Jika ini adalah arah demokrasi kita, maka mungkin sudah saatnya kita mencari definisi baru "kembali pada makna demokrasi yang sebenarnya, yaitu: liberte/kebebasan, egalite/kesetaraan, fraternite/persaudaraan."Â
Kembalikan kebebasan kita sebagai warga negara republik dan bangsa yang merdeka, biarkan kita hidup setara di negeri ini, apabila kita memang bersaudara karena ibu pertiwi.
Kritik Internasional: Ancaman atau Kesempatan?
Laporan OCCRP seharusnya menjadi cermin, bukan ancaman. Namun, pemerintah dan pendukung fanatiknya seringkali merespons dengan defensif, seolah-olah kritik dari luar adalah konspirasi untuk menjatuhkan Indonesia "mudah-mudahan yang baru ini, tidak."
Padahal, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Tetapi, tentu saja, lebih mudah untuk menyalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan sendiri "mental pecundang dan semoga kita tidak begitu."
Respons ini juga mencerminkan mentalitas yang lebih luas, yaitu; ketidakmampuan untuk menerima kritik. Dalam dunia yang semakin terhubung, reputasi internasional merupakan aset berharga dalam diplomasi.Â
Tetapi jika kita terus-menerus menyangkal masalah, maka reputasi itu akan semakin kokoh, dan bangsa kita akan di anggap sebagai bangsa yang tidak bisa belajar serta bergaul dengan negeri lain.
Bukankah lebih baik menggunakan kritik sebagai bahan evaluasi daripada sebagai alasan untuk bermain sebagai korban?
Kesimpulan: Sebuah Refleksi Pahit
Jokowi mungkin bukan satu-satunya pemimpin yang harus disorot dalam isu korupsi, tetapi namanya muncul dalam laporan OCCRP merupakan tamparan keras bagi citra pemerintahannya.
Korupsi adalah realitas yang tidak dapat diabaikan, dan laporan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa "Indonesia Maju" tidak akan pernah tercapai tanpa pembersihan besar-besaran di semua level pemerintahan.