MEMBANGUN BANGSA UNGGUL MELALUI PENDIDIKAN
Oleh:
IDRIS APANDI, S.Pd., M.Pd.
(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Anggota Dewan Pendidikan Jawa Barat Masa Jabatan 2019-2024, Penulis Ratusan Artikel dan Puluhan Buku)
Semua sudah mafhum bahwa pendidikan adalah modal penting pendidikan sebuah bangsa. Banyak negara di dunia berpacu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan.
Mereka mengalokasikan anggaran yang besar untuk membangun sekolah, membangun perguruan tinggi, membangun balai-balai pendidikan dan pelatihan, mendidik calon guru, memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa baik untuk belajar di dalam negeri maupun di luar negeri, menggaji guru dengan gaji yang tinggi, dan melakukan berbagai penelitian untuk pengembangan serta peningkatan mutu pendidikan.
Mereka pun melakukan studi banding dalam rangka mendapatkan informasi dan pengalaman peningkatan mutu pendidikan di berbagai negara, khususnya di negara yang pendidikannya sudah maju, seperti Finlandia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Cina, Australia, Amerika Serikat, dan beberapa negara eropa. Hasilnya mereka implementasikan dan adaptasikan sesuai dengan kebijakan pendidikan di negara masing-masing.
Salah satu catatan tentang pentingnya pendidikan adalah saat Jepang luluh lantak oleh bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima dan 9 Agustus 1945 di Nagasaki.
Saat itu, kaisar Jepang bertanya "berapa jumlah sensei (guru) yang tersedia?" Hal ini menunjukkan bahwa Jepang boleh hancur pascakalah pada Perang Dunia II oleh sekutu, tapi mereka akan segera bangkit. Hal yang pertama dibangkitkan kembali adalah bidang pendidikan melalui penyediaan guru-guru atau SDM yang berkualitas.
Jepang mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke luar negeri seperti Amerika dan negara-negara eropa. Mereka banyak belajar dan membaca buku-buku di negara-negara luar tersebut. Saat mereka pulang ke Jepang, buku-buku yang mereka bawa dari luar negeri tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang, lalu disebarkan untuk digunakan pada dunia pendidikan di Jepang.
Walau sarjana mereka yang lulusan luar negeri, tetapi mereka tidak otomatis mengiblat ke negara tempat mereka belajar. Mereka melakukan pengembangan dan inovasi, khususnya pada bidang teknologi, sehingga saat ini Jepang menjelma sebagai salah satu negara maju dan terkenal dengan inovasi dalam teknologi tinggi pada berbagai bidang.
Tahun 80-an Malaysia mengirimkan mahasiswa dan guru-gurunya untuk belajar di Indonesia dan saat ini Malaysia menjadi salah satu negara yang cukup kompetitif di kawasan ASEAN. Kondisi pun saat ini terbalik dimana banyak pendidik dan tenaga kependidikan Indonesia yang belajar atau studi banding ke negeri jiran tersebut untuk memperdalam ilmu, wawasan, dan pengalaman seputar pendidikan.
Salah satu tujuan berdirinya NKRI sebagaimana yang tercantum ada Alinea IV pembukaan UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan bangsa. Hal ini menjadi tanda bahwa para pendiri bangsa ini menyadari pentingnya pendidikan untuk membangun bangsa. Mereka mengamanatkan kepada para pemimpin bangsa ini bahwa pendidikan harus digarap dengan serius agar Indonesia menjadi negara yang maju, unggul, dan kompetitif. Â
Para pendiri bangsa ini adalah para generasi terdidik, literat, dan kritis. Walau mereka banyak menimba ilmu di negeri Belanda, mereka tetap cinta terhadap kemerdekaan dan melakukan berbagai pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Upaya yang mereka tersebut tentunya menghadapi berbagai tantangan, hambatan, dan ancaman, bahkan masuk jeruji dan dibuang ke pulau terpencil oleh penjajah Belanda, tetapi semangat mereka tidak pudar.
