adalah pemandangan lazim baginya. Kematian bagi Rio ibarat tamu yang datang dan pergi hampir tiap hari. Karena itu aroma kematian hal yang lumrah baginya. Namun kali ini sangat berbeda. Yang meninggal adalah Lastri istrinya. Orang yang cintanya Ia sia-siakan. Tatkala kesadaran akan cinta istrinya yang begitu tulus menyentuh hatinya, Â semuanya telah terlambat.
Untuk pertama kalinya satu peristiwa kematian terasa menusuk jantungnya hingga berdarah. Ia berdiri dengan tubuh limbung. Pandangannya nanar. Jika saat mendengar berita Lastri kecelakaan, Â tulang tulangnya serasa dilolosi satu-satu. Maka saat ini tubuhnya terasa tidak berpijak di bumi. Dengan susah payah diseretnya tubuhnya mendekati ranjang, tempat jasad Lastri kini terbaring kaku. Pandangan matanya segera tertumbuk pada kopiah hitam dan sarung biru yang tergeletak di atas dada Lastri.
Badan Rio semakin gemetar. Perlahan tangannya yang bergetar itu mengelus lembut paras Lastri.
"Istriku...!" Hanya itu yang sanggup diucapkannya. Selanjutnya hanya  air mata kepedihan mengalir di pipinya.
Beberapa saat tangan Rio bergerak perlahan meraih kopiah dan sarung tersebut. Meletakkan di dadanya, menciumnya dengan sepenuh hatinya. Dadanya terasa sesak oleh kepedihan yang mengimpit.
"Kopiah dan sarung itu digenggamnya sampai nafas terakhirnya. Begitu berharga dua barang itu bagi perempuan ini." terdengar suara lirih dari  dokter yang tadi melipat tangan Lastri di atas perutnya.
Ibu ustazah yang telah berusia lanjut itu mendatangi Rio. Memegang pundaknya.
"Rio...! Istrimu Insyaallah meninggal dalam keadaan Husnul khatimah. Tadi Ia selalu menanyakanmu. Ingin sekali Ia engkau imami dalam salat. Namun karena kau belum datang, akhirnya Ia tadi salat magrib bersamaku, aku yang jadi imamnya. Tapi ada pesannya untukmu. Lastri bilang begini; 'Bukan takdirku untuk diimami oleh mas Rio, tapi aku yakin suatu saat ia akan jadi imam dalam salat'." Ibu ustazah diam sesaat. Ketika menyampaikan pesan Lastri, susah payah Ia menahan tangisnya yang akan pecah. Setelah menarik nafas, berusaha mengatur perasaannya, ibu ustazah melanjutkan kalimatnya.
"Rio! Â Mungkin istrimu berharap engkau mulai menapaki jalan kebenaran. Percayalah! Dosa sedalam samudera, bahkan yang seluas jagat raya sekalipun masih terlalu kecil dibanding pengampunan dari Allah. Kiranya Allah tengah menyentuhmu dengan hidayahNya dan pintu tobatnya Ia buka melalui cinta Lastri, istrimu, orang yang selama ini kau anggap pelacur."
Rio berbalik menatapnya dengan mata yang luka. Ustazah tua itu balas menatapnya dengan mata berkaca kaca. Rio tersungkur. Tobat memancar dari batinnya tanpa kata-kata.