Mohon tunggu...
Ichsan
Ichsan Mohon Tunggu... Guru - Belajar menulis

menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kucing di Stasiun Kereta

5 Januari 2019   11:51 Diperbarui: 5 Januari 2019   12:06 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SEPERTI MALAM-MALAM SEBELUMNYA, Sutinah berjalan meninggalkan emperan Plaza. Plaza dan pusat belanja tutup, dua jam yang lalu. Jalanan dirambati sepi. Tak ada lagi kendaraan melintas di depan Plaza, kecuali satu dua motor. Ke arah selatan Sutinah agak terseok melangkah. Tak semua lampu merkuri menyala.

Menyusuri sepi trotoar Jalan Gudang, melewati deretan folding gatekelabu gudang pakaian; siluet satu truk besar menurunkan peti-peti isi barang kelontong; toko-toko tutup, gudang tutup; hempasan bau ikan asin, bau pesing sisa kencing. Wadah sampah meluap isinya. Sepasang anjing berlarian merayakan kebebasan malam. Beberapa bintang mendekor lengkung langit. Sisanya pemandangan kosong.

Menyeberang di pertigaan minim cahaya. Kantor kelurahan tanpa neon. Dersik pohon beringin menjangkung di ketiak jalan.

Kabut. Sedikit angin.

Sutinah sampai ke tujuan. Stasiun Timur. Stasiun kecil, biasanya perhentian 15 menit, hanya kereta barang, jarang menurunkan penumpang.

Sutinah selalu menyukai kebiasaannya ini. Menghabiskan malam dengan memandangi stasiun, menyaksikan para komuter turun dari gerbong, berseliweran di sekitar peron ketika lirih udara malam beringsut ke langit barat. Mengamati interaksi sedikit orang, lambaian, jabatan tangan, pelukan dan perpisahan; kalau dia cukup beruntung menemukannya, selalu ada dua atau tiga yang menunggu ketibaan kereta terakhir. Sebatang kara, Sutinah tinggal di bawah langit Plaza -- furnitur tumpukan kardus, botol-botol bekas air mineral dan permadani dua lembar sarung koyak pinggirannya. Dia biasanya berjalan pelahan menuju stasiun kereta sesudah makan malam yang dingin sendirian di parkiran Plaza.

Malam ini kabutnya tidak biasa, lembar-lembar tirai, menggelombang dan jatuh pelahan. Sutinah dapat menandai pendaran temaram lampu jalanan namun tidak bisa melihat dengan jelas tiang-tiang lampu itu. Melilitkan sarung pada bagian atas daster kumalnya menahan serbuan angin Oktober ketika memintas gerbang depan, memanjat ke lantai stasiun. 

Selasar pingsan. Gerobak rokok tanpa pemilik. Menapaki undakan tangganya dan muncul di peron. Udara lebih hangat. Dua bangku kayu coklat memanjang. Hanya ada satu orang di situ; lelaki tua, agak gemuk, sedikit pendek, wajah berbulu, terlindung jaket hitam kebesaran, terbungkuk, memegangi keresek putih pada kedua tangannya.

Mereka saling mengangguk.

"Buruk sekali, kabut ini," kata lelaki tua itu.

Sutinah duduk di ujung lain bangku, berjarak dari lelaki itu. Kabut mengapung tipis menyeberangi deretan rel. "Hampir tak percaya mereka menjalankan kereta dalam kabut."

"Aku malah senang," tukas si lelaki tua. "Anakku bakal datang berkunjung. Berdua dengan cucuku. Sudah setahun aku tak bertemu mereka. Hampir setahun."

"Begitukah?"

"Perempuan, umur 8."

Sutinah terbatuk.

Lelaki tua itu tersenyum, melanjutkan. Tak peduli dengan batuk teman duduknya. "Aku bawa hadiah buat cucuku." Membuka bagian atas keresek. "Kelihatan?"

Keresek putih. Bertulisan merek nama mal besar. Bekas orang kaya.