Cita-cita untuk mewujudkan Indonesia merdeka tetap bergelora hingga akhirnya Indonesia bisa meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta.
Pendidikan Indonesia berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pemikiran-pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah dalam pengelolaan dan penyusunan kebijakan pendidikan. Mengapa demikian? Agar pendidikan Indonesia tetap memiliki karakteristik dan ciri khas ke-Indonesiaan ditengah serbuan pemikiran dari negara lain.
Konsep Tri Pusat Pendidikan yang meliputi "keluarga, sekolah, dan masyarakat" menjadi tiga institusi penting dalam pembangunan generasi bangsa. Semboyan "Ing Ngarso Sung Tuladha" (di depan memberi contoh), "Ing Madya Mangun Karsa" (di tengah memberi semangat), dan "Tut Wuri Handayani" (di belakang memberi dorongan) menjadi salah satu sumbangsih pemikiran Ki Hajar Dewantara dan menjadi api semangat bagi bangsa Indonesia untuk membangun pendidikan Indonesia.
Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara harus memberikan jaminan agar setiap warga negara mendapatkan layanan pendidikan, negara harus memiliki sebuah sistem yang mengatur pendidikan, dan negara harus mengalokasikan APBN dan APBD minimal 20 persen untuk bidang pendidikan.
Saat ini Indonesia memiliki berbagai perangkat perundang-undangan yang mengatur pendidikan, mulai dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), berbagai Peraturan Pemerintah (PP), Permendikbud, hingga peraturan daerah (perda) yang mengatur pendidikan.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, pendidikan menjadi salah satu bidang yang diotonomikan. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur masalah pendidikan sesuai dengan potensi daerah masing-masing dengan tetap mengacu kepada aturan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat.
Sejalan dengan semangat otonomi pendidikan, implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memberikan ruang kepada sekolah untuk mengelola layanan pendidikan sesuai potensi dan karakteristik sekolah-sekolahnya masing, utamanya membangun budaya gotong dalam meningkatkan mutu sekolah.
Oleh karena itu, di sekolah dibentuk Komite Sekolah sebagai wadah partisipasi bagi orang tua siswa untuk menjadi mitra dalam meningkatkan mutu sekolah.
Selain itu, sekolah pun bisa menjalin kemitraan dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas, dan berbagai organisasi lainnya untuk membantu dan mendukung berbagai program peningkatan mutu yang dilaksanakan oleh sekolah.
Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan pendidikan di sebuah negara yang sangat luas seperti Indonesia sangat kompleks. Tercatat lebih dari 17.000 pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Bukan hanya tantangan wilayah saja, Indonesia pun dihadapkan pada tantangan beragamnya suku bangsa, bahasa, dan agama. Walau demikian, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" menjadi pemersatu negara Indonesia yang majemuk tersebut dalam bingkai NKRI.
Pemerataan mutu dan akses pendidikan menjadi program yang harus terus ditangani secara serius oleh pemerintah. Kondisi sarana dan prasarana dan mutu guru menjadi hal penting yang perlu menjadi prioritas.
Masih banyak terjadi kesenjangan mutu pendidikan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) dan di daerah ibu kota provinsi, kabupaten, atau kota atau daerah sekitarnya. Begitu pun mutu pendidikan di daerah perkotaan dan pedesaan, masih banyak ditemui kesenjangan.
Berkiatan dengan kurikulum, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara serta pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara harus menjadi ruh dalam pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia. Kurikulum adalah sebuah hal yang dinamis.
Kurikulum sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Apalagi saat ini Indonesia masuk era globalisasi, pasar bebas, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan revolusi industri 4.0, bahkan di belahan dunia yang lain seperti di Jepang, saat ini sedang membangun society 5.0. Oleh karena itu, generasi bangsa harus benar-benar disiapkan untuk menghadapi hal tersebut.
