Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lahirnya Sang Pendekar (Serial Burik Cilampakna Kindang)

23 Desember 2017   22:04 Diperbarui: 24 Februari 2018   08:32 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang membuat La Tahang melengak kaget adalah  sebelah kiri pipi dari anak itu dipenuhi bintik-bintik berwarna cokelat kehitaman. Sementara bagian kanan bawah dari pipinya, terus turun ke leher  seperti ditumbuhi sisik-sisik halus berwarna keperakan.  Sementara rambut bayi ini sangat lebat, anehnya rambut itu tidak berwarna hitam, layaknya rambut-rambut bayi lainnya. Tapi berwarna putih seperti perak. Hanya pada bagian depan, persis di tengah kepalanya, terlihat sejumput rambut berwarna hitam. 

Raut tampan dari bayi ini tertutupi oleh totol-totol berwarna cokelat kehitaman dan sisik yang berwarna keperakan. Tampang  bayi itu jadinya terlihat aneh, bahkan terkesan angker. La Tahang mundur beberapa tindak. Ia hampir menabrak Ranrang yang ada di belakangnya.  Ranrang menyisi.  La Tahang menatapnya dalam-dalam, sinar matanya memancarkan amarah.  Seribu kata-kata, atau tepatnya sumpah serapah seakan-akan ditumpahkan melalui tatapan matanya yang sengit itu.  

"La Tahang, harap kau mencari tabib untuk istrimu! Aku hanya bisa membantunya melahirkan, tapi akibat dari pendarahan ini terus terang saya tidak bisa mengobatinya". Terdengar Nenek Minasa berucap lirih.  Meski demikian semua orang dalam kamar yang sempit itu bisa mendengarnya. 

"Cari Sanro Kalu di kampung Muntih, Ia tabib yang hebat". Kata Nenek Minasa, setelah dilihatnya La Tahang masih tegak menatap Ranrang.

"Nenek Minasa, kau suruh aku pergi sementara di sini tidak ada yang jaga Bunga. Saya tidak akan biarkan Bunga diurus oleh orang tak berhak". Sahut La Tahang tiba-tiba. Sambil mengatakan itu, tatapan matanya lekat-lekat tertuju pada Ranrang.

Ranrang menghela nafas, Ia paham La Tahang menyindirnya. Maka sambil berdehem, Ia pun berkata :

"Biar aku dan Tompo yang mencarinya Nek".  Setelah mengucapkan kalimat itu, Ranrang segera berbalik, keluar dari kamar itu.  Selanjutnya Ia menemui Tompo. Sejurus kemudian keduanya tampak berbincang-bincang serius

La Tahang sendiri tidak berkata apa-apa. Untuk sesaat Ia masih tegak dalam kamar itu memandang bergantian antara anak bayi yang merupakan darah dagingnya dan pada istrinya Bunga. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia tidak juga mengambil dan mengendong anaknya. Tidak pula mendekati Bunga untuk sekedar menyentuh atau melihat lebih jelas keadaannya.

 Sejurus kemudian, La Tahang malah melangkah keluar dari kamar. Terus melewati ruang tamu, lalu keluar melewati pintu. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda meninggalkan rumah itu membelah pekatnya malam yang diguyur oleh hujan yang bagai tumpah dari langit. 

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun