***
Setelah mandi sepulang kerja, tiba-tiba ada panggilan telepon masuk. Sepertinya nomor telepon Indonesia. Aku mengangkatnya.
"Halo, dengan Santi!" suara laki-laki dalam telepon seperti emosi.
"Iya? Siapa ini?" tanyaku berusaha tenang.
"Kamu jangan ikut campur urusan hidupku. Tahu apa kamu tentang hidupku? Kamu jangan menghasut Sheila!" mendengar nama Sheila, aku yakin itu suara Marcel. Aku diam mendengarkan segala caci maki yang dilontarkannya. Marcel membahas kebebasan, pilihan hidup, dan kebahagiaan. Dia tidak memberikanku ruang berbicara alasan di balik semua ini. Hati nuraniku berkecamuk.
"Untuk apa?" teriaknya lagi dari telepon.
"Karena... karena aku peduli!" teriakku penuh emosi membayangkan wajah Sheila yang memohon kepadaku. Sejenak Marcel terdiam.
"Peduli? Cinta? Buta kamu!" katanya. Aku terdiam dan merenungkan kembali kata-kata yang kuucapkan. Caciannya membuat hatiku sakit. Mengapa aku harus berkorban untuk Marcel, menghubungi psikiater, membuat masalah dengan Marco. Aku telah merusak hubungan Marcel dengan Marco. Ini kulakukan demi Sheila. Apa iya karena Sheila? Bukan Marcel?
***
Sejak Marcel meneleponku, tiba-tiba Sheila jauh-jauh dari Jakarta menemuiku. Kusarankan tinggal di apartemenku. Dia meminta menjemputnya di bandara. Aku menuruti permintaannya walaupun aku sedikit lelah sepulang kerja. Kami memesan sebuah taksi menuju apartemen. Aku mencoba mengajaknya bercerita mengenai kondisi Indonesia dan mencoba membahas hal-hal yang lucu. Sheila tetap merespons, tetapi dengan raut wajah yang lelah.
"Kamu tidak kuliah Sheila?" tanyaku berbasa-basi ketika taksi sudah hampir sampai di depan lobi apartemen.