Sutinah melongokkan kepalanya, menemukan seekor anak kucing di dalam keresek, kecil terbaring bergelung dibungkus handuk kecil, dengan bulu coreng-moreng coklat kelabu. Kucing itu membuka matanya, menyipit, memandangi keduanya. Mulutnya bergerak-gerak seakan ingin mengeong, tapi tak keluar suara. Lelaki tua merapikan lagi keresek, membiarkan sedikit celah. "Cucuku sudah lama minta hadiah ini. Oh, ya, dia sudah mulai sekolah."

"Cucumu pasti bakal suka."

"Pasti."

Lelaki tua itu terdengar bersemangat. "Harusnya kamu juga punya cucu."

Sutinah membisu. Orang ini terlalu banyak omong.

Lelaki tua itu masih menggerakkan mulutnya. Sutinah memindahkan perhatian pada tiang-tiang stasiun, mengabsen bayangannya satu per satu.

Kabut melayang. Berputar. Mengusapi stasiun, bangku, manusianya. Lampu-lampu sepanjang atap stasiun hanyalah buram dan sayu. Sutinah masih dapat melihat kelopak mata si lelaki tua separuh mengatup menahan kantuk. Kepalanya terangguk-angguk. Dia tidak mengenakan topi atau penutup kepala dan untai-untai rambut putihnya menggeriap liar dalam serbuan angin.

Sutinah sudah terbiasa melek sampai lewat tengah malam. Nanti saja membaringkan tubuhnya, menjelang subuh. Setengah malam lebih suka ia selesaikan dalam merdeka kembara, dan stasiun ini adalah tujuan favoritnya. Kali ini matanya melirik ke arah keresek putih bermerek mal besar dalam genggaman temannya. Bergerak-gerak. Rupanya penghuni keresek tak kerasan di dalam. Sebentar diam, lalu bergerak-gerak.

"Aku tak yakin cucumu bakal turun dari kereta."

Lelaki tua itu kelihatan terganggu. Tapi matanya masih mengatup. "Kucing ini ingin segera menemukan majikan baru, cucuku,"

Sutinah menggeleng. "Buatku saja."

"Anak kucing ini?"

"Ya, kucing itu."

Si lelaki tua mengibaskan tangannya. Menggenggam lebih erat keresek putihnya. Mendekatkan ke dadanya. Menghentikan pembicaraan.

Sutinah merasa aliran hangat membersit di dadanya. Ngawur sekali, tiba-tiba dia menginginkan anak kucing itu.

Peluit kereta memekik dari sebelah utara dan bergaung memenuhi peron hingga ke sekitar tikungan jalur. Kedua orang ini bangkit seirama dari bangku, bergerak mendekati tepian peron. Sutinah membiarkan lelaki tua itu sedikit terpincang. Keresek putih mulai menyentak-nyentak di tangannya, tak tertahankan dan kemudian kepala si anak kucing mendorong bagian atas. Secepat itu pula si anak kucing menyembul dan melompat keluar dari keresek, selanjutnya mendarat pada jalur kereta. 

Si lelaki tua mencoba mengejar, berusaha meraih binatang kecil itu hingga tubuhnya membungkuk, terhuyung-huyung. Sebelah kakinya tersangkut pada ujung peron. Kepayahan melepaskan diri. Sebaliknya, dia malah jatuh terguling ke atas jalur kereta tepat pada saat kereta mendadak muncul bagai kilat di tikungan stasiun. Lampu besarnya menyorot benderang menyilau menembus temaram malam.

Teror memenuhi mata si lelaki tua pada saat dia berbalik dan merentangkan kedua lengannya. Sutinah juga melambai-lambaikan tangan seperti ingin mengirimkan isyarat, tapi sudah terlambat -- tak ada gunanya; kereta telah tiba tepat di hadapan mereka, kemudian melewati mereka. Menghantam sangat kuat si lelaki tua.

Lantai peron terasa bergetar.

Teriakan Sutinah terbungkam oleh raungan roda-roda menggemuruh panjang besi bergesekan bergemerincing, bunyi rem ngilu beberapa menit mendengking, suara mendesis-desis di ujungnya. Sebelum segala suara itu berakhir, sebelum kereta benar-benar berhenti, Sutinah menjelma dari kepulan asap dan kabut. Dalam terguncang ia berusaha keras memanjat tangga, berseru-seru kepada kepala stasiun sambil berlari tergopoh ke arah kantor.

