Mohon tunggu...
Iffat Mochtar
Iffat Mochtar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profesional - Wiraswasta

Country Manager di sebuah Perusahaan Swasta Asing yang bergerak di sektor Pertambangan. Berdomisili di kota minyak Balikpapan, Kalimantan Timur. Memiliki banyak ketertarikan di bidang marketing, traveling, kuliner, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menanti Sebungkus Nasi Padang dari Ayah

5 Januari 2022   12:04 Diperbarui: 7 Januari 2022   11:47 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi Kotak Padang | Koleksi Foto Pribadi

Tangan kiri saya meraih gelas minum untuk saya teguk beberapa kali tegukan untuk menghilangkan rasa kering di kerongkongan. Setelah itu saya mulai membuka isi kotakan tersebut untuk melihat apa saja lauk yang ada di dalamnya.

Melihat dan merasakan aroma nasi Padang di depan saya, sejenak pikiran saya dibawa melayang ke masa silam. Masa kecil sekitar 45 tahun yang lalu. Dimana kala itu saya masih berumur sekitar 11 tahun tinggal di sebuah desa kecil di Pulau Bangka.

Hidup bersama dengan kedua orang tua dengan delapan bersaudara dimana kondisi hidup kala itu boleh dikatakan sangat pas-pasan alias susah.

Saya berada di urutan anak yang ke tujuh dari delapan bersaudara tersebut dan di bawah saya masih ada seorang adik laki-laki yang umurnya 3 tahun di bawah saya.

Ayah seorang pekerja buruh harian di sebuah perusahaan kontraktor bagian pengelasan di kapal keruk penambang timah di Kota Sungailiat, Bangka.

Setiap hari sekitar pukul 06:00 pagi beliau mengayuh sepedanya menuju tempat kerja yang berjarak sekitar 15 km dari rumah kami. Dan kembali pulang ke rumah sekitar pukul 18:00 sore harinya.  

Biasanya ibu sudah membekali ayah dengan nasi rantang dengan lauk pauk seadanya seperti telur dadar atau telur kecap sesekali ikan goreng.

Menu masakan ibu hampir sama setiap harinya namun saya tidak pernah mendengar ayah saya mengeluh dengan bekal nasi rantang dari ibu. Begitulah setiap hari kecuali hari Minggu beliau istirahat di rumah.

Tipikal ayah saya orangnya pendiam, tidak banyak bicara dan kalau sudah duduk di kursi, rokoknya tidak pernah berhenti. Tapi kalau beliau marah kita semua merasa takut bahkan dengan sorot matanya yang tajam kami anak-anaknya langsung merasa ciut terutama pada saat sore hari ketika kami disuruh mandi.

"Ayo ke sana mandi...apa mau dilibas dulu baru mau mandi!", hardiknya sambil memelototkan matanya. Saya dan adik saya langsung ngacir ke kamar mandi.

Atau mana kala musim hujan biasanya kami berlari-lari bermain air hujan seperti halnya anak-anak lainnya yang hidup di desa. Walaupun ada suara guntur dan kilatan petir saya dan adik saya terus bermain air hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun