klik 'ikuti' pada cerbung Kembang Pelakon:Â
http://karyakarsa.com/IisWKartadinata
IisWK
Setelah selama delapan bulan mendekam di penampungan, akhirnya Oneng berhasil juga diberangkatkan. Resmilah dia jadi tenaga kerja wanita asal kampungku yang bakal mendulang uang real di negeri seribu gurun. Pemikirannya tidak pernah diracuni oleh berbagai kabar tentang nasib malang para TKW. Baginya nasib sudah diatur Tuhan. Dia bebas melakukan apa saja untuk membiayai tiga anak laki-laki dan satu anak perempuannya yang masih berusia satu tahun. Tidak banyak juga cita-citanya, bisa memiliki rumah dan membeli sawah untuk bekal hidup, serta satu sepeda motor untuk Egi, anaknya yang paling tua, yang kini berumur lima belas tahun.
Dua puluh enam tahun yang lalu, aku kenal dia. Kami bersahabat sejak SD waktu di kampungku dulu. Ketika itu kenakalannya kerap membawaku pada nasib sial. Sering dia mengajakku ke kamar kecil di saat pelajaran, padahal cuma menghindari ceramah guru di kelas. Akhirnya sudah tentu kena damprat guru. Mengajak berenang di kali hingga membuatku hampir hanyut kena air yang tiba-tiba datangnya. Atau kulit mendadak gatal oleh kotoran kerbau. Belum lagi sakit perut gara-gara rujak ubi yang kepedasan. Padahal sebelumnya dia memberitahuku agar mengoleskan bumbu rujak ke puser. Katanya supaya tidak sakit perut. Hanya aku tidak percaya. Sialnya, omongan itu benar, dan dia hanya tertawa-tawa ketika terpaksa aku harus pulang balik ke parit kecil dekat kebun jeruknya untuk buang air besar.
Dia juga kerap mengajakku kabur kalau sedang mengaji hanya untuk mengambil buah yang sedang ranum di kebun pak haji Wawa, guru ngajiku yang sesungguhnya adalah adik dari kakekku sendiri. Entah mengapa, meskipun aku tahu tindakan itu membahayakan, aku tetap menurut padanya. Aku tidak tega kalau membiarkannya sendiri. Aku juga selalu merasa nyaman kalau berada dekat dia. Mungkin karena tubuhnya yang lebih besar dariku sehingga aku merasa terlindungi, atau entah apa. Aku juga tidak paham tentang kedekatanku dengan Oneng. Yang jelas, bagiku dia lebih dari seorang teman. Karena waktu itu aku belum paham tentang sahabat atau sejenisnya. Aku selalu menemaninya jajan di sekolah, apalagi kalau belajar, sebagai teman sebangku yang baik aku selalu memberitahu jawaban kalau ada soal-soal yang sulit baginya.Â
Sayangnya, dia tidak bisa melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Aku tidak mengerti. Terakhir aku mendengar dari bapakku kalau Wak Mustad, bapaknya, tidak sanggup membiayainya kalau Oneng harus sekolah di kota. Di kampungku memang belum ada SMA waktu itu. Sekarang saja ada, itu pun di kota kecamatan yang berjarak lima kilometer dari kampungku. Setelah keluar dari SMP itulah, aku menjadi sulit bertemu dia. Karena aku harus tinggal di Bandung, di rumah paman, sehubungan tempat sekolahku. Itu memang tradisi seluruh keluargaku dan keluarga lain yang sanggup menyekolahkan anaknya ke sekolah lanjutan atas. Pasti harus meninggalkan kampung setelah usia SMP. Hanya aku kerap mengunjunginya kalau kebetulan libur. Aku juga tetap menganggapnya teman baik yang bisa menjadikanku tempat curhat setelah aku merasa kenal dengan kehidupan di kota. Banyak sekali yang kerap kuceritakan padanya. Tentang segala hal. Kehidupan kota yang sudah tentu tidak pernah tersentuh oleh Oneng.
Empat hingga lima bulan aku masih bisa mengunjunginya kalau pulang kampung. Tapi mencapai bulan keenam, Oneng sudah tidak berada di kampungku lagi. Menurut kakaknya, dia bekerja di sebuah pabrik sepatu di kota Bandung. Aku sempat meminta alamatnya. Tapi karena kesibukanku sebagai anak sekolah, aku belum sempat mengunjunginya. Hingga kabar berikut dan berikutnya Oneng sudah pindah kerja ke pabrik lain sampai beberapa kali. Praktis, aku sudah sulit sekali menjangkau kabarnya. Kabar terakhir, Oneng sempat menikah dengan seorang laki-laki. Dan tidak kuduga, dia menikah dengan saudaraku sendiri. Tidak lain anak pak ustad Wawa, Agus. Anehnya pernikahan itu hanya berlangsung beberapa hari. Terakhir baru kuketahui kalau pernikahan itu karena Oneng mengandung! Sungguh di luar dugaan.
