Saya baru saja berkeliling gudang mengawasi karyawan yang sedang sibuk menghitung stock suku cadang di dalam gudang dan di luar halaman gudang yang berisikan komponen-komponen alat berat untuk dipakai di perusahaan-perusahaan pertambangan.
Kegiatan menghitung stock atau yang disebut juga dengan stock take atau stock opname ini merupakan ritual tahunan yang biasanya dilakukan pada awal tahun di perusahaan kami di Balikpapan.
Sebagai pimpinan perusahaan, saya ingin bisa cepat diselesaikan dan saya menargetkan dalam 1 hari proses penghitungan harus bisa kelar. Karena jika tidak kelar maka akan berdampak kepada keterlambatan untuk proses pengiriman barang ke pelanggan kami.
Hampir semua karyawan saya kerahkan untuk terlibat dalam proses stock take ini. Tidak hanya karyawan gudang tapi juga karyawan bagian administrasi dan tenaga penjualan. Mereka harus bekerja sama untuk saling membantu menyukseskan ritual tahunan ini dengan cara kerja keroyokan.
Pagi hari sekitar pukul 08:15 saya minta mereka berkumpul di gudang untuk saya briefing terlebih dahulu mengenai prosedur penghitungan, kebersihan dan keselamatan kerja. Saya juga menekankan agar mereka bisa menepati waktu yang sudah ditentukan.
Salah seorang manajer administrasi, saya tugaskan untuk menyediakan konsumsi mulai dari snack kue dan minuman untuk waktu break dan juga nasi kotak untuk makan siang karyawan sehingga mereka tidak perlu pulang makan siang di rumah atau makan siang di warung yang bisa menyebabkan keterlambatan proses stock take ini.
Sekitar pukul 11:45 saya kembali ke ruangan kerja saya yang terletak di lantai dua bangunan. Begitu saya membuka pintu, saya mendapatkan sebuah kotak berwarna merah diletakkan di samping komputer saya.
Dari aroma yang tercium pada saat membuka pintu sudah bisa dipastikan kalau kotak berwarna merah tersebut berisikan Nasi Padang dengan aneka lauk pauknya yang sangat khas seperti rendang daging, kuah gulai ikan kakap dengan cabai goreng hijaunya.
Kebetulan sekali perut saya terasa sudah sangat lapar ditambah lagi dengan aroma masakan Padang yang khas yang sudah menyebar di dalam ruangan saya, sehingga perut serasa sudah tidak mau diajak kompromi lagi untuk segera melahapnya.
Perlahan saya tarik kursi kerja saya kemudian duduk sambil melihat laptop yang ada di samping kotakan nasi Padang tersebut untuk memeriksa email-email yang masuk.
Tangan kiri saya meraih gelas minum untuk saya teguk beberapa kali tegukan untuk menghilangkan rasa kering di kerongkongan. Setelah itu saya mulai membuka isi kotakan tersebut untuk melihat apa saja lauk yang ada di dalamnya.
Melihat dan merasakan aroma nasi Padang di depan saya, sejenak pikiran saya dibawa melayang ke masa silam. Masa kecil sekitar 45 tahun yang lalu. Dimana kala itu saya masih berumur sekitar 11 tahun tinggal di sebuah desa kecil di Pulau Bangka.
Hidup bersama dengan kedua orang tua dengan delapan bersaudara dimana kondisi hidup kala itu boleh dikatakan sangat pas-pasan alias susah.
Saya berada di urutan anak yang ke tujuh dari delapan bersaudara tersebut dan di bawah saya masih ada seorang adik laki-laki yang umurnya 3 tahun di bawah saya.
Ayah seorang pekerja buruh harian di sebuah perusahaan kontraktor bagian pengelasan di kapal keruk penambang timah di Kota Sungailiat, Bangka.
Setiap hari sekitar pukul 06:00 pagi beliau mengayuh sepedanya menuju tempat kerja yang berjarak sekitar 15 km dari rumah kami. Dan kembali pulang ke rumah sekitar pukul 18:00 sore harinya. Â
Biasanya ibu sudah membekali ayah dengan nasi rantang dengan lauk pauk seadanya seperti telur dadar atau telur kecap sesekali ikan goreng.
Menu masakan ibu hampir sama setiap harinya namun saya tidak pernah mendengar ayah saya mengeluh dengan bekal nasi rantang dari ibu. Begitulah setiap hari kecuali hari Minggu beliau istirahat di rumah.
Tipikal ayah saya orangnya pendiam, tidak banyak bicara dan kalau sudah duduk di kursi, rokoknya tidak pernah berhenti. Tapi kalau beliau marah kita semua merasa takut bahkan dengan sorot matanya yang tajam kami anak-anaknya langsung merasa ciut terutama pada saat sore hari ketika kami disuruh mandi.
"Ayo ke sana mandi...apa mau dilibas dulu baru mau mandi!", hardiknya sambil memelototkan matanya. Saya dan adik saya langsung ngacir ke kamar mandi.
Atau mana kala musim hujan biasanya kami berlari-lari bermain air hujan seperti halnya anak-anak lainnya yang hidup di desa. Walaupun ada suara guntur dan kilatan petir saya dan adik saya terus bermain air hujan.
Jika ada ayah di rumah pasti dimarahi dan disuruh untuk masuk ke rumah. Pernah suatu ketika kami tidak menuruti perintahnya sehingga kami harus menerima hukuman dilibas kakinya dengan rotan kecil dan menangis menjerit-jerit karena kesakitan. Begitulah kenakalan kami sewaktu masih kecil dulu.
