Infrastruktur besar-besaran seperti jalan tol dan bandara memang tampak megah, tetapi siapa yang benar-benar menikmatinya? Rakyat kecil yang hanya bisa mengagumi dari kejauhan, atau korporasi besar yang mendapatkan konsesi?
Ingan! Orang-orang yang kurang beruntung seperti anda dan saya beserta jutaan masyarakat miskin lain, itu hanya sanggu beli tiket bus kalau berpergian jauh atau pulang kampung.
Jangan lupa juga, biaya tol yang terus naik sering kali tidak sebanding dengan kualitas layanan yang diberikan.
Tapi, tenang saja, kita selalu diberitahu bahwa ini adalah "pengorbanan untuk kemajuan dan kecintaan kita pada negeri ini."
Sementara itu, utang luar negeri terus membengkak. Dalam skema besar "kemajuan," rakyat Indonesia yang harus menanggung beban pajak untuk melunasi utang tersebut. Apakah ini yang disebut kemajuan? Mungkin kemajuan hanya relevan bagi mereka yang mendapatkan tender proyek.Â
Jangan heran jika kita menemukan pejabat yang mendadak kaya raya setelah proyek selesai. Tentu saja, semua itu "kebetulan belaka, bukan korupsi ya, anda diam saja, bairkan mereka menikmati kekayaan instannya itu."
Di sisi lain, ada fenomena "lip service" dalam pengentasan kemiskinan. Anggaran besar dialokasikan, tetapi dampaknya sering kali tidak terlihat. Program-program bantuan sosial penuh dengan potensi korupsi, dari pengadaan hingga distribusi.
Siapa yang diuntungkan? Mungkin bukan rakyat kecil, melainkan segelintir oknum yang pandai "berinovasi" dalam memanfaatkan celah sistem, apa ya itu namanya? Bukan korupsi kayanya.
Realitas Korupsi di Akar Rumput
Korupsi di Indonesia bukan hanya tentang pejabat tinggi. Ini merupakan penyakit yang sudah mendarah daging hingga ke level paling bawah. Mulai dari pungutan liar di sekolah hingga suap untuk mendapatkan pekerjaan, korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Tapi jangan khawatir, pemerintah terus mengingatkan kita bahwa "Indonesia Maju" adalah tujuan kita semua. Maju ke mana? Lalu siapa yang harus bertanggungjawab? Itu pertanyaannya.