      Dia sempat menjadi kembang di kampungku. Meskipun wajahnya masih kalah dengan anak pak lurah. Tapi dia pandai bergaul. Kabar terakhir, dia menikmati pernikahannya yang keenam kali dengan empat anak di pangkuannya. Tentu saja dari ayah yang berbeda. Malah terakhir, setelah dia berangkat ke negeri kurma, dia tinggalkan anak bungsunya yang perempuan dengan sang madu, istri pertama dari suaminya yang tidak punya anak. Entah di mana anak yang lainnya.
      Pertemuanku dengan anak pertamanyalah yang membuat aku ingat cerita ini. Sekarang anak laki-laki itu sudah hampir bujangan. Tapi dia tampak berbeda dengan Oneng. Dia kulihat pakai sarung dan peci untuk sembahyang. Ega, anak pertama Oneng menjadi anak pesantren di daerah yang tidak jauh dari kampungku. Pasir Nangka. Tempat itu bisa ditempuh dengan jalan kaki hanya setengah jam. Bahkan aku sering lewat kalau pulang kampung. Aku tidak menyangka, sahabatku telah melahirkan anak empat orang. Padahal usianya baru menyentuh tiga puluh dua tahunan. Sementara aku baru memiliki satu anak dari satu suami pula
      "Kapan emak pulang?"
      "Belum ada kabar."
      "Belum kirim surat?'
      "Pernah satu kali. Tapi setelah dibalas, si emak tidak kirim surat lagi."
      "Mungkin emakmu repot. Semoga saja dia cepat kirim kabar. Atau siapa tahu kamu langsung dikirimi bingkisan besar... namanya juga kerja di Arab, paling jelek bawa jam tangan mahal atau kamera..."
      Anak itu hanya mesem, "Mudah-mudahan..." tatap Ega kosong. Aku bisa membaca kebingungan di wajahnya. selama ini, hanya Oneng yang bekerja keras membiayai semua anaknya. Sementara itu kedua adik Ega yang laki-laki diasuh oleh kakak perempuan Oneng yang  tidak punya anak. Sedangkan anak perempuannya berada dalam pengasuhan sang maru, istri tua suami Oneng yang kini entah bagaimana statusnya.
      Aku hanya menarik nafas lelah. Kutangkap kelelahan pula di wajah anak laki-laki yang mulai menjadi pemuda ini. Andai Oneng turut mengikuti perkembangan anak laki-lakinya. Patutlah dia berbangga.
Tiba saatnya, mak Odoy, ibunya langsung yang menulis sedikit kata di surat. Karena merasa penting untuk menyampaikan sesuatu. Apalagi setelah beberapa kali surat yang dikirim tidak juga dibalas. Sudah pasti Oneng akan membalasnya. Tapi lagi-lagi nihil. Surat balasan yang ditunggu tidak muncul juga. Apa mungkin dia mulai lagi dengan penyakit lamanya. Jatuh cinta pada laki-laki Arab sebagai petualangan baru dan melupakan negerinya. Memang tidak mustahil. Aku tahu sifatnya.
      Kerinduan keluarganya kian meradang, kepergiannya sudah hampir dua tahun. Jangankan kiriman uang, kabar saja entah kapan datangnya. Kini keempat anaknya hanya berada dalam penantian yang tidak pasti. Tapi apa daya. Mereka hanya bersabar dan bersabar. Mereka juga tidak terbius oleh berita-berita di TV tentang kabar buruk yang menimpa para TKW. Karena setahu mereka, teman-teman TKW di kampugnya tidak ada yang bernasib buruk.
      Berikut, dikirimlah lagi surat terakhir yang menjadi harapan keluarga. Surat kali ini mungkin bisa mengubah semuanya. Ini kabar paling penting untuk Oneng. Meskipun kabar paling pahit, lebih pahit dari rangkaian perceraian yang dilewatinya, membuatnya menjadi cemooh dan bahan gunjingan para pegawai KUA.
      "Cuma kamu yang suka coret-coret dokumen di sini. Dan cuma kamu yang namanya sering disebut di dokumen ini..."
      Waktu itu Oneng menjawab dengan santai, "Berarti cuma aku yang paling banyak ngasih duit buat Bapak..."