Sekali waktu ayah pulang kerja terlambat karena ada pekerjaan lembur di tempat kerjanya hingga sampai di rumah sudah larut malam.
Saya dan adik saya tentu saja sudah tertidur pulas. Tiba-tiba ibu membangunkan kami berdua. Sambil menggosok-gosokan mata, kami bertanya:
"Ada apa ma?"
Kami memanggil ibu dengan panggilan mama dan ayah dengan panggilan papa.
"Papamu bawa nasi bungkus...kalian mau makan nggak?"
Walaupun mata sudah mengantuk tapi kami tetap juga bangun sambil kemudian berjalan ke dapur mengikuti langkah ibu.
Ayah sedang mandi di kamar mandi sementara ibu mulai membukakan bungkusan nasi bungkus yang dibawa ayah pulang dari tempat kerjanya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23:30 malam. Nasi bungkus tadi dibagikan ke kami berdua di piring masing-masing. Rasanya kami sangat senang karena bisa merasakan makanan enak yang dibawa oleh ayah.
Dibungkus dengan daun pisang dan kertas koran. Lauknya daging rendang, kuah gulai ayam dan sayur kol dan daun singkong yang dimasak dengan santan.
Sementara ayah setelah selesai mandi ikut makan bersama dengan kami. Tapi makanan yang dimakan oleh ayah adalah masakan yang dimasak oleh ibu tadi sore yang tentunya sudah dingin. Tapi kelihatan beliau juga sangat menikmatinya sambil melihat kami menyantap makanan nasi bungkus yang dibawa olehnya.
Ternyata setelah dewasa saya baru menyadarinya bahwa nasi bungkus yang dibawa ayah pulang tersebut adalah jatah nasi lembur ayah yag dibagikan oleh perusahaan tempat dia bekerja untuk jatah makan malam mereka. Dan nasi bungkus tersebut adalah masakan Nasi Padang.
Beliau rela tidak memakannya walaupun mungkin dia pasti merasa sangat lapar karena dari pagi hanya berbekal 1 nasi rantang yang disiapkan oleh ibu.
Nasi bungkus untuk jatah makan malamnya tidak dimakan tetapi dibawa pulang untuk anak-anaknya.
Setelah menyantap nasi bungkus yang dibawa ayah tersebut selanjutnya setiap kali ayah pulang malam kami berdua selalu berharap bisa mendapatkan nasi bungkus lagi dari ayah.
"Bu jam berapa papa pulang?", tanya adikku sambil tiduran.
"Kalian tidur saja...nanti mama bisa membangunkan kalian kalau papamu sudah pulang."
Memang benar, setelah papa sampai di rumah, mamapun membangunkan kami berdua untuk menyantap nasi bungkus yang dibawa ayah.
Demikianlah seterusnya kamipun sangat berharap ayah bisa pulang malam dan membawakan nasi bungkus untuk kami lagi.
Pernah suatu ketika, kami tidak dibangunkan oleh ibu pada hal dari sejak sore sebelum kami tertidur kami sudah berpesan kepada ibu untuk membangunkan kami jika ayah pulang nanti.
Keesokan harinya setelah bangun pagi, adik saya menangis menanyakan kepada ibu kenapa tidak dibangunkan tadi malam.
Ibu pun kelihatan sangat sedih sekali menatap kami berdua. Kami belum memahami apa maksud ibu tidak membangunkan kami.
Ternyata setelah beberapa hari kemudian barulah ibu memberitahukan kami kalau ayah tidak membawa pulang nasi bungkusnya karena sudah dimakan oleh ayah di tempat kerjanya karena beliau sudah merasa lapar.
Sejak saat itu kami merasa sangat bersalah. Seharusnya itu makanan untuk ayah bukan untuk kami. Dan kami pun kemudian tidak pernah lagi meminta ibu untuk membangunkan kami pada saat ayah pulang malam.
Tiba-tiba saya kembali terhenyak dari tempat duduk di ruangan kerja saya. Saya perhatikan lagi kotak nasi Padang yang ada di atas meja kerja.
Dulunya hanya dibungkus dengan daun pisang dan kertas koran tapi aroma gulainya sangat menusuk hidung. Dan sekarang sudah di zaman modern, nasi bungkusnya sudah berubah menjadi nasi kotak yang dikemas bagus, berbeda dengan nasi bungkus yang dibawa oleh ayah saya dulu.
Kadang saya merindukan suasana dulu pada masa kecil di kampung, tinggal bersama dengan orang tua dan saudara-saudara yang hidup dalam kesederhanaan.
Kasih seorang ayah memang tidak bisa diukur. Kadangkala seorang ayah harus melibas kaki anaknya agar anaknya mau menurut perintahnya. Tapi di sisi lain seorang ayah rela menahan lapar dan memberikan jatah nasi bungkusnya untuk dibawa pulang dan diberikan kepada anak-anaknya.
Seorang ayah akan merasa sangat bahagia melihat anaknya dengan lahap menyantap nasi bungkusnya walaupun ia sendiri hanya memakan makanan yang sudah dingin yang dimasak oleh ibu sejak sore harinya.
Kita baru menyadarinya setelah kita dewasa atau bahkan setelah kita menjadi seorang ayah.
Tapi zaman saat ini sudah berubah, kondisi tidak lagi sama dengan yang dulu. Mungkin anak-anak kita saat ini sudah tidak lagi merindukan sebungkus nasi Padang yang dibawa oleh ayahnya pada malam hari.
"Selamat menikmati kotakan nasi Padangnya Pak!", tegur Manajer Admin saya pada saat ia masuk ke ruangan saya.
Saya tersenyum sambil mengangguk seraya berucap,"Terima kasih."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H