***
Pada terik sore itu, tiba-tiba sapaan hangat menyeru dari belakangku, "Arya, sudahlah! Kasihan sahabatmu itu. Jangan kau sesali kematiannya." suara lelaki, mirip suara sahabatku. Namun aku tidak menoleh sedikitpun. Aku tetap terpaku pada kenang - kenang dahulu. Jenuh sapa lelaki itu pun membuat lengannya merangkul pundakku.
"Apa yang kau sesali dari kematian sahabatmu ini, Arya?"
"Oh, bang Dito." lirikku dengan muka sendu penuh peluh.
"Seandainya Abang tahu, Bagaimana kecerian hari kami saat mengejar mimpi. Sebuah grup band yang pernah kami bentuk berdua adalah semangat yang Dimas berikan untukku, agar aku terus mengejar cita - citaku sebagai seorang penulis. Di dalam band itu, ia selalu memberikan peluang padaku untuk menulis syair lagu."
"Seandainya Abang tahu, hari - hari kami di kampus selalu dieluhkan oleh mata gadis-gadis cantik, yang melirik ketampanan kami. Namun sesungguhnya mereka tak pernah merasakan luka kami. Sebab kala itu, kami selalu menampakan wajah bahagia, saling menyembunyikan wajah luka kami karena cinta."
"Seandainya Abang tahu! Aku selalu menangis dihadapan Dimas. Seandainya Abang tahu itu semua. Tapi sudahlah, tak ada gunanya kuceritakan semua hal tentang kami, hanya Dimas yang mengerti itu semua."
"Sudahlah, Arya! Semua itu adalah cerita lampau. Kenyataan yang sekarang kau hadapi adalah sebuah kematian. Kematian dari sahabat karibmu, Dimas, yang juga adik kandungku, Abang yang sering memakinya." tegas Bang Dito.
Usai menenangkanku, Bang Dito mengangkat tubuh lunglaiku, ia berusaha membangunkanku, lalu mengajak ke rumahnya untuk menyinggahi kamar Dimas.
"Ada yang Dimas titipkan padaku untukmu, Arya! Mari kita segera ke rumah, sebelum kau menjadi patung di samping makam, yang melelapkan tidur panjang sahabatmu ini."
                     ***