Segera saat itu, anak mak Odoy yang sulung membuka mulut, "Tidak apa-apa Mak, buka saja. Itung-itung membagi kebahagiaan, jika isinya perlu dibagikan, kita nikmati bersama. Tapi jika isinya barang-barang yang tidak mungkin dibagikan, ya mungkin Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekedar saksi saja atas kegembiraan kami..."
      Mulailah anak Oneng yang sulung membuka rekatan-rekatan lakban kuning yang menutup sempurna kardus itu. Semua tercengang. Di dalam kardus itu yang tampak hanya sebuah peti. Mirip peti sayur tomat, hanya bentuknya lebih rapi dengan kayu yang cukup bagus dan rapat.
      Kemudian semua memperhatikan kayu itu. Muncullah ide untuk membuka kayu itu dengan linggis kecil. Sebelum mak Odoy menyuruh salah seorang anak mengambil benda itu, tiba-tiba dari dalam kayu itu tercium bau sesuatu. Semua saling pandang. Yakin sekali, aroma itu mulai menyeruak masuk ke setiap tempat, bahkan setiap sudut rumah. Ke sudut-sudut gorden di antara deretan jendela-jendela kaca,  tikar pandan yang penuh laki-laki bersila. Menyatu pula dengan sayur sop yang sedikit dagingnya, sambal goreng kentang tanpa ati, juga tumisan cabe campur bihun. Setelah itu bau menyeruak ke setiap tumpukan piring, gelas-gelas yang berisi air teh tanpa gula, teko-teko alumunium panas yang sudah kelabu warnanya. Lalu menyelususp, hingga onggokan sisa-sisa sayur serta sampah dan tumpukan kayu bakar di dapur yang belum terurus. Yakin sekali semua merasakan aroma aneh itu. Semua menutup hidung tanpa diminta oleh pribumi. Aku yakin ini pasti kiriman yang tidak berupa benda-benda seperti dalam pikiranku. Melainkan benda yang bisa membusuk jika lama di jalan. Tapi apa? Karena makin lama aroma itu makin menusuk...
      Barulah saat itu kakak Oneng yang satu lagi muncul membawa linggis kecil. Segera anak-anak Oneng mundur dari peti itu. Kini giliran paman mereka hendak membobol isi peti.
      Semua menatap dengan tegang. Suasana pun menjadi tegang. Apalagi setelah peti terbelah. Tampaklah sebuah plastik besar warna hitam bertali perekat dengan bau busuk yang kian jelas. Bau sesengak bangkai!      Â
      Semua tersentak kaget. Saat itu juga suamiku yang duduk dekat bapak segera meloncat ke arahku, lalu menyambar tanganku untuk menjauh dari situ. Entah mengapa. Saat itu juga aku menurut sambil menggendong anakku yang masih kecil. Dadaku gemetar, tengkukku serasa mendingin, kepalaku terbakar. Entah apa yang kualami saat itu. Ke dekatku tiba-tiba ibu datang memegangku kuat-kuat. Kurasakan juga goncangan badannya yang merapat ke badanku. Kami diam tanpa kata. Gemetar terus meradang...!
      Sedetik setelah itu, dari ruang dalam terdengar jeritan mak Odoy. Lengkingan tajam yang menggeligis. Lalu lenyap. Menyusul jeritan anak-anak dan kakak-kakak Oneng. Entah apa yang terjadi. Dan sedetik kemudian suasana di sana menjadi gaduh.
      Aku hendak berlari ke sana. Tapi lagi-lagi suami dan ibuku memegang tanganku erat-erat. Aku hanya menurut. Saat itu juga, makin menajam aroma bangkai menusuk penciuman. Aroma bangkai manusia....
Bantu klik 'ikuti' pada cerbung Kembang Pelakon: http://karyakarsa.com/IisWKartadinata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H