Yang membuat La Tahang melengak kaget adalah  sebelah kiri pipi dari anak itu dipenuhi bintik-bintik berwarna cokelat kehitaman. Sementara bagian kanan bawah dari pipinya, terus turun ke leher  seperti ditumbuhi sisik-sisik halus berwarna keperakan.  Sementara rambut bayi ini sangat lebat, anehnya rambut itu tidak berwarna hitam, layaknya rambut-rambut bayi lainnya. Tapi berwarna putih seperti perak. Hanya pada bagian depan, persis di tengah kepalanya, terlihat sejumput rambut berwarna hitam.Â
Raut tampan dari bayi ini tertutupi oleh totol-totol berwarna cokelat kehitaman dan sisik yang berwarna keperakan. Tampang  bayi itu jadinya terlihat aneh, bahkan terkesan angker. La Tahang mundur beberapa tindak. Ia hampir menabrak Ranrang yang ada di belakangnya.  Ranrang menyisi.  La Tahang menatapnya dalam-dalam, sinar matanya memancarkan amarah.  Seribu kata-kata, atau tepatnya sumpah serapah seakan-akan ditumpahkan melalui tatapan matanya yang sengit itu. Â
"La Tahang, harap kau mencari tabib untuk istrimu! Aku hanya bisa membantunya melahirkan, tapi akibat dari pendarahan ini terus terang saya tidak bisa mengobatinya". Terdengar Nenek Minasa berucap lirih. Â Meski demikian semua orang dalam kamar yang sempit itu bisa mendengarnya.Â
"Cari Sanro Kalu di kampung Muntih, Ia tabib yang hebat". Kata Nenek Minasa, setelah dilihatnya La Tahang masih tegak menatap Ranrang.
"Nenek Minasa, kau suruh aku pergi sementara di sini tidak ada yang jaga Bunga. Saya tidak akan biarkan Bunga diurus oleh orang tak berhak". Sahut La Tahang tiba-tiba. Sambil mengatakan itu, tatapan matanya lekat-lekat tertuju pada Ranrang.
Ranrang menghela nafas, Ia paham La Tahang menyindirnya. Maka sambil berdehem, Ia pun berkata :
"Biar aku dan Tompo yang mencarinya Nek". Â Setelah mengucapkan kalimat itu, Ranrang segera berbalik, keluar dari kamar itu. Â Selanjutnya Ia menemui Tompo. Sejurus kemudian keduanya tampak berbincang-bincang serius
La Tahang sendiri tidak berkata apa-apa. Untuk sesaat Ia masih tegak dalam kamar itu memandang bergantian antara anak bayi yang merupakan darah dagingnya dan pada istrinya Bunga. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia tidak juga mengambil dan mengendong anaknya. Tidak pula mendekati Bunga untuk sekedar menyentuh atau melihat lebih jelas keadaannya.
 Sejurus kemudian, La Tahang malah melangkah keluar dari kamar. Terus melewati ruang tamu, lalu keluar melewati pintu. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda meninggalkan rumah itu membelah pekatnya malam yang diguyur oleh hujan yang bagai tumpah dari langit.Â
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H