      Aku yakin, kali ini Oneng tidak akan menanggapi segala kelakar nasib dengan kelakar yang baru. Karena kabar yang sampai di matanya lewat tulisan adalah perihal meninggalnya Wak Mustad, bapaknya. Pasti Oneng tergugah, walau hanya untuk balas surat saja. Syukur-syukur kirim uang untuk mengganti beban keluarga karena membiayai seluruh sekolah anak-anaknya. Untuk mengganti biaya penguburan saja sudah untung buat Ma Odoy ibunya yang sudah cukup tua.
      Kebetulan aku dan suami sedang berlibur di kampung. Nasibku memang berbeda dengan Oneng. Mungkin aku lebih beruntung dari dia. Hidupku normal sesuai cita-cita. Walaupun belum jadi orang kaya, setidaknya aku tidak perlu susah-susah ke negeri orang untuk membantu mencari penghasilan keluarga. Bahkan suamiku sudah memberiku lebih dari cukup. Aku menjadi guru dan sedikit-sedikit menghasilkan uang lewat menulis.
      "Coba kalau dulu si Oneng sekolah kayak kamu, Nyi," ujar mak Odoy di sela tangis. Dia memelukku erat sekali. Mungkin dia merasa bertemu dengan anaknya. Karena di samping sejak kecil aku jadi sahabat dia, apa pun kesan yang orang-orang omongkan tentang Oneng. Aku tidak pernah terpengaruh. Wajahku juga mirip wajahnya, konon.
      "Di kampung ini dia capek dengan hinaan orang-orang. Dia dibilang tukang main laki-laki, lacur, belum lagi perusak rumah tangga orang. Bukan dia saja yang capek, emak juga..."
      Aku menelan ludah.
      "Cuma  kamu yang suka datang ke sini. Walaupun kamu sudah jauh di kota... kamu nggak pernah lupa sama dia. Emak tahu itu."
      Aku masih diam, lalu mengurai pelukannya. Di sisi jasad Wak Mustad aku melihat senyum yang entah apa maknanya. Wak Mustad memang orang yang soleh. Sayang kebaikan hidupnya mesti diganggu oleh romantika hidup Oneng. Apa pun alasannya.
      Kesibukan tampak terlihat di rumah itu. Biasanya orang-orang sini memang kental dengan kebiasaan ritual pengurusan mayat. Setelah mayat dikubur menurut syariat, seluruh keluarga dan tetangga berkumpul untuk tahlilan. Dengan hidangan alakadarnya. Aku tahu, untuk tahlilan ini mak Odoy harus mengeluarkan uang yang tidak kurang banyaknya.
      Suami dan keluargaku pun bergabung waktu itu.
      Ketika mereka tengah serius berdoa. Tiba-tiba seorang pegawai desa muncul mengagetkan.
      "Aya naon Pak Eman?"
      Orang yang dipanggil pak Eman tampak tenang, "Ada bingkisan dari Arab..."
      Yang paling sumringah adalah mak Odoy, menyusul wajah tiga anak laki-laki Oneng yang sejak tadi tampak sedih. Begitu juga dengan orang-orang yang berkumpul. Ayahku yang mulai menjadi kepercayaan para penduduk mulai bangkit.
      "Tenang, tenang, ini bukan hal yang aneh. Mungkin ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang belum adanya kabar dari Oneng. Kita harus bersyukur. Sekarang kita lanjutkan doa, dan saya mohon pada pak Eman untuk mengajak beberapa orang untuk mengambil bingkisan itu."
      "Bingkisan itu ada di mobil. Terlalu besar, mungkin perlu digotong empat orang."
      Mak Odoy mulai mengernyitkan dahinya, "Mau kirim apa dia? Onta Arab, apa?"
      Semua tersenyum bahagia.
      Setelah beberapa orang wakil mengikuti langkah pak Eman, semua kembali melanjutkan doa, kini dengan kecemasan, tanda tanya dan penantian yang aneh. Aku dan suami hanya saling pandang tanpa kata. Kupegang anakku erat-erat dalam pangkuan. Entah mengapa, menanti bingkisan itu, aku pun seperti dihadirkan pada penantian masa lalu, ketika aku menunggu mempelai laki-laki di hari perkawinan. Penuh debar dan ketakutan.
      Kami terus melanjutkan doa. Sementara beberapa keluarga yang lain turun ke luar termasuk anak-anak Oneng. Aku yakin doa ini mulai terganggu oleh datangnya bingkisan tak diduga dari Oneng. Mereka berjalan menyusuri jalan gang yang cukup panjang menuju jalan besar.