Paramedis dan seregu polisi muncul entah dari mana sekitar lima menit kemudian. Perempuan yang masih terperangah itu bernapas sengal menjawab serangkaian pertanyaan terstruktur dari seorang polisi di ujung bawah tangga. Tubuhnya menggigil, entah akibat udara malam atau karena sebab lain. 

Di seberang, dilihatnya petugas lain membimbing seorang wanita muda dan seorang gadis kecil meniti tangga. Kedua orang itu menangis; sang wanita melingkarkan lengan ke tubuh si gadis kecil; kepala si gadis kecil umur 8 tahun itu terbenam dalam lembar-lembar mantel sang wanita, rupanya terisak-isak. Polisi berusaha menenangkan. Membawakan tas-tas besar. Mengarahkan mereka ke selasar di seberang kantor kepala stasiun yang lantainya basah embun, lanjut ke pintu depan yang mengarah gerbang lalu lurus ke jalan.

Beberapa menit kemeriahan di Stasiun Timur. Dalam remang orang-orang berlintasan ke segala arah. Bukan malam biasa.

Sutinah mengucek kelopak matanya, menggosok-gosok pipi, mengedikkan kepala, meniupkan napas kuat-kuat dan berusaha kembali ke kesadaran.

Malam beringsut lagi. Sutinah duduk sendirian pada salah satu bangku panjang stasiun. Terpaku. Kedua tangannya berlabuh pada pangkuan, memandang kosong pada suatu jarak yang dekat beberapa lama. Mobil-mobil polisi dan ambulans sudah lenyap; kereta terakhir melanjutkan perjalanan dan menghilang di tikungan meninggalkan jejak kabut yang terburai, memecah kemudian kembali bergulung; kepala stasiun sudah bersembunyi ke balik pintu ruangan di sebelah loket tiket. 

Tempat ini kembali senyap. Ketika kelambu garis-garis pada jendela loket dibentangkan, Sutinah memaksakan dirinya berdiri pada kedua kakinya, menapaki lagi tangga-tangga meninggalkan peron.

Stasiun kini bisu, mati. Kabut lembab meninggalkan butiran keringat pada wajah Sutinah. Dia berjalan menuju tempat di mana dia tadi berdiri bersama si lelaki tua, memandangi tempat terakhir dia melihat orang itu. Menyesali bekas hantaman kereta pada tubuh si lelaki tua. Lelaki tua pecundang. Kemudian dia bergeser ke arah jalur kereta, meneliti seksama jajar rel-rel besi hitam panjang itu. Akhirnya ekor matanya menangkap si anak kucing tengah bergelung pada lantai semen peron. Rupanya binatang itu menemukan tumpukan hangat mewah abu sisa pembakaran sampah dekat ujung tangga.

Mata anak kucing itu nampak mengejut ketika melihat Sutinah. Gerak-gerak mengeong tanpa suara. Sutinah berjingkat patah-patah menuruni peron, mata si anak kucing terus siaga membuntuti setiap gelagatnya. Tak ada jejak keresek putih bertuliskan nama mal atau handuk kecil, Sutinah harus meraih anak kucing dengan kedua tangannya. Sangat hati-hati. Tak ada perlawanan dari binatang mungil itu. Mengangkatnya dengan lembut kemudian menutupinya dengan kain sarung dari lehernya sehingga hanya sebagian kepalanya yang menyembul. Kucing itu masih gemetar kedinginan. Sutinah mendorong kepala anak kucing ke dalam sarung, memberinya usapan sampai akhirnya ia mendengkur pelan.

Tak akan ada lagi kereta lewat malam ini. Tak ada alasan untuk tergesa. Direngkuhnya anak kucing lebih merapat. Mendekapnya ke dada, mencoba memindahkan hangat tubuhnya ke anak kucing itu, menghangatkan dirinya sendiri. Tak perlu waktu lama, perempuan itu sudah memanjat naik ke atas peron. Selasar. Kantor kepala stasiun. Pintu keluar. Parkir. Gerbang besar. Berjalan lebih cepat meninggalkan stasiun kereta.

Sutinah merasakan kegembiraan mengaliri tubuhnya. Tak akan ada lagi malam sepi.

Kabut menipis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun