Di dalam kamar, Ibunya meratapi kepergian Dimas. Dengan kaki gemetar, kumasuki kamar Dimas dan menyapa kesedihan Ibu. Tanpa jeda hening, kupeluk Ibu yang bagai Ibuku sendiri.
"Dimas, Bu. Kenapa tidak ada yang menghubungiku? Dua minggu ia dirumah sakit, tapi kenapa aku tak dihubungi."
"Kami sudah berusaha menghubungimu, Arya. Tapi kami tak berhasil menemukan namamu di handphone-nya." ujar Ibu, sambil memberikan handphone Dimas padaku.
Segera kuaktifkan handphone Dimas "Akhirnya kutemukan!" Ternyata dia memakai nama panggilan yang kami ciptakan berdua. Ya, aku biasa memangilnya Gacul (Ganteng Culun). Sedangkan dia, biasa memanggilku 'Sendu'.
Diantara jeda beberapa menit, pesan-pesan cinta masuk dari nama seseorang yang tak pernah kukenal. Kelihatannya ada wanita yang sedang dekat dengannya.
"Dimas, lagi ngapain?"
"Dimas, kok nggak balas sih? Di telepon, juga tak aktif."
Sungguh, pesan-pesan yang berharap tentang cinta pada sahabatku. Seandainya wanita itu tahu, bahwa sahabatku Dimas telah tiada. Mungkin dia akan menyesali pertemuannya dengan Dimas. Sebab ia tak kan pernah sempat mendapatkan kasih sayang dari Dimas.
"Namaku di handphone-nya 'Sendu' Bu. Ia biasa memanggilku seperti itu."
"Maafkan kami Arya. Kami benar-benar tak mengetahuinya."
"Iya Bu, tak apalah."