Revolusi industri 4.0 memberikan konsekuensi ketidakpastian dalam berbagai sendi kehidupan, khususnya dalam hal pekerjaan. Sekian banyak pekerjaan lama hilang, dan sekian banyak pekerjaan baru muncul. Produk-produk baru muncul menjadi ancaman terhadap eksistensi produk lama. Jika tidak ada inovasi, maka siap-siap saja produk lama tersebut tergilas oleh produk baru.
Untuk bisa tetap bertahan, maka perusahaan terus melakukan riset dan pengembangan untuk menghasilkan produk-produk yang lebih atau makin inovatif.
Tenaga manusia sudah banyak digantikan oleh mesin, robot, dan teknologi digital. Hal ini perlu diantisipasi dengan membekali generasi muda dengan kecakapan hidup (life skill) dan jiwa wirausaha (entrepreneurship) agar mereka bisa beradaptasi di masa penuh penuh tantangan dan ketidakpastian tersebut. Hal ini berdampak terhadap pentingnya penguasaan teknologi dan informasi. Berbagai aktivitas manusia saat ini sudah serba digital.
Di era global, manusia memang bukan hanya siap bertanding, tetapi juga harus siap bersanding, karena kesuksesan zaman sekarang bukan hanya diraih dengan upaya sebagai inividu tetapi juga upaya secara kolektif. Oleh karena itu bukan hanya kompetisi yang harus dijalani oleh sendiri, tetapi juga harus berkolaborasi untuk memenangkan kompetisi. Kreativitas dan inovasi akan menjadi kunci keunggulan di masa depan.
Tahun 2045, bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan RI, negara ini akan menghadapi bonus demografi, dimana bangsa Indonesia banyak memiliki penduduk yang berusia produktif. Hal ini bisa menjadi keunggulan atau bisa menjadi kelemahan.
Bisa menjadi keunggulan, jika generasi emas Indonesia disiapkan agar menjadi generasi yang unggul dan kompetitif, dan bisa menjadi kelemahan jika generasi bangsa ini kurang dipersiapkan dengan baik, banyak yang terlena, bermalas-malasan, dan banyak terpengaruh oleh hal-hal yang kurang baik. Penyalahgunaan narkoba, perilaku kekerasan, dan dampak buruk pergaulan bebas di kalangan remaja menjadi tantangan tersendiri.
Kalau ingin mengancurkan sebuah bangsa, maka hancurkan generasi mudanya. Pernyataan tersebut cukup sering kita dengar dalam berbagai seminar atau kita baca dalam berbagai tulisan berkaitan dengan pendidikan, kepemudaan, atau kepemimpinan. Hal ini bisa kita jadikan sebagai "lampu kuning" terhadap pentingnya pembinaan generasi muda. Berkaitan dengan hal tersebut, peran "Tri Pusat Pendidikan" semakin diperlukan untuk bersinergi mendidik dan membina generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan.
Tahun 2020 Indonesia memasuki 75 tahun kemerdekaanya. Masih ada waktu 25 tahun ke depan untuk mempersiapkan generasi masa depan yang unggul dan kompetitif. Generasi muda tersebut bukan hanya perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan, tetapi karakter dan mentalitasnya pun perlu dibangun.
Oleh karena itu, dalam kurikulum 2013, para peserta didik dibekali kemampuan abad 21 yang dikenal dengan "4C" meliputi; (1) communication (komunikasi), (2) collaboration (kolaborasi), (3) critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), dan (4) creative and innovatie (kreatif dan inovatif). Dalam konteks pendidikan karakter, Kemdikbud meluncurkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang fokus kepada 5 (lima) nilai, yaitu; (1) religiusitas, (2) nasionalis, (3) integritas, (4) mandiri, dan (5) gotong royong.
Dalam perkembangannya, mulai tahun 2019 diluncurkan program Pelajar Pancasila. Tujuannya adalah untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila kepada pelajar sehingga mereka memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena kondisi empirik saat ini, banyak generasi muda yang tidak hapal Pancasila.