      Waktu berselang. Para penyambut dan pengambil bingkisan mulai bermunculan. Seiring pak Ustad Lili menutup doanya dengan salam. Bingkisan itu sudah sampai dengan aman ke hadapan keluarga. Tak satu pun mata yang lepas dari bingkisan sebesar kardus TV duapuluh satu inci itu. Kini giliran pihak keluarga yang menerima bingkisan itu. Tampak anak-anak Oneng mengerubuti termasuk mak Odoy.
      "Baiklah," ujar pak ustad Lili, "Doa sudah selesai, barangkali inilah juga jawaban atas doa-doa kita, amin. Silakan Mak Odoy dan anak-anak, jika hendak membuka di hadapan kami. Atau mungkin ingin menyimpannya dulu hingga kami semua pulang. Kalau-kalau pihak keluarga tidak ingin kami tahu apa isi bingkisan itu...itu hak keluarga mak Odoy..."
      Segera saat itu, anak mak Odoy yang sulung membuka mulut, "Tidak apa-apa Mak, buka saja. Itung-itung membagi kebahagiaan, jika isinya perlu dibagikan, kita nikmati bersama. Tapi jika isinya barang-barang yang tidak mungkin dibagikan, ya mungkin Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekedar saksi saja atas kegembiraan kami..."
      Mulailah anak Oneng yang sulung membuka rekatan-rekatan lakban kuning yang menutup sempurna kardus itu. Semua tercengang. Di dalam kardus itu yang tampak hanya sebuah peti. Mirip peti sayur tomat, hanya bentuknya lebih rapi dengan kayu yang cukup bagus dan rapat.
      Kemudian semua memperhatikan kayu itu. Muncullah ide untuk membuka kayu itu dengan linggis kecil. Sebelum mak Odoy menyuruh salah seorang anak mengambil benda itu, tiba-tiba dari dalam kayu itu tercium bau sesuatu. Semua saling pandang. Yakin sekali, aroma itu mulai menyeruak masuk ke setiap tempat, bahkan setiap sudut rumah. Ke sudut-sudut gorden di antara deretan jendela-jendela kaca,  tikar pandan yang penuh laki-laki bersila. Menyatu pula dengan sayur sop yang sedikit dagingnya, sambal goreng kentang tanpa ati, juga tumisan cabe campur bihun. Setelah itu bau menyeruak ke setiap tumpukan piring, gelas-gelas yang berisi air teh tanpa gula, teko-teko alumunium panas yang sudah kelabu warnanya. Lalu menyelususp, hingga onggokan sisa-sisa sayur serta sampah dan tumpukan kayu bakar di dapur yang belum terurus. Yakin sekali semua merasakan aroma aneh itu. Semua menutup hidung tanpa diminta oleh pribumi. Aku yakin ini pasti kiriman yang tidak berupa benda-benda seperti dalam pikiranku. Melainkan benda yang bisa membusuk jika lama di jalan. Tapi apa? Karena makin lama aroma itu makin menusuk...
      Barulah saat itu kakak Oneng yang satu lagi muncul membawa linggis kecil. Segera anak-anak Oneng mundur dari peti itu. Kini giliran paman mereka hendak membobol isi peti.
      Semua menatap dengan tegang. Suasana pun menjadi tegang. Apalagi setelah peti terbelah. Tampaklah sebuah plastik besar warna hitam bertali perekat dengan bau busuk yang kian jelas. Bau sesengak bangkai!      Â
      Semua tersentak kaget. Saat itu juga suamiku yang duduk dekat bapak segera meloncat ke arahku, lalu menyambar tanganku untuk menjauh dari situ. Entah mengapa. Saat itu juga aku menurut sambil menggendong anakku yang masih kecil. Dadaku gemetar, tengkukku serasa mendingin, kepalaku terbakar. Entah apa yang kualami saat itu. Ke dekatku tiba-tiba ibu datang memegangku kuat-kuat. Kurasakan juga goncangan badannya yang merapat ke badanku. Kami diam tanpa kata. Gemetar terus meradang...!
      Sedetik setelah itu, dari ruang dalam terdengar jeritan mak Odoy. Lengkingan tajam yang menggeligis. Lalu lenyap. Menyusul jeritan anak-anak dan kakak-kakak Oneng. Entah apa yang terjadi. Dan sedetik kemudian suasana di sana menjadi gaduh.
      Aku hendak berlari ke sana. Tapi lagi-lagi suami dan ibuku memegang tanganku erat-erat. Aku hanya menurut. Saat itu juga, makin menajam aroma bangkai menusuk penciuman. Aroma bangkai manusia....
Bantu klik 'ikuti' pada cerbung Kembang Pelakon: http://karyakarsa.com/IisWKartadinata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H