(Dimuat dalam buku 'Si Murai dan Orang Gila' - Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ)Â
Terkadang purnama datang, lalu sabit, bahkan keduanya. Bintang pun tak dapat menggantikannya. Maka kukatakan pada malam tentang kesedihan yang kupamerkan.
Sesaat dalam gulita, aku kerap mengingatnya. Bahkan saat wajah sang fajar datang, wajah sendunya seakan menebar senyum yang kembali mengingatkanku pada setapak perjalanan. Hal itu sungguh membuatku menahan rindu.
1 Jam usai pemakamanÂ
Nisan namanya membuat bulu kudukku merinding, dingin menghantam uluh hati. Seharusnya aku tak telat dalam prosesi itu. Seharusnya segera kuantar bibirnya mencium gumpalan pekat tanah untuk terakhir kalinya. Sedetik saja aku tak terlambat, maka sudah pasti akan kucium kening pucatnya.
Peristiwa kematiannya membuatku terus mengingatnya, aku jatuh mengenangnya, sebab tiada yang sepeduli dia di kehidupanku. Namun mengapa dia harus lebih dahulu meninggalkanku, "aku benci pada tanah yang menguruknya, aku benci pada dua alam yang memisahkan persahabatan kami, aku benci!"
Beberapa kali kutampar gundukan tanah itu. Ingin rasanya segera kucopot papan nisan yang bertuliskan namanya "Dimas Sayuti Bin Achmad Sayuti" lalu mencangkul tanah yang menguburnya. Kemudian akan kuangkat jenazahnya dan merendamnya di kutub atau membalsemnya. Seperti pada dinasti oranje. Sebuah sejarah yang pernah kami dengar bersama. Dimana kisah tersembunyi Nieuwe Kerk (Gereja Baru) menjadi salah satu obyek wisata di Delft.
Mas Hadi, Seorang pria paruh baya, yang mengajak kami berbincang di pinggir pantai kuta, menceritakan lengkap sejarah itu.
"Tahukah kalian! Wahai dua pemuda gagah. Dengarlah kisah sejarah yang akan kuceritakan pada kalian. Tentang sejarah dinasti oranje. Banyak rahasia yang akan membuat kalian tercengang."
Saat itu aku dan Dimas saling melirik mata, seakan kami ingin terbahak menertawakan Mas Hadi. Namun kami juga harus mendengarkannya.
"Jadi beginilah sejarahnya." dengan mengangkat kedua tangan dan melihat kearah mata kami, Mas Hadi mulai bercerita.
                      ***
 "Den Haag -- Belanda. Di negara Belanda kisah Dinasti Oranje berasal. Kisah dimana para jasad raja dan ratu dibalsem setelah wafat. Tapi dari seluruh keluarga Dinasti Oranje, tercatat hanya Ratu Emma dan Ratu Wilhelmina yang berwasiat. Karena alasan keyakinan agama, agar jika dirinya meninggal tidak dibalsemkan. Pangeran Bernhard, sebelum meninggal juga mengungkapkan keinginanan yang sama untuk tidak dibalsem. Karena ia percaya akan reinkarnasi."
"Tahukah kalian" Mas Hadi mengangkat alisnya sambil melotot.
"Ruang grafkelder terbagi atas dua ruang, yaitu ruang lama dan ruang baru. Disitulah para jenazah diabadikan. Di ruang lama antara lain tersimpan jenazah Raja Willem van Oranje yang terbunuh pada 10/7/1584 dan istrinya Louise van Coligny.Â
Total ruangan lama menyimpan 11 jenazah, yang meninggal dalam kurun antara abad 16 sampai abad 17. Sedangkan di ruang baru. Menurut NOS---Surat Kabar, sejauh ini telah menyimpan 32 jenazah keturunan Dinasti Oranje sejak abad 17."
Ternyata benar, cerita itu membuat kami tercengang. Tiba-tiba kami serius mendengarkan sejarah itu. Rasa ingin menertawakan pun berubah menjadi acungan jempol untuk pria paruh baya itu.
"Terus bagaimana tentang peti-peti mati itu, Mas?" tanya Dimas.
"Diantara peti-peti besar yang menyimpan jenazah Dinasti Oranje, ada sebuah peti kecil yang misterius, tergeletak agak menyerong di sudut ruang. Sebagian ahli menyebutkan, bahwa di dalam peti itu tersimpan jantung Raja Willem III.Â
Sebagiannya lagi menyebutkan, bahwa disitu tersimpan jantung Wilhelmina van Pruisen, istri Willem V. Dan di ruang itulah terbaring jenazah Dinasti Oranje, yang sebagian nama-namanya tidak asing bagi bangsa Indonesia, karena kaitan sejarah.Â
Mereka antara lain Raja Wilem III yang berdampingan dengan Ratu Emma, Pangeran Hendrik yang berdampingan dengan Ratu Wilhelmina, kemudian Ratu Juliana (di sebelahnya masih kosong), dan Pangeran Claus, suami Ratu Beatrix yang saat itu berkuasa (sebelahnya juga masih kosong). Nah, di sebelah jenazah Ratu Juliana yang masih kosong itulah Sabtu kemarin telah diletakkan (Bijgezet) Pangeran Bernhard, sang suami. Mereka disandingkan kembali."