Hal ini tentunya sangat ironis dan memprihatinkan. Pancasila memang bukan sekadar untuk dihapal, tetapi hapal Pancasila menjadi awal untuk memahami dan melaksanakannya.
Bahaya radikalisme dan munculnya isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) diharapkan bisa diredam dengan adanya program Pelajar Pancasila. Tentunya hal ini bukan bersifat indoktrinatif seperti halnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada masa orde baru, tetapi melaui program yang lebih menyentuh kehidupan generasi millennial atau bahkan disebut juga sebagai "Gen Z". Dan yang paling utama adalah adanya keteladanan para pemimpin dan tokoh untuk mencontohkan pengamalan nilai-nilai Pancasila kepada mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah khususnya Kemdikbud telah banyak melakukan berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan dalam rangka mencapai 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP). Salah satunya adalah dengan diterbitkannya Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) Dasar dan Menengah.
Pada pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan."
Berpijak kepada aturan tersebut, satuan pendidikan diwajibkan untuk meningkatkan mutu 8 (delapan) SNP melalui implementasi Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMI). Pasal 1 ayat (4) Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Internal Pendidikan Dasar dan Menengah, yang selanjutnya disingkat SPMI-Dikdasmen adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah untuk menjamin terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan."
Mengacu kepada hal tersebut, setiap satuan didorong untuk melakukan SPMI melalui 5 (lima) tahapan, yaitu; (1) pemetaan mutu, (2) perencanaan pemenuhan mutu, (3) pelaksanaan pemenuhan mutu, (4) monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemenuhan mutu, dan (5) penyusunan strategi pemenuhan mutu yang baru.
SPMI mendorong setiap satuan pendidikan untuk menjadi organisasi pemelajar, membangun komitmen bersama dalam meningkatkan mutu, dan membangun budaya mutu dimana mutu bukan lagi menjadi sebuah paksaan, tetapi menjadi sebuah kebutuhan. Dengan kata lain, mutu menjadi urusan setiap orang yang ada di sekolah, bukan hanya mengandalkan pihak tertentu saja.
Mutu guru tidak bisa tidak bisa dilepaskan dari mutu pendidikan, karena guru merupakan ujung tombak dalam kegiatan pembelajaran. Apapun kurikulumnya, guru menjadi penentu pelaksanaannya dalam pembelajaran. Menurut saya, ada tiga peran guru dalam kurikulum, yaitu; (1) guru sebagai pelaksana kurikulum, (2) guru pengembang kurikulum, dan (3) guru sebagai kurikulum itu sendiri atau suka disebut guru sebagai kurikulum hidup (teacher as a living curriculum).Â
Berbagai program peningkatan mutu guru pun sudah banyak dilakukan oleh Kemdibud, dan program yang paling baru adalah "Guru Penggerak" dimana program ini ingin menghasilkan guru-guru yang memiliki inisiatif dan kepeloporan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, berjiwa pemelajar, bisa membantu mengembangkan rekan sejawat, dan tentunya menghasilkan para peserta didik yang berprestasi.
Dengan kata lain, seorang guru profesional bukan hanya mampu merasakan manfaat profesionalismenya bagi dirinya sendiri, tetapi juga harus berdampak terhadap peningkatan prestasi peserta didiknya.
Selain guru penggerak, program yang saat ini diluncurkan oleh Kemdikbud adalah "Merdeka Belajar". Intinya adalah para peserta didik diberikan kebebasan untuk belajar dari berbagai sumber dan menentukan cara mereka menguasai materi pelajaran. Guru bukan satu-satunya sumber belajar, tapi hanya menjadi salah satu sumber belajar.
Peran guru pun menjadi fasilitator pembelajaran. Apalagi kalau dikaitkan dengan kecerdasan majemuk, tentunya setiap peserta didik memiliki kecerdasan yang beragam. Tugas guru membimbing proses peserta didik selama belajar hingga mereka menemukan pengalaman belajar yang bermakna yang akan menjadi bekal bagi mereka di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI