“Kau ingin tahu, Dian?” tanyaku.
“Iya…” senyum kecilnya membuatku terkapar.
“Kau sangat mirip dengan seseorang perempuan yang aku kenal baik. Aku memanggilnya Oma, sebab ia perempuan renta.”
“Benarkah?” kernyit di keningnya seakan meragukanku.
“Benar.” tegasku, memaksanya percaya.
“Maka ceritakanlah tentang Oma padaku, Bayu!” Dian mulai penasaran.
***
Sore itu, aku diajak Farrah─mantan kekasihku beberapa tahun lampau, singgah di sebuah rumah tua tak berpagar, pintu masuk menuju ruang tamu pada rumah itu hampir roboh. Beberapa derak langkahku terhenti ketika memasuki ruang tamu. Sebuah ranjang dengan kasur terhampar di sana, di atas lantai berubin putih, namun terlihat kotor, seakan tak pernah ada yang menyapu dan mengepel lantai itu. Di atas ranjang kasur tengah terduduk seorang perempuan renta dengan senyum layu, berkaca mata tebal, berambut perak, dan berparas Indo.
Di samping kanan ranjang kasur dan di samping kanan meja televisi, tengah berdiri tegak rak buku tua yang terbuat dari kayu jati, penuh dengan novel-novel berbahasa Belanda.
“Maaf, Oma. Aku agak lama sampainya, sebab aku harus mengurus beberapa pekerjaan.” ujar Farrah.
“Iya, tidak apa-apa. Dengan siapa kamu datang?” jawab Oma, sekaligus bertanya, seraya menatapku dengan memicingkan kedua matanya.