Waktu itu Oneng menjawab dengan santai, "Berarti cuma aku yang paling banyak ngasih duit buat Bapak..."
      Aku yakin, kali ini Oneng tidak akan menanggapi segala kelakar nasib dengan kelakar yang baru. Karena kabar yang sampai di matanya lewat tulisan adalah perihal meninggalnya Wak Mustad, bapaknya. Pasti Oneng tergugah, walau hanya untuk balas surat saja. Syukur-syukur kirim uang untuk mengganti beban keluarga karena membiayai seluruh sekolah anak-anaknya. Untuk mengganti biaya penguburan saja sudah untung buat Ma Odoy ibunya yang sudah cukup tua.
      Kebetulan aku dan suami sedang berlibur di kampung. Nasibku memang berbeda dengan Oneng. Mungkin aku lebih beruntung dari dia. Hidupku normal sesuai cita-cita. Walaupun belum jadi orang kaya, setidaknya aku tidak perlu susah-susah ke negeri orang untuk membantu mencari penghasilan keluarga. Bahkan suamiku sudah memberiku lebih dari cukup. Aku menjadi guru dan sedikit-sedikit menghasilkan uang lewat menulis.
      "Coba kalau dulu si Oneng sekolah kayak kamu, Nyi," ujar mak Odoy di sela tangis. Dia memelukku erat sekali. Mungkin dia merasa bertemu dengan anaknya. Karena di samping sejak kecil aku jadi sahabat dia, apa pun kesan yang orang-orang omongkan tentang Oneng. Aku tidak pernah terpengaruh. Wajahku juga mirip wajahnya, konon.
      "Di kampung ini dia capek dengan hinaan orang-orang. Dia dibilang tukang main laki-laki, lacur, belum lagi perusak rumah tangga orang. Bukan dia saja yang capek, emak juga..."
      Aku menelan ludah.
      "Cuma  kamu yang suka datang ke sini. Walaupun kamu sudah jauh di kota... kamu nggak pernah lupa sama dia. Emak tahu itu."
      Aku masih diam, lalu mengurai pelukannya. Di sisi jasad Wak Mustad aku melihat senyum yang entah apa maknanya. Wak Mustad memang orang yang soleh. Sayang kebaikan hidupnya mesti diganggu oleh romantika hidup Oneng. Apa pun alasannya.
      Kesibukan tampak terlihat di rumah itu. Biasanya orang-orang sini memang kental dengan kebiasaan ritual pengurusan mayat. Setelah mayat dikubur menurut syariat, seluruh keluarga dan tetangga berkumpul untuk tahlilan. Dengan hidangan alakadarnya. Aku tahu, untuk tahlilan ini mak Odoy harus mengeluarkan uang yang tidak kurang banyaknya.
      Suami dan keluargaku pun bergabung waktu itu.
      Ketika mereka tengah serius berdoa. Tiba-tiba seorang pegawai desa muncul mengagetkan.