"Begitulah, sedikit kisah tentang dinasti Oranje yang aku tahu. Â Kalian mau tahu! Kenapa aku menceritakan ini pada kalian. Sebab, ini tentang kematian. Aku melihat kalian berdua begitu bersahabat. Kalian sangat menikmati hidup. Darah dua pemuda yang saling mengikat batin persahabatan tanpa memikirkan kematian siapa yang akan lebih dahulu.Â
Dalam kerajaan itu, kala sepasang hati wafat, maka ruang persandingan mereka kala wafat, telah dipersiapkan. Dan salah satu yang masih hidup, akan selalu mengenang yang mati. Begitu juga kalian. Aku melihat dalam persahabatan ini, kebersamaan kalian membuatku harus menangis, jika mengetahui salah satu dari kalian mati. Â Mungkin kalian akan saling merasa kehilangan begitu sangat dalam."
Sehentak kami berdua terkaku, terperangah mendengarkan mas Hadi berkata seperti itu. Sudah dari pagi kami ceria, tertawa, bercanda, menikmati pemandangan wanita-wanita pantai, menenggak arak bali yang tersohor enak, dan tak jenuh melirik paha -- paha mulus wanita bule, tanpa mengingat kematian.
Tapi akhirnya kami sadar, dari sejarah yang telah diceritakan Mas Hadi, ia berusaha menggiring dan mengingatkan kami tentang sebuah kematian. Mas Hadi pria hebat. Seorang pria yang tidak akan pernah kami lupa tampang culunnya.
                      ***
Masih kuremas-remas pekat tanah itu. Rasanya ingin kumaki tanah itu agar segera mengembalikan ruh pada jasadnya. Biar saja kuajak Dimas memasuki kenang Malioboro, sebuah tempat yang pernah melukiskan wajahku. Basoeki---Sang Pelukis kaki lima, melukis wajahku.
Satu jam kami tertinggal waktu, sedang Basoeki harus meratakan kembali lukisan wajahku dengan kuasnya. Kuperhatikan peluh khawatir dari dahi Dimas. Beberapa kali ia bertanya pada Basoeki.
"Mas, sudah jadikah?" gusarnya.
Seusai Basoeki melukis wajahku, kami berjalan menghampiri kesunyian jalan Nogosari Kidul---Kraton Yogyakarta. Kami singgah di toko batik Tito Norto, pemiliknya bernama Retno.Â
Saat itu aku berbisik pada Dimas tentang kecantikkan Mba Retno, yang melebihi kecantikan artis pujaanku, Wanda Hamidah. Mendengar bisikanku, Dimas tertawa menggelitik. Begitu terbahaknya dia saat melihatku menggoda Mba Retno dengan rayuan-rayuan gombalku.
Kuharap Dimas masih mengingat kenang tentang Bu Tiwi---Dosen Laboratorium Akuntansi, di tempat kami kuliah. Dimas begitu menyukai senyumnya.Â
Mungkin, jika sekarang Bu Tiwi mengetahui bahwa Dimas menyukai senyumnya. Tak 'kan disangkal jika Bu Tiwi akan mewariskan senyum itu padaku. Aku harap ia dapat menepuk pundakku sambil berkata,"Akan kuwariskan senyumku padamu, Arya." Ya, walau hanya sekedar memberiku semangat untuk melupakan Dimas. Kuharap ia dapat membimbingku seperti dulu, saat ia selalu memperhatikan kami.
                       ***
Pada terik sore itu, tiba-tiba sapaan hangat menyeru dari belakangku, "Arya, sudahlah! Kasihan sahabatmu itu. Jangan kau sesali kematiannya." suara lelaki, mirip suara sahabatku. Namun aku tidak menoleh sedikitpun. Aku tetap terpaku pada kenang - kenang dahulu. Jenuh sapa lelaki itu pun membuat lengannya merangkul pundakku.
"Apa yang kau sesali dari kematian sahabatmu ini, Arya?"
"Oh, bang Dito." lirikku dengan muka sendu penuh peluh.
"Seandainya Abang tahu, Bagaimana kecerian hari kami saat mengejar mimpi. Sebuah grup band yang pernah kami bentuk berdua adalah semangat yang Dimas berikan untukku, agar aku terus mengejar cita - citaku sebagai seorang penulis. Di dalam band itu, ia selalu memberikan peluang padaku untuk menulis syair lagu."
"Seandainya Abang tahu, hari - hari kami di kampus selalu dieluhkan oleh mata gadis-gadis cantik, yang melirik ketampanan kami. Namun sesungguhnya mereka tak pernah merasakan luka kami. Sebab kala itu, kami selalu menampakan wajah bahagia, saling menyembunyikan wajah luka kami karena cinta."
"Seandainya Abang tahu! Aku selalu menangis dihadapan Dimas. Seandainya Abang tahu itu semua. Tapi sudahlah, tak ada gunanya kuceritakan semua hal tentang kami, hanya Dimas yang mengerti itu semua."
"Sudahlah, Arya! Semua itu adalah cerita lampau. Kenyataan yang sekarang kau hadapi adalah sebuah kematian. Kematian dari sahabat karibmu, Dimas, yang juga adik kandungku, Abang yang sering memakinya." tegas Bang Dito.
Usai menenangkanku, Bang Dito mengangkat tubuh lunglaiku, ia berusaha membangunkanku, lalu mengajak ke rumahnya untuk menyinggahi kamar Dimas.
"Ada yang Dimas titipkan padaku untukmu, Arya! Mari kita segera ke rumah, sebelum kau menjadi patung di samping makam, yang melelapkan tidur panjang sahabatmu ini."
                     ***
Di dalam kamar, Ibunya meratapi kepergian Dimas. Dengan kaki gemetar, kumasuki kamar Dimas dan menyapa kesedihan Ibu. Tanpa jeda hening, kupeluk Ibu yang bagai Ibuku sendiri.
"Dimas, Bu. Kenapa tidak ada yang menghubungiku? Dua minggu ia dirumah sakit, tapi kenapa aku tak dihubungi."
"Kami sudah berusaha menghubungimu, Arya. Tapi kami tak berhasil menemukan namamu di handphone-nya." ujar Ibu, sambil memberikan handphone Dimas padaku.
Segera kuaktifkan handphone Dimas "Akhirnya kutemukan!" Ternyata dia memakai nama panggilan yang kami ciptakan berdua. Ya, aku biasa memangilnya Gacul (Ganteng Culun). Sedangkan dia, biasa memanggilku 'Sendu'.
Diantara jeda beberapa menit, pesan-pesan cinta masuk dari nama seseorang yang tak pernah kukenal. Kelihatannya ada wanita yang sedang dekat dengannya.
"Dimas, lagi ngapain?"
"Dimas, kok nggak balas sih? Di telepon, juga tak aktif."
Sungguh, pesan-pesan yang berharap tentang cinta pada sahabatku. Seandainya wanita itu tahu, bahwa sahabatku Dimas telah tiada. Mungkin dia akan menyesali pertemuannya dengan Dimas. Sebab ia tak kan pernah sempat mendapatkan kasih sayang dari Dimas.
"Namaku di handphone-nya 'Sendu' Bu. Ia biasa memanggilku seperti itu."
"Maafkan kami Arya. Kami benar-benar tak mengetahuinya."
"Iya Bu, tak apalah."
Pada jeda pembicaraan kami, terdengar langkah memasuki pintu kamar. Tiba tiba, suara sedih Bang Dito menghampiriku. Ia menjulurkan tangan kanannya yang menggenggam sebuah bingkai foto, bersamaan tangan kirinya yang memegang gitar.
"Dua barang inilah yang ia titipkan padaku untukmu, Arya! Ia membisikannya di rumah sakit, saat menunggu kedatanganmu. Aku sudah berusaha menghubungimu. Tapi nomormu tak ada yang aktif satu pun."
"Sendu. Namaku di handphone-nya."
Memandangi foto Dimas, membuat tubuhku kaku. Kubersihkan debu yang mulai melekat dalam kaca pigura itu. Sesekali air mataku menetes pada wajah dalam bingkai foto itu. Dan perlahan kubuka surat darinya. Pesan terakhir Dimas untukku, yang dititipkan pada Bang Dito, bersama foto dan gitar.
"Jangan pernah sesali senja yang merenta, sebab malam tak kan pernah dapat menghapusnya. Hentakkan mimpi, jangan endapkan pada batin. Yakinlah akan suatu keajaiban. Jangan pernah teringat akan pagi yang menyendukan ini, sebab siang ini matahari akan terang lalu tersenyum untukmu. lanjutkan mimpi, Sahabat! Sesungguhnya, hari akan selalu menjadi lembah biru bagimu."
                      ***
Jeda itu aku berpamitan untuk pulang. Rasanya aku ingin segera masuk dalam kamar tidurku sendiri. Ya, akan kurenungi dirinya dan kenangan kami. Bahkan tentang kekecewaanku yang tidak pernah sempat bertaubat bersama. Seperti pada janji yang pernah kami ikrarkan setelah mendengar cerita tentang kematian dari Mas Hadi. Dimas sempat berkata padaku. Sembari tiduran di bibir pantai kuta dan memandang awan cerah, ia berkata
"Sahabat! Jika nanti kita berdua sudah harus melihat kematian. Maka sudikah kau berjanji? Bahwa kita berdua akan pergi ke masjid berkubah Mas, di depok. Disitulah kita berdua akan melakukan pertaubatan, Sahabat."
Janji itulah yang belum sempat kami penuhi. Dan untuk mengakhiri janji itu, maka aku seorang Arya yang sendu ini, akan segera melanjutkan janji itu.
"Aku berjanji. Kau adalah sahabat terbaikku. Selamat jalan, Sahabat."
 Lihatlah, masih ada keindahan yang mengintip di balik embun.  Zaman tidak pernah tua, tapi masa muda akan berlalu, membiarkan hari-hari melakukan apa yang dia mau. Karena bumi, langit dan bintang diberikan untuk kita. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H