Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lahirnya Sang Pendekar (Serial Burik Cilampakna Kindang)

23 Desember 2017   22:04 Diperbarui: 24 Februari 2018   08:32 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunga terus mengedang, matanya terpejam, bibir dan mukanya pucat, sementara keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Syukurnya pendarahan tidak sebanyak tadi.  Meski tidak sepenuhnya berhenti, nenek Minasa telah berusaha menahan dengan keahlian sebagai sanro anak  ditambah dengan obat yang dimilikinya.  Saat ini darah memang masih menetes keluar setiap kali Bunga mengedang, namun tidak sebanyak tadi. Beberapa perempuan yang ada di sekitar Bunga mengelap keringat Bunga di dahinya. Yang lain mengipasinya. Beberapa orang komat-kamit melantunkan doa-doa pada Yang Maha Kuasa. Mereka semua terlihat dicengkau perasaan tegang.  Hanya nenek Minasa yang terlihat berusaha untuk tenang, meskipun sinar matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya pula.

Di luar kamar La Tahang, Ranrang, Tompo dan beberapa lelaki terlihat duduk bergeming. Tak ada suara yang terdengar dari mereka. Hanya sesekali La Tahang terdengar mendesah. Ranrang menghisap rokok kawungnya dalam-dalam. Tompo beberapa kali melongok ke arah kamar.  Rumah yang semakin sempit dengan datangnya beberapa orang itu, terasa pengap. Meski udara  senja di Kindang terasa dingin menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum  tapi orang-orang di atas rumah itu terasa gerah didera gelisah.

Ketika senja kehilangan garis merahnya dan gelap luruh ke Bumi, tiba-tiba petir menyambar di angkasa. Senja yang segera akan dipeluk oleh kegelapan itu terasa bergetar. Sekali lagi petir meledak di angkasa, suaranya seakan-akan ingin membelah bumi. Rumah kecil Bunga yang terbuat dari bambu itu berderak-derak. Bersamaan dengan itu, seperti ditumpahkan dari langit, hujan mencurah dengan derasnya.  Saat itulah, seorang perempuan tergopoh-gopoh keluar dari kamar.

"Sudah keluar...sudah keluar...."

"Apa yang keluar, perjelas kata-katamu !"  Timpal Tompo. Sementara orang-orang yang ada di tempat itu menegakkan kepalanya.

"Maksudku sudah lahir, seorang anak laki-laki, tapi....".

Perempuan ini tidak menyelesaikan ucapannya. Dua orang bersamaan bangkit. La Tahang dan Ranrang. Namun Ranrang segera menahan langkahnya, dibiarkannya La Tahang bergerak duluan, kemudian Ia mengikutinya.

Begitu La Tahang sampai di dalam kamar, dilihatnya Bunga masih tergeletak tak sadarkan diri. Kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya berlumuran darah. Nenek Minasa tampak memijit-mijit beberapa bagian dari tubuh Bunga. Mulutnya komat-kamit. Sementara seorang perempuan tua lainnya terlihat mengoleskan ramuan di tubuh Bunga.

"Anakmu selamat..., tapi istrimu kondisinya sangat lemah. Pendarahan dan apa yang dialaminya sebelum melahirkan membuat ia berada dalam keadaan bahaya". Kata nenek Minasa. La Tahang tidak menanggapi, Ia bergerak menuju ke orang yang sedang menggendong bayi yang baru terlahir itu. Tangannya membuka sarung yang dipakai menutupinya.

"Astaga...!!!" La Tahang berteriak tertahan. Ia surut ke belakang. Lalu pelan-pelan ia kembali maju menatap lekat-lekat bayi laki-laki yang sedang berada dalam gendongan seorang perempuan. Matanya terbelalak. Bibirnya bergerak-gerak. Raut mukanya berkernyit, sesekali terlihat memerah namun kadang berubah menjadi pucat pasi.   Dalam gendongan perempuan itu dilihatnya seorang bayi laki-laki. 

Sebenarnya wajahnya adalah rupa bayi laki-laki yang gagah. Hidungnya bagas, bibirnya terlihat pas di atas dagunya yang bagus. Di atas matanya yang terpejam, dua alisnya tebal hitam melintang. Ketika mata anak itu membuka, seakan balas menatap ayahnya. Mata yang bundar itu seolah-olah bersinar gembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun